Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Rabu, 24 Desember 2008

Ratusan petani tuntut Bupati Cabut izin PT. GMP

Ratusan masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani plasma tanjung pangkal tahap II Kenagarian Lingkuang Aua Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat melakukan aksi demonstrasi ke kantor Bupati pada hari Rabu / 17 Desember 2008.
Mereka menuntut agar Bupati Pasbar segera mencabut izin usaha perkebunan PT. Gersindo Minang Plantation (PT. GMP) yang tergabung dalam wilmar group karena mereka dinilai telah merampas tanah ulayat masyarakat dan tidak merealisasikan tanah plasma bagi para pemilik tanah ulayat dan mengacuhkan keberadaan ninik mamak diwilayah mereka.

Mereka juga meminta Pemkab Pasaman Barat meninjau ulang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PT. GMP yang menyebabkan tanah ulayat ninik mamak lingkuang Aua diambil oleh PT. GMP.
Setelah demo di kantor Bupati Pasbar, Keltan Plasm Tanjung Pangkal Tahap II mereka langsung ke Lahan PT. GMP. Petani menuntut PT.GMP membawa masalah ini ke jalur Hukum dengan perjanjian sebagai berikut:

1. Sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui jalur hukum
2.Yang melakukan gugatan ke pengadilan adalah kelompok 16 terhadap objek sengketa kebun seluas 200 Ha yang terletak di Phase IV
3. Gugatan akan dilaksanakan paling lambat 45 (empat Puluh Lima) hari setelah surat berita acara ini ditanda tangani.
4. Apabila Pihak Pertama (PT. GMP) tidak menjalankan point tiga diatas maka kebun kelapa sawit yang terletak di phase IV yang menjadi objek sengketa antara pihak kedua dengan kelompom 16 dikuasi oleh pihak Kedua.  

Sektor Pertanian Tak Mampu Bersaing

Sektor Pertanian Tak Mampu Bersaing
Rabu, 24 Desember 2008 | 02:42 WIB 

Medan, Kompas - Struktur perekonomian di Sumatera Utara selama 10 tahun terakhir telah bergeser dari pertanian ke sektor pengolahan dan perdagangan. Ini terjadi karena tak mampunya nilai tambah sektor pertanian mengimbangi peningkatan nilai tambah sektor lainnya.

Sektor pertanian juga semakin tidak diminati untuk bekerja. Sektor ini menjadi pilihan terakhir saat tidak ada sektor lain yang bisa menampung untuk bekerja.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut Alimuddin Sidabalok dalam Sosialisasi Pendataan Usaha Tani 2009 di Medan, Selasa (23/12), mengatakan, kontribusi sektor pertanian pada produk domestik regional bruto (PDRB) mengalami penurunan. Pada 2007, BPS melaporkan, kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Sumut sebesar 22,56 persen, turun dari tahun 1998 yang mencapai 25,44 persen.

Persentase jumlah pekerja di sektor pertanian naik 2,85 persen saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998. Waktu itu perekonomian Sumut minus 10,90 persen.

Namun, seiring dengan waktu, sektor pertanian semakin kehilangan daya tariknya. Jumlah pekerja di sektor ini menurun ketika perekonomian membaik. BPS mencatat jumlah tenaga kerja di sektor ini turun 4,11 persen pada tahun 2007 jika dibandingkan dengan tahun 1998.

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Zulkifli Nasution, bercerita dalam sebuah pertemuan yang dihadiri sekitar 100 sarjana pertanian baik S-1 maupun S-2. Ia pernah bertanya, siapa yang mau jadi petani. Hanya empat orang yang mengatakan bersedia menjadi petani.

Namun, para sarjana pertanian itu menyatakan bahwa pertanian Indonesia masih prospektif dan tidak setuju jika pertanian menjadi industri.

”Bila melihat kesejahteraan petani selama satu dasawarsa terakhir, yakni tahun 1998 hingga 2007, (angka-angka yang muncul) belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan,” kata Alimuddin.

Nilai tukar petani (NTP) 10 tahun terakhir selalu di bawah angka 100, kecuali pada tahun 2004 yang mencapai 104,9. Ini berarti indeks harga atas hasil produksi pertanian lebih kecil dibandingkan dengan indeks harga kebutuhan rumah tangga petani, baik untuk konsumsi rumah tangga petani maupun untuk proses produksi pertanian. (WSI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/24/02421181/sektor.pertanian.tak.mampu.bersaing

Kebun Berskala Besar Perlu Izin Perkebunan

Rabu, 24 Desember 2008 16:55
Membangun perkebunan dengan skala besar, dengan luas lebih 1.000 hektarm, memerlukan izin resmi. Baik izin Pemkab/Pemko maupun Pemprov.

Riauterkini-PEKANBARU-Ketua Gapki Riau, Wisnu Oriza Suharto kepada Riauterkini rabu (24/12) menegaskan bahwa untuk membangun sebuah area perkebunan berskala besar memerlukan ijin dari instansi terkait (Dinas Perkebunan-BPN). Untuk mendapatkan izin itu, dana yang dibutuhkan tidak sedikit.

“Lahan harus diBPN-kan sebagai salah satu prasyarat mendapatkan ijin dari Dinas Perkebunan Riau. Itupun lahan sudah harus bebas dari kawasan konservasi (Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Hutan Lindung, Kawaan Lindung Gambut dan lainnya). Jika persyaratan dan status lahan sudah jelas dan memang untuk kawasan pengembangan pertanian/perkebunan sesuai dengan RTRWP, izin perkebunan baru bisa dikantongi. Untuk itu, diperlukan dana yang tidak sedikit,” terangnya.

Disinggung mengenai harga kebun sawit, Wisnu menyatakan bahwa kendati harga TBS sawit sempat anjlok beberapa waktu lalu, namun harga lahan berkebunan sawit cukup stabil. Yaitu di kisaran Rp 40-50 juta perhektarnya. Menurutnya, harga tersebut adalah untuk kebun sudah jadi. Harga tersebut dengan pertimbangan harga lahan kosong, biaya administrasi perijinan dan biaya pembangunan (land clearing, pengadaan bibit sawit dan penanaman serta pemeliharaan).

Sementara itu, Kasubdin Sawit Disbun Riau, Sofyan Harahap menyatakan bahwa masalah perijinan tidak tersentral di Disbun Riau. Karena saat ini Pemkab/Pemko sudah memiliki wewenang untuk menerbitkan perijinan perkebunan di wilayah pemerintahannya masing-masing.

“Saat ini pemkab/pemko sudah memiliki wewenang untuk menerbitkan perijinan perkebunan di wilayah kerja masing-masing. Namun, jika sebuah kawasan dengan hamparan yang berada di dua wilayah kabupaten/kota (lintas kabupaten/kota), maka perijinannya ada di Dina Perkebunan Provinsi. Jadi untuk mencari keberadaan perijinan sebuah kawasan perkebunan memang perlu dilihat ke wilayah kabupaten/kota.,” terangnya.***(H-we)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22221

Rabu, 17 Desember 2008

Harga TBS Sawit dan Getah Karet Kembai Anjlok

Rabu, 17 Desember 2008 07:5

Kenaikan harga TBS kelapa sawit dan getah karet ternyata tak bertahan lama. Pada pekan ini harga kedua komoditas unggulan perkebunan Riau tersebut kembali melemah.

Riauterkini-PEKANBARU- Petani kelapa sawit dan karet di Riau harus kembali kecewa, pasalnya pekan ini harga kedua komoditas unggulan perkebunan Riau tersebut kembali melemah. Padahal, pekan kemarin harga tandan buah segar (TBS) sawit sempat sangat menjanjikan, melampui Rp 1.000/kilogram untuk TBS dari tanaman bibit unggul dengan usia di atas 10 tahun.

Berdasarkan hasil rapat tim penentuan harga TBS kelapa sawit Dinas Perkebunan Riau, Selasa (16/12) kemarin, harga TBS sawit mengalami penurunan dibandingkan pekan lalu. Sebelumnya harga TBS dari tanaman sawit bibit unggul usia 3 tahun dihargai Rp 756,24/kilogram, untuk pekan ini turun menjadi Rp 670,57/kilogram. Sedangkan untuk TBS dari tanaman bibit unggul berusia di atas 10 tahun kini harganya Rp 937,46/kilogram. Padahal sebelumnya Rp 1.057,32/kilogram. Untuk TBS dari tanaman berusia 8 tahun seharga Rp 883,73/kilogram.

"Pekan ini harga CPO di pasar dunia kembali turun. Imbasnya penetapan harga TBS juga turun," ujar Kasubdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Riau Fery kepada riauterkini di Pekanbaru, kemarin.

Kondisi lebih buruh dialami harga getah karet. Setelah kemarin turun dratis dari Rp 15.000/kilgoram menjadi hanya Rp 11.000/kilogram, harga pekan ini getah karet kembali melorot. Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Riau, pekan ini harga getah karet dengan kadar di atas 95 persen di pintu pabrik hanya Rp 10.000/kilogram.***(mad)
http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22094

Eks HGU PTPN II Harus Diselesaikan

Selasa, 16 Desember 2008 | 03:00 WIB 

Medan, kompas - Persoalan kejelasan lahan milik PTPN II yang sudah dikeluarkan dari hak guna usaha atau HGU seluas 5.873,06 hektar harus diselesaikan secepatnya. Ketidakjelasan lokasi lahan membuat luas lahan PTPN II yang dikuasai masyarakat maupun pihak ketiga lainnya mencapai dua kali lipat dari luas lahan yang sudah dikeluarkan dari HGU.

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan A Djalil di Medan, Senin (15/12), mengatakan, persoalan kejelasan status lahan PTPN II yang sudah dikeluarkan dari HGU sebaiknya diselesaikan dengan cara hukum. ”Undang juga pihak-pihak yang berkepentingan seperti gubernur, bupati, wali kota, dan BPN (Badan Pertanahan Nasional),” ujar Sofyan.

Lahan seluas 5.873,96 hektar milik PTPN II yang dikeluarkan dari HGU sebenarnya bakal dimanfaatkan untuk empat kepentingan, yakni masyarakat, perluasan wilayah administratif daerah, ruang terbuka hijau, dan sumber resapan air. Namun selama ini baik PTPN II maupun BPN belum menegaskan batas lahan seluas 5.873,06 hektar tersebut. Akibatnya, di lapangan, masyarakat dan pihak ketiga lainnya main serobot lahan milik PTPN II.

”Karena tidak diselesaikan secepatnya, fakta di lapangan malah menunjukkan jumlah lahan yang dikuasai masyarakat dan pihak ketiga sudah lebih dari 10.000 hektar atau dua kali lipat dari yang seharusnya dilepaskan,” ujar Sekretaris Komisi A DPRD Sumut Edison Sianturi.

Sebelumnya Sofyan yang datang ke Medan dalam acara penyerahan aset milik PTPN II, berupa pertapakan dan bangunan kompleks Kantor Gubernur Sumut kepada Pemprov Sumut, mengungkapkan, hendaknya penyelesaian tanah milik perkebunan negara bisa secara baik-baik. Dia mencontohkan, aset milik PTPN II berupa bangunan dan pertapakan, yang sekarang menjadi kompleks Kantor Gubernur Sumut, bisa diserahkan kepada Pemprov Sumut dengan ganti rugi hanya Rp 1.000.

Tanah pertapakan dan bangunan tua di kompleks Kantor Gubernur Sumut dulunya merupakan bekas kantor Deli Maschapij yang setelah kemerdekaan dikuasai perusahaan perkebunan negara. Namun, sejak 60 tahun lalu, bekas gedung Deli Maschapij itu jadi tempat berkantor Gubernur Sumut. Baru Senin, pertapakan dan bangunan di atasnya diserahkan kepada Pemprov Sumut oleh Menneg BUMN.

Anggota Komisi A DPRD Sumut, Abdul Hakim Siagian, mengungkapkan, cara Menneg BUMN dalam menyelesaikan aset PTPN II berupa tanah pertapakan dan bangunan di kompleks Kantor Gubernur Sumut seharusnya bisa diterapkan dalam kasus lahan eks HGU PTPN II.

”Kalau Pemprov Sumut saja hanya membayar ganti rugi Rp 1.000 dari yang seharusnya Rp 21 miliar, mengapa rakyat yang nyata-nyata membutuhkan lahan untuk menopang kehidupannya justru dipersulit,” katanya. (BIL)


http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/16/00055660/eks.hgu.ptpn.ii.harus.diselesaikan

PT. Inhutani IV Kembangkan Batang Sawit untuk Kayu Lapis



(Gambar ini di ambil pada Ekspo/Alih Teknologi 2008 Balitbang Dephut di Balai Dang Merdu Pekanbaru Riau)
Selasa, 16 Desember 2008 15:26
Kebun kelapa sawit akan bertambah dinilai ekonomisnya setelah melewati usia produktif. Saat ini PT. Inhutani IV tengah mengembangkan batang sawit untuk kayu lapis. 

Riauterkini-PEKANBARU- Industri kayu lapis (plywood) mendapat alternatif bahan baku potensial dari batang kelapa sawit yang melewati usia produktif. Jika selama ini batang-batang sawit yang sudah berusia 25 tahun ke atas ditumbang begitu saja kemudian diremajakan, maka ke depan akan dijadikan bahan baku kayu lapis. 

Potensi batang sawit menjadi bahan baku industri kayu lapis terungkap merupakan hasil penelitian Bagian Penilitan dan Pengembangan (Litbang) Departemen Kehutanan yang dipamerkan pada Ekspose/Alih Teknologi Badan Litbang Kehutanan 2008 yang digelar di Balai Dang Merdu Pekanbaru, Selasa (16/12). Pameran tersebut dibuka pelaksana tugas (Plt) Setdaprov Riau Herliyan Saleh mewakili Gubernur Riau M Rusli Zainal. Turut membuka Kepala Penilitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan Wahjudi Hardojo. 

“Saat ini kita telah menunjuk PT. Inhutani IV untuk mengembangkan batang sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis. Hasilnya sangat menjanjikan,” ujarnya menjawab riauterkini usai meninjau sejumlah stand yang mengikuti pameran. 

Dipaparkan Wahjudi, penggunaan batang sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis memiliki keuntungan ganda. Pertama bisa memanfaatkan limbah menjadi komoditas bernilai ekonomis tinggi. “Pasar kayu lapis sangat besar. Tidak hanya dalam negeri, tetapi juga untuk pasar ekspor,” tukasnya. 

Keuntungan kedua, lanjut Wahjudi berupa sosuli mencegah terus berlanjutnya degradasi hutan alam. Dengan adanya bahan baku dari non hutan, otomatis penebangan kayu di hutan alam akan berkurang. 

Provinsi Riau, lanjut Wahjudi, dengan potensi perkebunan seluas 1,6 juta hektar sangat tepat jika mengembangkan industri kayu lapis berbasis bahan baku batang sawit. “Di Riau kabarnya setiap bulan ada sekitar 5.000 hektar kebun sawit yang harus diremajakan. Ada berapa juta meterkubik bahan baku kayu lapis dari batan sawit,” tegasnya. 

Penjelasan Wahjudi dikuatkan keterangan Bagian Penerangan PT. Inhutani IV Haimar saat ditemui riauterkini di stand tempatnya bekerja. Sambil menunjukkan sejumlah hasil kayu lapis dari batang sawit, Haimar memastikan batang sawit terbukti bisa dijadikan plywood dan solidwood. “Ini buktinya. Sangat bagus. Setara, bahkan lebih kuat dari kayu biasa,” pujinya sambil menunjukkan selembar kayu lapis dari batang sawit. 

Diejalaskan Haimar, untuk saat ini PT. Inhutani IV baru sebatas melakukan penelitian dan pengembangan, direncanakan pada 2009 kayu lapis batang sawit akan diproduksi untuk pasar umum.***(mad)
http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22081

Senin, 15 Desember 2008

Pemulihan Bukit Suligi Berlanjut,


HADANG PEMBONGKARAN: Sejumlah warga menyandera alat berat yang digunakan BKSDA Riau dan Pemkab Rohul membongkar tanaman sawit di hutan lindung Bukit Suligi, Sabtu (13/12). Tak ingin bentrok, pembongkaran dihentikan sementara.
Senin, 15 Desember 2008 17:54
4.810 Tanaman Kelapa Sawit Dibongkar

Setelah sempat dihadang warga pada Sabtu lalu, tim terpadu melanjutkan tugas membongkar perkebunan kelapa sawit di hutan lindung Bukit Suligi. Sebanyak 4.810 batang kelapa sawit dirobohkan.

Riauterkini-PEKANBARU- Tim terpadu yang terdiri dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) melanjutkan upaya pemulihan kembali kawasan hutan lindung Bukit Suligi di Kecamatan Tandun, Kabupaten Rohul, Senin (15/12). Sebelumnya upaya tim terpadu yang didampingi aparat TNI dan Polri terpaksa terhenti karena sejumlah warga peladang liar megnhalang-halang, Sabtu (13/12).

Kepala BBKSDA Riau Rachman Siddik kepada wartawan di Pekanbaru, Senin, (15/12) mengatakan hingga siang ini pihaknya sudah berhasil memusnahkan sekitar 7 hektare tanaman kelapa sawit atau sebanyak 4.810 batang kelapa sawit milik warga yang berada di dalam hutan lindung.

“Perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan lindung sudah menyalahi aturan dan harus dibersihkan. Tidak ada kompromi dan kompensasi. Hutan lindung harus bersih dari perkebunan kelapa sawit,” kata Rachman.

Pemusnahan kali ini merupakan kelanjutan dari dua tindakan pemusnahan sebelumnya. Pemusnahan tahap pertama pada Agustus lalu berhasil menumbangkan sekitar empat hektare tanaman kelapa sawit. Kemudian pada November, pemerintah memusnahkan sekitar 12 hektare tanaman kelapa sawit.

Sejak Sabtu (13/12) hingga Senin (15/12) siang, sudah sekitar 21 hektare tanaman kelapa sawit yang dimusnahkan dengan cara ditumbang dan dibongkar. Setiap hektarenya terdapat sekitar 130 batang tanaman kelapa sawit. Pemusnahan ini melibatkan tiga unit alat berat yang dikawal seratusan lebih aparat gabungan dari Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC), Kepolisian dan Kejaksaan. “Rencananya besok kami akan menambah satu lagi alat berat agar semakin lekas tuntas pembersihan tanaman kelapa sawit di dalam kawasan lindung ini,” ujarnya.

Pemerintah berupaya mengembalikan fungi kawasan Bukit Suligi sebagai hutan lindung. Dari sekitar 30 ribu luas kawasan lindung ini, hanya 500 hektare saja yang memiliki tutupan hutan. Selebihnya beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pemulihan fungsi kawasan ini mendesak karena Bukit Suligi merupakan area tangkapan air di bagian hulu sejumlah sungai besar di Riau. Seperti Sungai Rokan, Tapung dan Siak. Kemampuannya menjadi area tangkapan air semakin berkurang karena beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit warga. “Tindakan ini untuk meminimalkan bencana banjir yang kerap terjadi di sejumlah daerah di Riau. Terutama daerah-daerah di hilir sejumlah sungai tadi. Setelah sawitnya dimusnahkan, kawasan ini akan direobisasi,” jelas Rachman.***(mad)
http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=22070

HGU Tumpang Tindih

Koordinasi Belum Lancar
Senin, 15 Desember 2008 | 03:00 WIB 

Banda Aceh, Kompas - Petani sawit menilai koordinasi antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan perekonomian rakyat, terutama perkebunan kelapa sawit, tidak berjalan.

Hal ini terlihat dari sering tumpang tindihnya perizinan yang merugikan semua pihak.

Zainuddin Aji, Ketua Lembaga Perkebunan Sawit Rakyat Aceh Timur, ditemui di sela-sela lokakarya sawit berkelanjutan di Banda Aceh, Sabtu (13/12), mengaku dirinya sering kali mengurus perizinan bagi para petani plasma ke beberapa dinas terkait, tetapi tidak berhasil.

”Belasan kali mencoba, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan apa pun dari dinas terkait, baik di daerah maupun di provinsi,” katanya.

Aji mengatakan, beberapa kali dirinya mencoba mengurus perizinan dan sertifikasi lahan bagi para calon petani plasma perkebunan kelapa sawit di Aceh Timur. Usaha yang dilakukannya adalah mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional di tingkat kabupaten dan provinsi. Namun, akunya, sampai sekarang belum berhasil.

Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini lebih dari 10.000 hektar lahan perkebunan telantar yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit. Lahan-lahan tersebut merupakan lahan pemerintah dan lahan milik para transmigran asal berbagai daerah di Indonesia. Aji mengakui, saat ini sedang mulai mengusahakan sekitar 5.000-an hektar lahan tidur untuk diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Sekitar 1.000 keluarga, kata Aji, saat ini sedang menjalani pelatihan secara bertahap untuk memperdalam pengetahuan mereka mengenai tata cara menanam kelapa sawit.

Permasalahan yang dihadapi, kata Aji, adalah para calon petani plasma menginginkan kepastian hukum calon lahan yang ingin digarapnya. Para petani, katanya, tidak ingin lahannya diambil alih oleh pihak mana pun ketika sedang diusahakan.

Selain itu, kata Aji, pemerintah setempat juga tidak memiliki database mengenai lahan-lahan tidur yang akan digarap. ”Itu menjadi masalah tersendiri bagi kami,” katanya.

Hal tersebut diakui oleh T Yacob Ishadamy, anggota tim asistensi bidang perekonomian Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut Yacob, tidak mudah bagi timnya untuk memperoleh data-data serta peta-peta hak guna usaha milik para pengusaha perkebunan yang mengusahakan lahannya di Aceh ini.

”Akhirnya kami sering kali harus turun ke lapangan sendiri untuk memastikan peta-peta yang sudah dimiliki,” katanya.

Tim, kata Yacob, sering kali menemukan peta-peta HGU milik para pengusaha yang tumpang tindih dengan lahan lain yang juga diusahakan, baik oleh pengusaha lain maupun rakyat. Tidak jarang, katanya, lahan yang diusahakan keluar dari peta yang telah ditetapkan. ”Banyak,” katanya ketika ditanya mengenai jumlah kebun kelapa sawit yang keluar dari peta HGU.

Ketua Tim Penyusun Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh Bhakti Siahaan juga mengakui hal itu. Menurut dia, bila hal ini tidak diselesaikan, tahun-tahun mendatang


http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/15/00025452/hgu.tumpang.tindih

Minggu, 14 Desember 2008

Awal 2009, Harga TBS Normal

Kamis, 11 Desember 2008 | 08:08 WIB 
PEKANBARU--Dinas Perkebunan (Disbun) Riau memprediksi awal tahun 2009 mendatang, harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit akan kembali normal. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga jual TBS sudah terlaksana. Saat ini harga jual TBS di kisaran Rp1.057.
 
Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Riau Susilo SE yang ditemui di Kantor Gubernur Riau, Rabu (10/12) mengatakan, jika pekan lalu harga sawit mencapai Rp975,99 per kilogram, maka berdasarkan hasil rapat Tim Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Provinsi Riau, Rabu (10/12), harga sawit mencapai Rp1.057 per kilogram.

“Kita optimis harga sawit awal tahun depan akan kembali normal. Jika kita lihat perkembangan harga sawit saat ini, sudah mulai mengalami peningkatan. Dan kita tetap berupaya untuk meningkatnya,” tuturnya.

Dikatakannya, hasil keputusan rapat Tim Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Provinsi Riau pada Rabu (10/12) melalui pembahasan dan diskusi yang dilakukan oleh anggota tim terhadap informasi dan data yang disampaikan oleh empat perusahaan sumber data 10 perusahaan yang ditetapkan, telah dinyatakan layak untuk diolah yakni, harga CPO rerata tertimbang priode penjualan 1-7 Desember 2008 Rp5.213,00. 

Harga kernel rerata tertimbang priode penjualan 1-7 Desember 2008 Rp2.216,49, indek “K” (persen) 84,37 persen dengan menggunakan rumus HTBS = K{(HCPOxRCPO)+(hisxRis)}. 

Berdasarkan keputusan tersebut, dapat dirinci harga sawit priode Senin hingga Minggu tanggal 8 sampai 14 Desember 2008 sebagai berikut untuk harga sawit umur 3 tahun Rp756,24 per kilogram. Sawit umur 4 tahun Rp845,47 per kilogram, umur 5 tahun Rp905,13 per kilogram, umur 6 tahun Rp930,86 per kilogram, umur 7 tahun Rp966,65 per kilogram, umur 8 tahun, Rp996,73 per kilogram, umur 9 tahun Rp1.028,18 per kilogram dan umur 10 tahun ke atas Rp1.075,32 per kilogram. ‘’Kita berharap harga TBS ini terus mengalami kenaikan sehingga petani tidak disulitkan karena penurunan harga TBS ini dan kita optimistis awal tahun mendatang harga TBS akan kembali normal,’’ tuturnya.(uli)
http://www.riautoday.com/

Warga Gagalkan Pembongkaran Kebun Sawit di Bukit Suligi

Ahad, 14 Desember 2008 17:20
Sandra Alat Berat,
Upaya BKSDA Riau membebaskan kawasan hutan lindung Bukit Suligi dari kebun kelapa sawit tak berjalan mulus. Puluhan warga menyandera alat berat untuk menggagalkan pemulihan kawasan penyanggah tersebut.

Riauterkini-TANDUN- Untuk ketiga kalinya Departemen Kehutanan, melalui Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau bekerjasama dengan Pemkab Rokan Hulu (Rohul) melakukan pembongkaran tanaman kelapa sawit ilegal di kawasan hutan lindung Bukit Suligi di Desa Sungai Kemuning, Kecamatan Tandung, Sabtu (13/12). Namun upaya tersebut tak berjalan mulus. baru sekitar satu hektar tanaman kelapa sawit dirobohkan dengan menggunakan dua unit eskafator muncul puluhan warga yang mengaku pemilik tanaman tersebut.

Warga yang terdiri dari pria dan wanita tersebut menghadang alat berat yang sedang bekerja. Bahkan kaum hawa merebahkan diri dihadapan alat berat sambil menangis dan meronta. Ulah ini membuat puluhan warga lainnya mendekati alat berat. Perlawanan dari warga tidak mampu dicegah seratusan lebih aparat gabungan dari Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC), Kepolisian dan Kejaksaan yang mengawal pemusnahan. Aparat berupaya menghidari bentrokan dengan warga. Dan terpaksa menghentikan sementara upaya pemusnahan. Warga mengaku tidak ada pemberitahuan sebelumnya soal pembongkaran ini. Mereka juga menganggap perkebunan ini merupakan tanah ulayat dan berada di luar kawasan lindung Bukit Suligi.

Yurnatis, 50, salah seorang pemilik kebun meminta pemerintah menghentikan pemusnahan kebun hingga ada jalan keluar yang terbaik bagi mereka. Pria yang mengaku memiliki 13 hektare tanaman sawit berumur 10 tahun ini meminta pemerintah memberi kesempatan pada warga menyelesaikan satu rotasi masa tanaman. “Kami minta tamanan ini ini dibiarkan hidup hingga berumur 20 tahun. Karena kami sudah mengeluarkan biaya cukup besar untuk menanam dan memelihara tanaman ini,” pinta Yurnatis.

Menurut Kepala BKSDA Riau Rachman Siddik, upaya pemusnahan kemarin merupakan langkah ketiga setelah sebelumnya pada Agustus dan November lalu pemerintah melakukan hal yang sama. Sekitar 16 hektare tanaman kelapa sawit dibongkar pada dua pemusnahan tersebut. Targetnya Bukit Suligi akan terus dibersihkan dari tanaman kelapa sawit hingga 100 hektare sampai 23 desember mendatang.

"Dengan pembongkaran tanaman kelapa sawit pemerintah berupaya mengembalikan fungi kawasan Bukit Suligi sebagai hutan lindung. Dari sekitar 30 ribu luas kawasan lindung ini, hanya 500 hektare saja yang memiliki tutupan hutan. Selebihnya beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit," ujarnya kepada wartawan.

Lebih lanjut Rachman Siddik mengatakan, pemulihan fungsi kawasan ini mendesak karena Bukit Suligi merupakan area tangkapan air di bagian hulu sejumlah sungai besar di Riau. Seperti Sungai Rokan, Tapung dan Siak. Kemampuannya menjadi area tangkapan air semakin berkurang karena beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit warga. “Tindakan ini untuk meminimalkan bencana banjir yang kerap terjadi di sejumlah daerah di Riau. Terutama daerah-daerah di hilir sejumlah sungai tadi. Setelah sawitnya dimusnahkan, kawasan ini akan direobisasi,” jelasnya.

Sementara Kepala Dinas Kehutanan Rohul Asril Astaman mengatakan pemerintah tidak memberikan toleransi dan kompensasi apapun terhadap perkebunan di dalam kawasan lindung Bukit Suligi. “Warga boleh mengatakan dalih apa saja untuk pembenaran tindakan mereka. Tapi kami tetap pada keputusan untuk mengembalikan fungsi kawasan ini sebagai hutan lindung. Ini untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar,” jelas Asril.

Menurutnya, warga menduduki hutan lindung ini sekitar 10 tahun lalu ketika era reformasi mulai bergulir. Saat itu kontrolnya memang lemah karena daerah ini dulunya jadi bagian Kabupaten Kampar. Hingga juah dari pengawasan. “Kebijakan ini tidak hanya penyelamatan lingkungan hidup. Tapi juga untuk menyelamatkan komoditas sawit Indonesia yang citranya buruk di mata Internasional karena ditanam di kawasan lindung. Jadi kami harus konsisten melaksanakan kebijakan ini,” ujarnya.***(mad)


http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=22058

Sabtu, 13 Desember 2008

Pemprov NAD Tahun 2009 Lakukan Uji Coba Sistem Zonasi Pertanian

Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:18 WIB 

Banda Aceh, Kompas - Tahun 2009, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berencana melakukan uji coba pembagian wilayah tanam untuk zona-zona wilayah tertentu di daerah penyangga pertanian. Keseragaman ini diharapkan bisa menjaga kualitas hasil tanam dan harga jual di tingkat petani.

Kepala Badan Ketahanan Pangan NAD Silman Haridy, ditemui di kantornya di Banda Aceh, awal pekan ini, mengatakan, rencana ini sedang dalam tahap pembahasan dengan instansi teknis terkait, seperti dinas pertanian tanaman pangan dan hortikultura, dinas perindustrian dan perdagangan, serta sekretariat daerah.

Silman mengatakan, selama ini harga di tingkat petani masih sangat rendah karena gabah mereka langsung dibeli pengepul.

”Para pengepul inilah yang selama ini menentukan harga. Meski dalam kondisi bagus, para petani ditekan untuk menjual hasil produksinya dengan harga rendah,” kata Silman.

Tak diuntungkan

Silman menjelaskan, para petani sama sekali tidak diuntungkan dengan banyaknya varietas tanaman padi yang ditanam di lahan sawah mereka. Beragamnya jenis varietas padi yang ada di dalam satu wilayah sama sekali tidak menjamin tingginya harga di tingkat petani.

”Kalau varietasnya sama, pengelolanya sama, yaitu para petani, mereka yang akan menentukan harga di tingkat produsen. Bukan para pengepul,” katanya.

Rencananya, kata Silman, penyeragaman ini akan dilakukan pada tingkat kemukiman. Tiap kemukiman akan ditentukan varietas unggulan yang akan ditanam di wilayah tersebut.

”Hasilnya akan dikelola oleh semacam koperasi pertanian bentukan kelompok tani. Mereka yang akan menentukan harga jual kepada pengepul. Tentunya harga akan berada di atas harga pembelian petani yang sudah ditentukan oleh pemerintah,” katanya.

Silman mengatakan, selain mengurangi kemungkinan terjangkitnya hama penyakit karena waktu tanam yang bersamaan, adanya penyeragaman varietas dalam satu musim juga akan meningkatkan produksi satu jenis varietas unggul di satu wilayah tertentu.

”Begitu juga dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Semua bisa terpantau. Termasuk kebutuhan penggunaan pupuk di satu wilayah dalam satu kali masa tanam,” katanya.

Beberapa ahli ekonomi menyatakan pemerintah Aceh dan warganya harus berinisiatif membangun industri pertanian yang kreatif agar memberi nilai tambah bagi keluarga-keluarga mereka. (MHD)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/13/0118237/pemprov.nad.tahun.2009.lakukan.uji.coba.sistem.zonasi.pertanian

Ekstensifikasi Lahan Sawit Ditolak

Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:18 WIB 

Banda Aceh, Kompas - Tim Penyusun Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh tidak merekomendasikan rencana Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di sejumlah wilayah. Peningkatan produktivitas hasil perkebunan kelapa sawit dengan luasan lahan perkebunan yang ada harus menjadi pilihan dibandingkan ekstensifikasi lahan.

Graham Usher, anggota TPRSPHA-Pemprov NAD, dalam paparannya saat Lokakarya Multi-pihak Pengembangan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Banda Aceh, Jumat (12/12), mengatakan, kondisi lingkungan tidak memungkinkan adanya ekstensifikasi perkebunan sawit di wilayah ini.

”Tidak direkomendasikan adanya ekstensifikasi atau perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit,” katanya.

Graham menjelaskan, hasil kajian tim TPRSPHA, kondisi geologi lingkungan Aceh sudah tidak memungkinkan adanya pembukaan lahan baru perkebunan sawit. Meskipun ada rawa gambut yang bisa ditanami dengan kelapa sawit, hal itu sama sekali tidak direkomendasikan untuk dilakukan lagi.

Dia menjelaskan, dari total luas hutan di Aceh sekitar 3,5 juta hektar, yang berada dalam kondisi cukup baik hanya 58-60 persen. Sisanya, katanya, sudah dalam kondisi yang rusak parah. ”Sebaiknya tidak ada pengurangan luasan hutan kembali,” katanya.

Perluasan

Pemprov NAD sendiri berencana memperluas perkebunan kelapa sawit dalam beberapa tahun mendatang. Rencananya, program pengembangan kelapa sawit yang termasuk dalam program Aceh Green tersebut akan mengembangkan sekitar 200.000 hektar lagi perkebunan kelapa sawit.

Graham mengakui tidak adanya kesamaan persepsi antara perencanaan di tingkat makro (pemerintah provinsi) dan dinas-dinas teknis serta pemerintah kabupaten/kota lainnya. ”Persepsi mereka, membuka lahan baru. Bukan memberdayakan lahan tidur,” katanya.

Rendah

Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Perkebunan Daerah NAD Sabri Basyah mengakui, saat ini tingkat produktivitas perkebunan di Aceh masih sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. Tingkat produktivitas lahan perkebunan kelapa sawit di tingkat nasional, katanya, sudah mencapai lebih dari 3 ton minyak kelapa sawit mentah per hektar. ”Sedangkan di Aceh masih kurang dari 1 ton per hektar. Sangat rendah,” katanya. (MHD)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/13/01184490/ekstensifikasi.lahan.sawit.ditolak

Sawit Ilegal Tak Terusut

Sejak 2005 Belum Tuntas Proses Hukumnya
Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:18 WIB 

Medan, Kompas - Kasus perdagangan sawit ilegal atau tanpa dokumen terhenti sejak 2005. Penyidikan kasus ini tidak transparan dan belum ada pelaku yang terkena sanksi hukum. Kasus terakhir, perdagangan 30.000 benih sawit ilegal dari Medan ke Kendari, Sulawesi Tenggara, belum jelas hasilnya.

”Saya belum mendapat kabar hasil penyelidikan kasus ini. Sebagai pelapor, kami mestinya mendapatkan informasi hasil pemeriksaan. Namun sejak 2005, semua kasus penggagalan perdagangan benih sawit ilegal belum ada hasil,” tutur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Karantina Pertanian Kelas II Medan Susana Bangun, Jumat (12/12).

Susana mengatakan, sejak tahun 2005, Balai Karantina telah menyerahkan enam kasus serupa hasil penggagalan petugas. Sayangnya, sejak itu pula tidak pernah ada hasil pemeriksaan petugas. Sepenuhnya, kata Susana, proses pemeriksaan ini ada di tangan PPNS.

Susana mengaku kecewa terhadap lambannya proses penyidikan petugas. Dia berharap PPNS Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) transparan dalam hal pemeriksaan perdagangan benih sawit ilegal.

Orang kuat

Berlarutnya proses penyidikan perdagangan benih sawit ilegal ini dia duga melibatkan orang kuat. Salah satunya mereka yang kedapatan langsung sebagai pelaku perdagangan. Sejumlah kasus yang melibatkan orang kuat ini salah satunya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Asahan akhir tahun lalu. Adapun kasus terakhir diduga kuat melibatkan petugas pengiriman barang di Bandara Polonia dan PT Pos Indonesia.

Dugaan keterlibatan jaringan terorganisasi sempat disampaikan Susana bulan lalu. Indikasinya, kasus terakhir lolos dari pantauan petugas sebanyak tiga kali pengiriman. Hal yang sama disampaikan perwakilan PT Damai Jaya Lestari (DJL) Asmansyah. Pengiriman ini sama sekali tidak sepengetahuan perusahaannya. Hanya saja pengiriman benih sawit tersebut mengatasnamakan PT DJL dengan memakai dokumen palsu.

Kepala BBP2TP Sumut Rismansyah mengatakan, kasus ini masih dalam penanganan PPNS. Belum ada laporan, tuturnya, yang sampai kepadanya terkait dengan pemeriksaan ini. ”Sejauh ini kami masih meminta keterangan saksi-saksi. Ada enam kasus yang kami periksa bekerja sama dengan Polda (Kepolisian Daerah) Sumut,” tuturnya.

