Mari selamatkan petani kelapa sawit di Jambi dari kebangkrutan
Beberapa waktu lalu, naiknya harga CPO dipasar international mendorong naiknya harga TBS dikalangan petani kelapa sawit, hampir satu tahun petani kelapa sawit menikmati indahnya bertani kelapa sawit, tak mengherankan jika kelapa sawit menjadi incaran, tidak hanya petani yang semula bertanam pangan lokal, tapi juga pihak perbankan lebih memberikan kemudahan dalam mengucurkan kredit pada sektor kelapa sawit. Perusahaan perusahaan lokal dan international ramai-ramai berburu lahan untuk ditanami kelapa sawit. Di propinsi Jambi luas perkebunan bertambah sekitar 50.000 Ha dalam setahun. Sungguh pantastis! Padahal pada tahun-tahun sebelumnya kenaikan luas perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi merambat pelan.
Naiknya harga CPO dipasar dunia, akibat permintaan akan CPO yang tinggi bagi pemenuhan bahan pangan, kosmetik hingga bahan baku Biofuel (Bahan bakar pengganti minyak bumi) telah mendorong pengusaha-pengusaha menjual CPOnya dipasar dunia, ketimbang menjualnya dalam negeri dalam bentuk minyak goreng yang kemudian tidak hanya berakibat pada tingginya harga minyak goreng dalam negeri tapi juga membuat minyak goreng menjadi langka. Lalu karena kelangkaan dan harga yang tinggi, masyarakat miskin lebih memiliki mengkosumsi minyak jelantah sebagai penganti minyak goreng.
Tak ada yang menyangka bahwa keindahan itu hanya sesaat, bahwa kenikmatan itu hanya semalam, ketika badai tsunami krisis Amerika menghantam hingga kepelosok desa dan meremukkan keuangan petani kelapa sawit di propinsi Jambi. Krisis keuangan di Amerika telah merontokkan harga TBS dari kisaran Rp 1.900/kg menjadi hanya Rp 200-500/kg. Kondisi ini membuat petani kelapa sawit menjerit, Bagaimana tidak, harga penentuan dari pemerintah tidak pernah menjadi acuan bagi perusahaan untuk membeli prouduk TBS dari petani, sehingga kondisi buruk ini diperparah dengan kelakuan para perusahaan. Dibeberapa wilayah misalnya, ada perusahaan yang membeli TBS petani sawit dengan harga berkisar Rp 200-250/kg. Bayangkan berapa kerugian yang harus diterima oleh petani dengan harga tersebut, sementara input dalam mengelola perkebunan seperti pupuk, biaya mendodos, biaya perawatan yang tinggi. Dalam banyak kasus petani kelapa sawit malah harus menombok biaya-biaya lainnya yang tidak ikut turun ketika harga TBS turun.
Pada diskusi yang dilaksanakan oleh SETARA di Cafe Telanai Berseri pada tgl 21 Oktober lalu dengan menghadirkan nara sumber dari Dinas Perkebunan yang dihadiri oleh Kepala Dinas Perkebunan propinsi Jambi Ir Ali Lubis, HKTI Propinsi Jambi yang dihadiri oleh ketua DPP Ir. H. AR.Sutan Adil Hendra, MM dan Direktur Yayasan SETARA Jambi Rukaiyah Rofiq, seolah ingin membuktikan bahwa masalah turunnya harga terletak pada lambatnya antisipasi pemerintah dan juga petani ketika krisis ini terjadi. Kepercayaan terhadap pasar global terlalu tinggi, sehingga ketika global mengalami krisis tanpa ampun turut menyapu petani kelapa sawit.
Kepala Dinas Perkebunan menyampaikan, hendaknya pihak perusahaan pembeli TBS dari petani kelapa sawit (Plasma dan Mandiri) tidak mengambil keuntungan dari turunnya harga, dan wajib mentaati harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah melalui rapat penetapan harga. Saat ini penetapan harga terendah TBS dari Dinas Perkebunan Propinsi Jambi untuk bulan Oktober 2008 sebesar 1.017,89/Kg untuk usia tanaman 10 tahun, sementara tanaman usia 3 tahun penetapan harga sebesar Rp 720,75/Kg. jika ada perusahaan yang membeli harga TBS dari petani dengan harga lebih rendah dari itu, maka pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap kinerja perusahaan tersebut di propinsi Jambi. Kelapa Dinas Perkebunan juga menghimbau kepada seluruh perusahaan untuk membeli TBS dari petani, baik dari petani plasma maupun dari petani mandiri dengan harga yang layak. artinya dari harga itu, petani masih bisa mendapatkan keuntungan jika perusahaan membeli dengan harga Rp 500/kg.