Dia mengatakan, pemeriksaan perdagangan benih sawit ilegal ini perlu kehati-hatian. Ada fakta yang terpaksa tidak bisa disampaikan ke publik demi kepentingan penyelidikan. (NDY)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/13/01180085/sawit.ilegal.tak.terusut

Jumat, 12 Desember 2008

Luas Kebun K2i Bertambah Jadi 11.619 Hektar

Rabu, 10 Desember 2008 15:18
Meski banyak dibelit masalah, namun program kebun K2i berlanjut. Bahkan perubahan kotrak menyebabkan luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

Riauterkini-PEKANBARU- Berdasarkan kontrak awal antara Pemprov Riau dengan PT. Gerbang Eka Palmina (GEP), luas kebun kelapa sawit yang akan dibangun dalam rangka mengentaskan kemiskinan adalah 10.200 hektar, namun setelah dilakukan perubahan kontrak luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

“Setelah dilakukan perubahan kontrak dengan PT.GEP terjadi penambahan luas kebun menjadi 11.619 hektar,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo kepada riauterkini di ruang kerjanya, Rabu (10/12). 

Perubahan kontrak yang dimaksud Susilo terjadi pada batas kewajiban PT.GEP dalam membangun kebun. Jika semula anggaran Rp 217 miliar (termasuk pajak) GEP harus membuka lahan, menanam dan memelihara kebun kelapa sawit seluas 10.200 hektar, kini kewajibannya hanya sebetas sampai menanam. Sementara untuk memelihara akan menggunakan anggaran lain. 

Karena batas kewajibannya dikurangi, maka terjadi penurunan nilai kontrak setiap hektarnya. Jika sebelumnya satu hektar Rp 19,5 juta menjadi Rp 15 juta sampai penanaman pohon kelapa sawit. 

Dijelaskan Susilo, untuk pemeliharan PT.GEP akan menggandeng pihak perbankan dalam mendanainya. “Sudah ada pembicaraan dengan sejumlah bank untuk mendanai proses pemeliharaan kebun sampai masa panen dan diserahkan kepada petani,” paparnya. 

Lebih lanjut Susilo mengatakan, bahwa sampai akhir 2008 penanaman kelapa sawit oleh PT.GEP ditargetkan mencapai 2.000 hektar. Sedangkan untuk tahun depan ditargetkan bisa menanam hingga 8.000 hektar. Ia yakin target selesai 2010 sebagaimana diamanahkan Perda bisa tercapai. “Sekarang tidak ada masalah. Tinggal Kuansing dan Rokan Hulu yang lahannya belum tuntas penyediaannya. Selebihnya sudah tersedia dan siap ditanam,” demikian penjelasannya.***(mad)


Rabu, 10 Desember 2008 15:18
Luas Kebun K2i Bertambah Jadi 11.619 Hektar 

Meski banyak dibelit masalah, namun program kebun K2i berlanjut. Bahkan perubahan kotrak menyebabkan luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

Riauterkini-PEKANBARU- Berdasarkan kontrak awal antara Pemprov Riau dengan PT. Gerbang Eka Palmina (GEP), luas kebun kelapa sawit yang akan dibangun dalam rangka mengentaskan kemiskinan adalah 10.200 hektar, namun setelah dilakukan perubahan kontrak luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

“Setelah dilakukan perubahan kontrak dengan PT.GEP terjadi penambahan luas kebun menjadi 11.619 hektar,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo kepada riauterkini di ruang kerjanya, Rabu (10/12). 

Perubahan kontrak yang dimaksud Susilo terjadi pada batas kewajiban PT.GEP dalam membangun kebun. Jika semula anggaran Rp 217 miliar (termasuk pajak) GEP harus membuka lahan, menanam dan memelihara kebun kelapa sawit seluas 10.200 hektar, kini kewajibannya hanya sebetas sampai menanam. Sementara untuk memelihara akan menggunakan anggaran lain. 

Karena batas kewajibannya dikurangi, maka terjadi penurunan nilai kontrak setiap hektarnya. Jika sebelumnya satu hektar Rp 19,5 juta menjadi Rp 15 juta sampai penanaman pohon kelapa sawit. 

Dijelaskan Susilo, untuk pemeliharan PT.GEP akan menggandeng pihak perbankan dalam mendanainya. “Sudah ada pembicaraan dengan sejumlah bank untuk mendanai proses pemeliharaan kebun sampai masa panen dan diserahkan kepada petani,” paparnya. 

Lebih lanjut Susilo mengatakan, bahwa sampai akhir 2008 penanaman kelapa sawit oleh PT.GEP ditargetkan mencapai 2.000 hektar. Sedangkan untuk tahun depan ditargetkan bisa menanam hingga 8.000 hektar. Ia yakin target selesai 2010 sebagaimana diamanahkan Perda bisa tercapai. “Sekarang tidak ada masalah. Tinggal Kuansing dan Rokan Hulu yang lahannya belum tuntas penyediaannya. Selebihnya sudah tersedia dan siap ditanam,” demikian penjelasannya.***(mad)
http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=22004

Sejak Oktober, Kesejahteraan Petani Menurun

Jum’at, 12 Desember 2008 16:27
Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, kesejahteraan petani pada bulan Oktober ini turun. Penurunannya mencapai 9,33 persen.

Riauterkini-PEKANBARU-Kepala Biro Pusat Statistik (BPS) Riau, Irland Indrocahyo kepada Riauterkini Jum’at (12/12) menyatakan bahwa pada bulan Oktober 2008 lalu, kesejahteraan petani sedikit menurun dibandingkan dengan bulan September. Penurunannya relative kecil. Yaitu hanya sebesar 9,33 %.

Jika pada bulan September 2008 lalu tingkat kesejahteraan petani mencapai 104,35%, pada bulan Oktober hanya sebesar 94,62%. Penurunan tersebut disebabkan karena indeks yang diterima petani turun sebesar 8,97%. Sebaliknya indeks yang dibayar petani naik 0,4%.

“Untuk kesejahteraan petani tanaman pangan tercatat sebesar 103,21%. Untuk kesejahteraan petani holtikultura tercatat sebesar 107,93%. Kesejahteraan petani perkebunan rakyat hanya sebesar 80,27%, kesejahteraan petani peternakan sebesar 97,63% dan tingkat kesejahteraan petani nelayan sebesar 95,91%,” terangnya.
br> Kata Irland, komoditas yang memiliki andil terjadinya penurunan indeks yang diterima petani tertinggi terjadi pada subsektor tanaman perkebunan rakyat yang disebabkan turunnya harga sub kelompok tanaman perkebunan rakyat. Antara lain komoditas karet, kelapa sawit dan kelapa. Andil masing-masing komoditas sebesar -19,28%, -6,39% dan -0,63%.

Sementara, katanya, andil komoditas yang menyebabkan kenaikan indeks yang dibayar petani tertinggi pada subsektor peternakan yang disebabkan adanya kenaikan harga komoditas cabe rawit, beras, ikan emas dengan andil masing-masing sebesar 1,69%, 0,37%, dan 0,1%. Serta minyak tanah dan kerang dengan besaran andil masing-masing 0,08%.

“Untuk daging sapid an makanan ringan anak-anak dengan andil masing-masing 0,05%, emas perhiasan dengan andil 0,04%, sabun colek andilnya 0,03%, daster dan ongkos angkut menyumbang andil masing-masing sebesar 0,02%,” terangnya.***(H-we)
http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22041

Sabtu, 29 November 2008

Industri Hilir Hanya Serap 10 Persen CPO di Jambi

Sabtu, 29 November 2008 | 01:10 WIB

Jambi, Kompas - Produksi minyak mentah sawit atau CPO di Jambi telah mencapai 1,1 juta ton. Namun, 90 persen dari produksi tersebut belum dimanfaatkan oleh industri hilir.

Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Ali Lubis di Kota Jambi, Jumat (28/11). ”Produksi CPO terus meningkat setiap tahun, tetapi baru satu pabrik di Jambi yang telah mengolahnya menjadi produk jadi, berupa minyak curah,” tuturnya.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan, produksi CPO tahun 2007 mencapai 1,15 juta ton. Volume produksi naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 970.000 ton. Areal penanaman sawit juga rata-rata meluas 30.000 hektar per tahun. Tahun ini sudah 458.000 hektar lahan ditanami sawit. Sebanyak empat juta kecambah juga telah dipersiapkan untuk penanaman tahun 2009.

Satu perusahaan yang telah mengolah CPO menjadi minyak curah adalah PT Agro Indah Persada di Kabupaten Merangin. Kapasitas produksi pabrik tersebut 35 ton CPO dengan menghasilkan 20 ton minyak curah. Ini berarti, baru sekitar 10 persen dari total produksi Jambi yang dimanfaatkan industri hilir. Sementara 90 persen produksi CPO lainnya langsung dijual ke luar Jambi dan diekspor.

Menurut Ali, dengan anjloknya harga CPO belakangan ini, industri hilir perlu dikembangkan agar komoditas tersebut memiliki nilai tambah.

Selain itu, para petani diimbau dapat melaksanakan diversifikasi pertanian. Mereka jangan menanam satu jenis komoditas saja, tetapi sedapat mungkin lebih variatif. Ini supaya apabila terjadi penurunan nilai jual pada salah satu komoditas, petani tidak akan terempas ekonominya karena masih dapat bergantung pada hasil panen komoditas lainnya.

Ali menambahkan, jatuhnya harga TBS tak terlalu memukul petani plasma, tetapi petani swadaya paling terpukul. Oleh karena itu, pihaknya berharap adanya penguatan lembaga tani atau kelompok tani. (ITA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/29/01100595/industri.hilir.hanya.serap.10.persen.cpo.di.jambi

Jumat, 28 November 2008

Petani Sawit Tuntut Lahan Perkebunan


Jumat, 28 November 2008 | 02:02 WIB

Jambi, Kompas - Petani sawit pada sejumlah desa di Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, mengadu ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara atau BPN Jambi, Kamis (27/11). Mereka menuntut status kepemilikan lahan perkebunan yang tengah disengketakan dengan PT Jambi Sawit Lestari.

Kepala Desa Simpang Rantau Gedang, Kecamatan Mersam, M. Tarmizi AB mengatakan, kedatangan mereka ke BPN mewakili 480 keluarga petani setempat. Mereka menuntut hak menggunakan 2.480 hektar areal perkebunan sawit PT JSL. Areal ini telah mereka duduki secara bertahap sejak 1995 hingga 2003.

”Kami memanfaatkan dan mengelola lahan karena perusahaan meninggalkan areal tersebut dari tahun 1995. Sejak itu, kamilah yang merawat perkebunan,” tutur Tarmizi.

Ia melanjutkan, belakangan perusahaan kembali masuk ke areal perkebunan untuk memanen hasil sawit yang telah dikelola warga. Hal ini mengakibatkan masyarakat resah.

”Kalau lahan tidak dirawat dan ditelantarkan cukup lama, izin hak guna usaha pada perusahaan semestinya dicabut. Kamilah yang kemudian merawatnya, semestinya memperoleh izin pemerintah,” lanjut Tarmizi.

Hal senada diutarakan Ali Damra, warga setempat. Lahan dikelola sejak perusahaan mengabaikan areal tersebut. (ITA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/28/02023014/petani.sawit.tuntut.lahan.perkebunan

Kamis, 27 November 2008

Pengusaha Tagih Uang Pungutan

Nilainya Rp 21 Triliun sejak 2001
Kamis, 27 November 2008 | 00:10 WIB

Medan, Kompas - Pengusaha kelapa sawit di Sumatera Utara kembali menagih imbal balik pungutan ekspor atau PE yang dibebankan kepada mereka. Selama ini, pungutan tersebut belum pernah dirasakan dampaknya oleh pengusaha di daerah. Mereka menuntut PE dihapuskan karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

”Untuk apa saja PE selama ini dipakai, kami tidak tahu. Padahal, nilainya sangat besar,” tutur Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Timbas Prasad Ginting, Rabu (26/11) di Medan.

Timbas menginginkan PE dikembalikan untuk perbaikan infrastruktur perkebunan. ”Selama ini, kami harus menanggung beban tudingan kerusakan infrastruktur,” katanya.

Infrastruktur perkebunan penting artinya untuk memperlancar transportasi dari kebun menuju daerah pemasaran. ”Namun, selama ini tidak terjadi,” kata Timbas.

Selain harus membayar PE, tuturnya, pengusaha harus menanggung biaya pungutan dari setiap daerah. Hal ini, kata Timbas, yang menjadi penyebab biaya produksi kelapa sawit menjadi tinggi.

Pungutan semacam ini berlaku bagi pengusaha kelapa sawit sejak akhir Januari 1984 melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan. Tujuan pungutan ini semata-mata sebagai stabilisator suplai kebutuhan dalam negeri.

Pada awalnya, PE dibebankan 37,18 persen dari harga patokan ekspor (HPE) meski saat ini nilai PE sebesar nol persen dari HPE. Kendati demikian, pengusaha belum merasa tenang karena sewaktu-waktu bisa berlaku lagi.

”Keputusan ini (nilai PE nol persen) bisa berubah jika harga sawit kembali bagus,” katanya.

Nilai PE pernah mencapai 60 persen dari HPE pada 1994 yang ditetapkan oleh SK Menteri Keuangan. Untuk memperbaiki tata niaga kelapa sawit dan produk turunannya, tutur Timbas, perlu komitmen serius pemerintah.

Eksportir minyak sawit mentah (CPO) membayar PE langsung ke rekening bendahara umum negara. Pembayaran dilakukan ke rekening nomor 502000000 Bank Indonesia.

Tidak kuat

Pemberlakuan PE, kata Timbas, tidak berdasarkan dasar hukum yang kuat. Mestinya sebuah pungutan atau pajak dan sejenisnya ditetapkan melalui undang-undang. Anehnya, hasil pungutan ini baru masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak 1988. ”Lalu sebelumnya mengalir ke mana?” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Elfenda Ananda mengatakan, pemberlakuan pajak harus melalui ketetapan hukum tetap. Pemberlakuan pajak ini tidak bisa hanya melalui surat keputusan menteri.

Berdasarkan hierarki perundang-undangan Indonesia, yang memungkinkan mengatur pajak ini melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan pemerintah, dan peraturan daerah.

”Misalnya di tingkat daerah, keputusan bupati atau gubernur tidak bisa diberlakukan hanya melalui surat keputusan mereka. Keputusan pemberlakuan pajak atau sejenisnya harus melalui persetujuan legislatif,” katanya.

Surat keputusan pejabat, katanya, hanya bisa berlaku di internal lembaga. Aturan ini bisa memicu persoalan hukum. (NDY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/0010473/pengusaha.tagih.uang.pungutan

Disiapkan OP Pupuk Bersubsidi

DPR Minta Pemerintah Kaji Subsidi Langsung
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images
Ketua DPR Agung Laksono (kanan) menyapa (dari kanan) Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu sebelum memulai rapat kerja yang membahas masalah kelangkaan pupuk di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (26/11).
Kamis, 27 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah akan menghitung kembali kebutuhan pupuk bersubsidi untuk musim tanam bulan November dan Desember 2008. Pemerintah juga akan menggelar operasi pasar pupuk bersubsidi.

Akan tetapi, belum dipastikan berapa besar pupuk yang dialokasikan untuk operasi pasar tersebut. Demikian dikatakan Menteri Pertanian Anton Apriyantono dalam Rapat Pimpinan DPR dan pemerintah di Jakarta, Rabu (26/11).

”Tambahan pupuk urea bersubsidi 200.000 ton mungkin kurang. Ini akan dihitung lagi dan segera dicarikan solusi, tapi saya yakin tambahannya sampai Desember 2008 tidak akan terlalu besar,” kata Anton.

Rapat yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono juga dihadiri Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman mengatakan, aturan tentang operasi pasar untuk kebutuhan pupuk bersubsidi sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 34 Tahun 2008.

”Sebenarnya produsen bisa langsung menugaskan distributor menyalurkan pupuk ke petani jika terjadi kelangkaan asal ada kepastian dibayar. Tetapi, begitu menyangkut anggaran, pemerintah tidak bisa menyelesaikan sendiri. Perlu selalu dicek juga apakah realisasi penyaluran yang melampaui rencana alokasi itu karena bocor,” ujar Ardiansyah.

Bukan penyelewengan

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menambahkan, kepala daerah juga mempunyai hak merealokasikan keperluan pupuk antarkawasan di wilayahnya, sejauh dilakukan sesuai aturan.

”Perpindahan alokasi yang wajar tidak dianggap penyelewengan, tetapi belum jalan di lapangan,” ujar Mari.

Pada kesempatan itu, DPR mendesak pemerintah membuat langkah darurat penanganan kelangkaan pupuk. Untuk itu, antara lain, akan digelar operasi pasar pupuk bersubsidi di kawasan yang mengalami kelangkaan. Sistem pelaporan cepat juga perlu lebih diefektifkan.

Sekretaris Fraksi PDI-P Ganjar Pranowo mengatakan, kelangkaan pupuk seharusnya bisa dihindari jika kepala desa diposisikan sebagai pengawas penyaluran pupuk dan memegang kontak hotline ke produsen pupuk jika terjadi kelangkaan.

Jika sistem hotline efektif, laporan kelangkaan bisa langsung direspons oleh produsen dengan membawa pupuk bersama tim gabungan, termasuk polisi.

Ketua Komisi VI DPR Totok Daryanto mengatakan, selain menyiapkan langkah darurat untuk mengatasi kelangkaan pupuk, pemerintah juga perlu membuat perubahan mendasar dalam kebijakan pupuk.

Komisi VI mengusulkan, subsidi untuk pupuk disalurkan secara langsung pada petani. ”Subsidi langsung ke petani itu merupakan upaya untuk menyederhanakan persoalan,” ujar Totok.

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, pemerintah harus segera menyempurnakan sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK).

Penyempurnaan sistem RDKK harus diikuti penegakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan distribusi. ”Selama ini tidak pernah ada sanksi yang jelas dan menjerakan terhadap pelaku penyimpangan distribusi pupuk,” ujar Siswono. (day/mas/ham)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/00522335/disiapkan.op.pupuk.bersubsidi

Restribusi TBS di Pelalawan Jalan Terus

Rabu, 26 Nopember 2008 19:55
Perda Dicabut Mendagri,
Mendagri telah mencabut Perda Nomor 56/2004 milik Pemkab Pelalwan, namun pemungutan restribusi TBS kelapa sawit tetap jalan terus.