Selanjutnya ketua DPP HKTI menyampaikan bahwa, turunnya harga TBS telah membuat petani menderita, betapa tidak penderitaan itu diperparah dengan banyaknya perusahaan tidak mentaati penetapan harga dari pemerintah. Petani mandiri adalah petani yang paling menderita dengan kondisi saat ini, dimana perusahaan pengolah seperti tidak punya kewajiban untuk membeli TBS dari petani mandiri, padahal jumlah petani mandiri mencapai ratusan orang. Hendaknya pemerintah tidak hanya mengingatkan perusahaan untuk membeli TBS dari petani dengan harga baik, tapi juga mengingatkan perusahaan untuk juga tetap menerima TBS dari petani mandiri. Monitoring oleh pemerintah bersama berbagai pihak juga perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana perusahaan mentaati himbauan pemerintah.
Antisipasi krisis di propinsi Jambi harus segera dilakukan, karena bisa jadi krisis akan berlansung hingga satu sampai dua tahun kedepan. krisis saat ini berbeda dengan dengan krisis 1998, dimana krisis 1998 hanya terjadi di Asia, dan juga lembaga keuangan tidak kolaps, sementara saat ini krisis global juga menumbangkan korporasi dan lembaga keuangan besar di Amerika. tentu proses pemulihannya akan memakan waktu lama. Belajar dari sini pemerintah propinsi Jambi kedepan harus moratorium ekpansi perkebunan kelapa sawit, melakukan kajian akan kemungkinan mendorong industri hilir, menggalakkan kembali budaya bercocok tanam palawija dan padi, membangun kebijakan tentang keharus perusahaan kelapa sawit dari hulu kehilir untuk lebih dulu memenuhi kebutuhan pasar domestik (Jambi) lalu menjualnya kepasar dunia. Ini untuk menjamin ketersediaan bahan pokok berbahan minyak sawit didalam negeri seperti minyak goreng dll dengan harga layak, juga untuk tetap menjamin harga TBS ditingkat petani, karena pasar produk minyak sawit tidak hanya bergantung pada pasar dunia tapi juga mampu diserap di pasar domestik.
Beberapa waktu lalu, naiknya harga CPO dipasar international mendorong naiknya harga TBS dikalangan petani kelapa sawit, hampir satu tahun petani kelapa sawit menikmati indahnya bertani kelapa sawit, tak mengherankan jika kelapa sawit menjadi incaran, tidak hanya petani yang semula bertanam pangan lokal, tapi juga pihak perbankan lebih memberikan kemudahan dalam mengucurkan kredit pada sektor kelapa sawit. Perusahaan perusahaan lokal dan international ramai-ramai berburu lahan untuk ditanami kelapa sawit. Di propinsi Jambi luas perkebunan bertambah sekitar 50.000 Ha dalam setahun. Sungguh pantastis! Padahal pada tahun-tahun sebelumnya kenaikan luas perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi merambat pelan.
Naiknya harga CPO dipasar dunia, akibat permintaan akan CPO yang tinggi bagi pemenuhan bahan pangan, kosmetik hingga bahan baku Biofuel (Bahan bakar pengganti minyak bumi) telah mendorong pengusaha-pengusaha menjual CPOnya dipasar dunia, ketimbang menjualnya dalam negeri dalam bentuk minyak goreng yang kemudian tidak hanya berakibat pada tingginya harga minyak goreng dalam negeri tapi juga membuat minyak goreng menjadi langka. Lalu karena kelangkaan dan harga yang tinggi, masyarakat miskin lebih memiliki mengkosumsi minyak jelantah sebagai penganti minyak goreng.
Tak ada yang menyangka bahwa keindahan itu hanya sesaat, bahwa kenikmatan itu hanya semalam, ketika badai tsunami krisis Amerika menghantam hingga kepelosok desa dan meremukkan keuangan petani kelapa sawit di propinsi Jambi. Krisis keuangan di Amerika telah merontokkan harga TBS dari kisaran Rp 1.900/kg menjadi hanya Rp 200-500/kg. Kondisi ini membuat petani kelapa sawit menjerit, Bagaimana tidak, harga penentuan dari pemerintah tidak pernah menjadi acuan bagi perusahaan untuk membeli prouduk TBS dari petani, sehingga kondisi buruk ini diperparah dengan kelakuan para perusahaan. Dibeberapa wilayah misalnya, ada perusahaan yang membeli TBS petani sawit dengan harga berkisar Rp 200-250/kg. Bayangkan berapa kerugian yang harus diterima oleh petani dengan harga tersebut, sementara input dalam mengelola perkebunan seperti pupuk, biaya mendodos, biaya perawatan yang tinggi. Dalam banyak kasus petani kelapa sawit malah harus menombok biaya-biaya lainnya yang tidak ikut turun ketika harga TBS turun.