Riauterkini-PEKANBARU-Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Riau, Zulbahri kepada Riauterkini Rabu (26/11) mempertanyakan kebijakan Pemerintah Daerah Pelalawan yang masih memungut retribusi kelapa sawit sebesar Rp 0,3 per kilogram. Pasalnya Zulbahri yang mewakili kalangan pengusaha meyakini bahwa perda retribusi TBS tersebut telah dicabut oleh Menteri Dalam Negeri, termasuk perda retribusi TBS di beberapa daerah lainnya. Artinya, saat ini Kabupaten Pelalawan merupakan satu-satunya kabupaten atau kota yang masih tetap memungut retribusi terhadap TBS. "Padahal Menteri Dalam Negeri telah mencabut peraturan daerah Nomor 56/2004, dan daerah-daerah lain tidak lagi melakukan penarikan retribusi berdasarkan perda tersebut," ungkap Zulbahri.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pelalawan, hingga kemarin telah berhasil memungut retribusi TBS sebesar Rp612 juta dari Rp750 juta yang ditargetkan tahun ini. Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan Teguh Budi Prasetyo kepada Riauterkini pada acara pertemuan pengusaha kelapa sawit Kabupaten Pelalawan di hotel Ibis Pekanbaru Rabu (26/11) mengatakan, pendapatan dari pungutan retribusi TBS sawit ini belum memenuhi target yang ditetapkan sebesar Rp 750 juta.

"Pemkab memungut retribusi Rp0,3/kg TBS dari perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit. Pungutan ini sesuai dengan Peraturan Daerah nomor 56 tahun 2004. Tahun 2007 lalu realisasi pendapatan melebihi target dengan pencapaian realisasi Rp770 juta, padahal target tahun itu hanya Rp650 juta," katanya.

Disinggung mengenai permendagri no. 56/2005 yang sudah dicabut, Kepala Dinas Perkebunan Pelalawan, Teguh Budi Prasetyo mengatakan, bahwa sampai saat ini pihaknya belum mengetahui ataupun menerima surat pencabutan Perda Pelalawan Nomor 56 tahun 2004 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). " Kita belum menerima surat pencabutan atas perda tersebut. Jadi kami masih tetap menjalankan Perda tersebut. Namun jika surat tersebut sudah sampai, tentu kebijakannya akan lain. Kita harus terima dulu surat itu, jika memang benar," ujarnya.

Terlepas dari polemik mengenai keberadaan perda no.56 tahun 2004 tersebut, Tegus menyatakan bahwa dari 30 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kabupaten Pelalawan baru tiga perusahaan yang memberikan kontribusinya kepada pemerintah. Yakni PT Adei, PT Sari Lembah Subur dan PT Musim Mas. Selebihnya masih tertunggak atau belum membayar sama sekali.

Ia berharap perusahaan perkebunan yang ada di Kabupaten Pelalawan dapat mengerti dan memahami mengenai keberadaan Perda tersebut dan belum sampainya surat pencabutannya. Sehingga dengan ikhlas memberikan kontribusinya kepada Pemkab melalui kas daerah, untuk pembangunan di Kabupaten Pelalawan. Sebab, sampai saat ini baru tiga perusahaan yang menunaikan kewajibannya.***(H-we)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=21841

Pembangunan Industri Hilir CPO Harus Ditopang Regulasi Pusat

Kamis, 27 Nopember 2008 12:05
Wacana pembangunan industri hilir di Riau untuk stabilitas harga TBS terus mendapat dukungan, namun sulit direalisasikan tanpa regulasi pusat yang menjamin ketersediaan bahan baku.

Riauterkini-PEKANBARU- Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Riau Tiolina Panggaribuan mengatakan, keinginan sejumlah pihak untuk pembangunan industri hilir crude palm oil (CPO) sebagai upaya menjaga stabilitas harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit harus terlebih dahulu ada regulasi dari pemerintah pusat. Regulasi tersebut berupa aturan pembatasan ekspor CPO demi ketersediaan bahan baku industri hilir.

“Intinya kita mendukung pembangunan industri hilir CPO, tetapi kita harus menggesa lahirnya regulasi dari pemerintah pusat untuk membatasi ekspor CPO agar ketersediaan bahan baku industri hilir CPO,” ujarnya menjawab riauterkini di Pekanbaru, Kamis (27/11).

Regulasi tersebut, menurut Tiolina harus ada, sebab jika espor CPO tidak dibatasi, maka pengusaha ekan lebih memilih ekspor karena lebih menguntungkan. Jika itu terjadi maka kelangsungan industri hilir CPO bisa terancam.

Tiolina lantas mengemukakan contoh pelarangan ekspor kayu gelondongan. Semula ekspor hasil hutan Indonesia hanya berupa kayu gelondongan, namun kemudian keluar aturan yang mewajibkan ekspor harus berupa kayu olahan.Regulasi seperti itulah yang harus dikeluarkan pemerintah. Untuk CPO, ke depan akan sangat bagus jika ada larangan eskspor CPO, namun eskpor yang dibolehkan ada hasil industri hilir CPO, berupa biodiesel atau lainnya.

Lebih lanjut Tiolina mengatakan, bahwa berdasarkan informasi dari Menteri Perindustrian, regulasi tersebut masih dalam pembahasan. “Kemarin saya tanya sama menteri, katanya masih dibahas,” demikian penjelasannya.***(mad)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=21844

Rabu, 26 November 2008

Iklim Usaha Tak Dukung Industri Hilir Perluasan Lahan Sawit Ditunda

Rabu, 26 November 2008 | 02:13 WIB

Medan, Kompas - Iklim usaha industri hilir kelapa sawit dan pemerintah belum mendukung pengusaha untuk menjamin industri pengolahan minyak sawit mentah. Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumatera Utara Laksamana Adiyaksa mengatakan itu di Medan, Selasa (25/11).

Menurut Laksamana, dalam industri pengolahan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), margin keuntungan bisnis ini tipis meski investasinya besar. Pengembalian investasi pun lama.

”Kalau membangun pabrik kelapa sawit, misalnya, butuh Rp 30 miliar, membangun industri hilir butuh 10 kali lipat,” katanya. Laksamana menyebutkan, hingga kini masih banyak dana siluman yang harus dikeluarkan pengusaha agar investasi bisa berjalan.

Senior Manager PT Sinar Oleochemical International (SOCI) Medan Johan Brien menyebutkan pula, belum ada upaya duduk bersama untuk menyelamatkan industri sawit, khususnya di tingkat daerah. Ia mengusulkan pemerintah menjembatani usaha-usaha itu untuk mencari solusi dan membangun sistem informasi bersama.

”Malaysia lebih punya kesempatan karena mereka mempunyai lobi internasional yang bagus, sementara lobi kita lemah,” tutur Johan.

Selama ini PT SOCI memasok produknya ke Amerika Serikat. Oleochemical itu digunakan untuk bahan kosmetika, pasta gigi, cokelat, hingga ban. Krisis ekonomi telah menyebabkan produksi PT SOCI turun 50 persen.

Ketua Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Selatan, kemarin, mengatakan, kendala pengembangan industri hilir sawit di Sumsel karena tidak ada kebijakan pemerintah yang mendukungnya. Faktor suku bunga perbankan yang tinggi juga menyebabkan investor enggan mengembangkan industri hilir.

Perluasan tertunda

Krisis yang melanda sektor perkebunan sawit juga menghentikan program perluasan lahan. Bahkan, semua perusahaan perkebunan mengurangi frekuensi dan volume pemupukan, serta menunda peremajaan pohon.

Menurut Sumarjono, kegiatan yang masih berjalan dengan normal saat ini hanyalah aktivitas panen. Namun, hasil panen tandan buah segar (TBS) masih menumpuk di lahan atau pabrik karena permintaan konsumen menurun.

Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib optimistis, investor tetap melaksanakan revitalisasi perkebunan sawit meski harga CPO rendah.

Kepala Dinas Perkebunan Sumut Washington Siregar, kemarin, mengatakan, masih ada perluasan pada 2009. Itu terlihat dari permintaan kecambah (bibit) terus meningkat. Ia mengingatkan, perluasan perkebunan sawit hendaknya dilakukan dengan perencanaan. Pembukaan usaha yang berkembang belakangan umumnya pelaku usaha ini tidak menyiapkan industri hilir dan jaringan pemasaran yang baik. (ONI/WAD/WSI/NDY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/26/02133769/iklim.usaha.tak.dukung.industri.hilir

Jumat, 21 November 2008

FKPMR Nilai Wan Tidak Tanggap Atasi Masalah Sawit

PEKANBARU (Rakyat Riau)- Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) menyorot kepemimpinan Gubernur Wan Abu Bakar. Wan dinilai tak cepat tanggap dalam mencarikan solusi terhadap kondisi yang menimpa petani sawit saat ini. Hal ini disampaikan Ketua Harian FKPMR Al-Azhar kepada sejumlah wartawan dalam keterangan persnya Senin (17/11) di gedung FKPMR. Ia menyebutkan, seharusnya Gubernur Wan dan jajaran pemerintahannya bisa cepat mencarikan solusi dengan membuat kebijakan terhadap anjloknya harga sawit yang terjadi saat ini.

"Seharusnya pemerintah provinsi cepat dan tanggap dalam menykapi persoalan ini, ada ribuan petani sawit di Riau ini yang terancam penghidupannya," kata Al-Azhar.

Ketidak tanggapan Wan terhadap nasib petani sawit ini juga didasari FKPMR atas sikap yang ditunjukkan Wan ketika FKPMR ingin beraudiensi guna menyampaikan masukan berupa solusi yang bisa dilakukan Pemprov Riau terhadap permasalahan sawit ini.

"Kita ingin audiensi dengan beliau guna menyampaikan pokok pikiran solusi jangka pendek yg bisa dilakukan Pemprov Riau, guna meningkatkan lebih tinggi lagi harga sawit dari keturunan harga yang terjadi. Akan tetapi jawaban untuk audiensi itu baru diterima tiga minggu setelah itu, dan itupun hanya melalui telepon. Dan kita memutuskan untuk jadi beraudiensi dengan Wan Abubakar," tegas Al Azhar.

Menurut Al-Azhar yang pada saat memberi keterangan tersebut juga dihadiri oleh Ketua Umum FKPMR Kol (Purn) Abbas Jamil, ada tiga solusi jangka pendek yang ditawarkan FKPMR agar tidak terjadi lagi petani sawit yang stres sampai-sampai ada yang mau bunuh diri.

Solusi pertama adalah mengusulkan penambahan jangka waktu kredit perbankan bagi petani.Pemprov Riau diharapkan bisa melakukan pertemuan dengan pihak perbankan guna merumuskan masalah tersebut, mereka para petani yang berhutang kredit agar bisa diberi jangka waktu yang lebih panjang lagi untuk menyelesaikan hutangnya.

Solusi yang kedua adalah memberi subsidi harga, bukan subsidi pupuk dan sebagainya. Sebab, kalau pupuk yang disubsidi, harga juga bisa dipermainkan.

"Dan yang ketiga adalah dengan mengalihkan biaya ekspor ke asosiasi petani sawit. Ini dilakukan guna mengatasi jika terjadinya krisis seperti yang terjadi saat ini," ungkapnya. (nik)

http://rakyatriau.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1469&Itemid=1

Harga TBS Sawit Naik Tipis, Getah Karet Terus Menguat

Rabu, 19 Nopember 2008 09:07
Setelah pekan lalu sempat naik signifikan, pekan ini harga TBS kelapa sawit naik tipis. Sedangkan untuk getah karet kenaikannya lebih baik.

Riauterkini-PEKANBARU- Rapat tim penentuan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang digelar di Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Selasa (19/11) kemarin menghasilkan keputusan yang menunjukkan trand harga TBS kelapa sawit masih terus naik, meskipun untuk herga sepekan ke depan terjadi kenaikan berkisar hanya Rp 3 setiap kilogramnya.

"Harga TBS sawit sepekan ke depan hanya naik tiga rupiah setiap kilonya. Naiknya tipis sekali," ujar Kasubdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Riau Fery kepada riauterkini di Pekanbaru, Rabu (19/11).

Dijeaskan Ferym, jika harga TBS dari tanaman sawit bibit unggul berusia 10 tahun ke atas mengalami pekan lalu Rp 865.95/Kg, maka menjadi Rp 868.95/Kg. Sedangkan untuk harga TBS dari tanaman sawit bibit unggul dengan usia 3 tahun ke atas juga naik dari Rp 619,27/Kg. maka menjadi Rp 622.27/Kg.

Jika TBS sawit hanya naik rata-rata tiga rupiah setiap kilonya, tidak demikian dengan harga getah karet. Berdasarkan data yang didapat riauterkini dari Gabungan Pengusaha Karet Indonesai (Gapkindo) Riau, harga getah terhitung Senin (17/11) hingga sepekan ke depan terjadi penaikan yang cukup kuat, yakni berkisar Rp 500/kilogram. Dari sebelumnya Rp 15.500/kilogram menjadi Rp 16.000/kilogram sampai pintu pabrik untuk getah dengan kadar di atas 95 persen.***(mad)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=21736

120.000 Hektar Hutan Beralih Fungsi Jadi Perkebunan

Jumat, 21 November 2008 | 01:11 WIB

Medan, Kompas - Sekitar 120.000 hektar hutan di Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dalam lima tahun terakhir. Alih fungsi hutan itu belum mendapatkan izin resmi dari Departemen Kehutanan. Perusahaan yang terlibat dalam alih fungsi lahan hanya mengantongi izin lokasi dari bupati setempat.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumut JB Siringoringo, Kamis (20/11) di Medan, alih fungsi hutan menjadi perkebunan antara lain terjadi di Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Tapanuli Selatan yang kini menjadi Kabupaten Padang Lawas, pemekaran dari Tapanuli Selatan.

”Perusahaan belum mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, tetapi hanya izin lokasi dari bupati setempat,” ujarnya.

Menurut dia, pengalihfungsian kawasan hutan menjadi perkebunan tidak boleh dilakukan tanpa izin dari Departemen Kehutanan. Bupati yang mengeluarkan izin lokasi untuk alih fungsi hutan menjadi perkebunan sudah dilaporkan Dinas Kehutanan Sumut ke penegak hukum. Namun, menurut Siringoringo, sampai saat ini belum ada tindakan tegas.

Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Baharudin Jafar saat dikonfirmasi menyatakan, sampai saat ini Polda Sumut masih memeriksa kasus- kasus alih fungsi hutan itu. Salah satunya adalah kasus PT Graha Dura Leidong Prima dan Sawita Leidong Jaya di Labuhan Batu.

Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan, kata Siringoringo, paling parah tingkat degradasi hutannya.

Menurut dia, salah satu kasus alih fungsi hutan menjadi perkebunan yang paling luas di Sumut terjadi di hutan Register 40 Padang Lawas yang dulu masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto seusai acara penyerahan sertifikat massal di Desa Giring Menang, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis, menyatakan, lahan telantar di Indonesia sangat luas. Salah satu penyebabnya adalah lahan tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan.

Sebagian besar lahan digunakan sebagai agunan bank oleh pemegang izin kelola lahan. Menurut Joyo, hal itu berpotensi menimbulkan sengketa tanah. Kini tercatat ada 7.491 kasus. Penyebab lain adalah ketidakjelasan batas tanah dan hak waris. Dari kasus sengketa, ada 11 juta hektar lahan telantar.

”Dari pemegang hak guna usaha saja ada 1,93 juta hektar lahan telantar atau 30 kali luas wilayah Singapura,” katanya. Peruntukan lahan telantar umumnya untuk budidaya perkebunan, pertanian, dan peternakan.

”Ada pemegang izin kelola yang hanya memanfaatkan sebagian kecil dari luas lahan yang dikelola,” kata Gubernur NTB Zainul Majdi, menunjuk kondisi riil di sejumlah kabupaten di Pulau Sumbawa.

Di kabupaten-kabupaten tersebut, lebih dari 10 tahun lalu ada 48 izin pertambangan yang dikeluarkan para bupati, tetapi tidak satu pun usaha pertambangan diwujudkan.

Untuk itu, BPN memberi sanksi kepada pemegang izin kelola dan menertibkan. Pemegang hak kelola lahan diberi waktu tiga tahun untuk mengolah lahan. Jika ketentuan itu tidak diindahkan, pemerintah memberi peringatan tiap bulan selama tiga kali. Jika tidak digubris, pemerintah mencabut izin kelola. Sebelumnya, pemerintah memberi peringatan setelah lahan telantar selama lima tahun. (BIL/RUL)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/21/01115621/120.000.hektar.hutan.beralih.fungsi.jadi.perkebunan

Sabtu, 15 November 2008

Kecambah Sawit Palsu dari Galang, Deli Serdang

Alamat Pengirim Fiktif
Sabtu, 15 November 2008 | 00:07 WIB

Medan, Kompas - Alamat pengirim kecambah sawit palsu melalui kargo PT Pos Indonesia fiktif. Pengirim, PT Damai Jaya Lestari, di Jalan Abdullah Lubis Nomor 26, Medan, merupakan kantor perusahaan perkebunan lain. Nama perusahaan pengirim kecambah sesuai dokumen tidak terlihat di gedung ini.

”Tidak ada nama PT Damai Jaya Lestari. Ini kantor PT Tor Ganda,” kata petugas satuan pengaman (satpam) PT Torganda, R Sipahutar, Jumat (14/11) sore saat ditemui.

PT Tor Ganda merupakan perusahaan perkebunan milik DL Sitorus. Salah satu kebun perusahaan ini berada di kawasan Register 40 yang kini dalam proses pengalihan pengelolaan ke pemerintah. Kompas menanyakan orang yang disebut-sebut sebagai pemilik bermarga Pulungan. Namun, R Sipahutar tidak mengenal orang tersebut. Setahu dia, tidak ada orang bermarga Pulungan di kantor itu.

Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia sebelumnya menyita 30.000 kecambah kelapa sawit tujuan Kendari, Sulawesi Tenggara. Kecambah yang dikirim melalui kargo PT Pos Indonesia ini tidak dilengkapi dokumen sah. Dalam dokumen, kecambah senilai Rp 285 juta ini disebut produksi PT Socfindo. Setelah dicek dan konfirmasi ke PT Socfindo, kecambah itu palsu.

Dari Galang

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia Medan, Susana Bangun, menyatakan bahwa asal barang dari Galang, Kabupaten Deli Serdang. Dia menyatakan benih berasal dari perkebunan milik petani yang ingin menangguk untung dengan mencantumkan PT Socfindo. Produk tiruan kecambah sawit bukan hal baru di Sumatera Utara.

Awal Agustus lalu, PPKS melalui Kepala Pusat Perbenihan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Razak Purba menyatakan, pusat peredaran kecambah tak bersertifikat ada di Marihat, Kabupaten Simalungun, 130 kilometer dari Medan. Di sekitar tempat itu muncul sentra produsen kecambah tanpa sertifikat.

Mereka mendompleng nama Marihat sebagai tempat produksi benih PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV, yaitu Marihat. Produksi kecambah sawit dari kawasan itu dikenal dengan nama Marihat Ulu, Marihat Lanbow, Marihat Sentral, dan Marihat Baris. (NDY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/15/00071249/alamat.pengirim.fiktif