Pada diskusi yang dilaksanakan oleh SETARA di Cafe Telanai Berseri pada tgl 21 Oktober lalu dengan menghadirkan nara sumber dari Dinas Perkebunan yang dihadiri oleh Kepala Dinas Perkebunan propinsi Jambi Ir Ali Lubis, HKTI Propinsi Jambi yang dihadiri oleh ketua DPP Ir. H. AR.Sutan Adil Hendra, MM dan Direktur Yayasan SETARA Jambi Rukaiyah Rofiq, seolah ingin membuktikan bahwa masalah turunnya harga terletak pada lambatnya antisipasi pemerintah dan juga petani ketika krisis ini terjadi. Kepercayaan terhadap pasar global terlalu tinggi, sehingga ketika global mengalami krisis tanpa ampun turut menyapu petani kelapa sawit.
Kepala Dinas Perkebunan menyampaikan, hendaknya pihak perusahaan pembeli TBS dari petani kelapa sawit (Plasma dan Mandiri) tidak mengambil keuntungan dari turunnya harga, dan wajib mentaati harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah melalui rapat penetapan harga. Saat ini penetapan harga terendah TBS dari Dinas Perkebunan Propinsi Jambi untuk bulan Oktober 2008 sebesar 1.017,89/Kg untuk usia tanaman 10 tahun, sementara tanaman usia 3 tahun penetapan harga sebesar Rp 720,75/Kg. jika ada perusahaan yang membeli harga TBS dari petani dengan harga lebih rendah dari itu, maka pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap kinerja perusahaan tersebut di propinsi Jambi. Kelapa Dinas Perkebunan juga menghimbau kepada seluruh perusahaan untuk membeli TBS dari petani, baik dari petani plasma maupun dari petani mandiri dengan harga yang layak. artinya dari harga itu, petani masih bisa mendapatkan keuntungan jika perusahaan membeli dengan harga Rp 500/kg.
Selanjutnya ketua DPP HKTI menyampaikan bahwa, turunnya harga TBS telah membuat petani menderita, betapa tidak penderitaan itu diperparah dengan banyaknya perusahaan tidak mentaati penetapan harga dari pemerintah. Petani mandiri adalah petani yang paling menderita dengan kondisi saat ini, dimana perusahaan pengolah seperti tidak punya kewajiban untuk membeli TBS dari petani mandiri, padahal jumlah petani mandiri mencapai ratusan orang. Hendaknya pemerintah tidak hanya mengingatkan perusahaan untuk membeli TBS dari petani dengan harga baik, tapi juga mengingatkan perusahaan untuk juga tetap menerima TBS dari petani mandiri. Monitoring oleh pemerintah bersama berbagai pihak juga perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana perusahaan mentaati himbauan pemerintah.
Antisipasi krisis di propinsi Jambi harus segera dilakukan, karena bisa jadi krisis akan berlansung hingga satu sampai dua tahun kedepan. krisis saat ini berbeda dengan dengan krisis 1998, dimana krisis 1998 hanya terjadi di Asia, dan juga lembaga keuangan tidak kolaps, sementara saat ini krisis global juga menumbangkan korporasi dan lembaga keuangan besar di Amerika. tentu proses pemulihannya akan memakan waktu lama. Belajar dari sini pemerintah propinsi Jambi kedepan harus moratorium ekpansi perkebunan kelapa sawit, melakukan kajian akan kemungkinan mendorong industri hilir, menggalakkan kembali budaya bercocok tanam palawija dan padi, membangun kebijakan tentang keharus perusahaan kelapa sawit dari hulu kehilir untuk lebih dulu memenuhi kebutuhan pasar domestik (Jambi) lalu menjualnya kepasar dunia. Ini untuk menjamin ketersediaan bahan pokok berbahan minyak sawit didalam negeri seperti minyak goreng dll dengan harga layak, juga untuk tetap menjamin harga TBS ditingkat petani, karena pasar produk minyak sawit tidak hanya bergantung pada pasar dunia tapi juga mampu diserap di pasar domestik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar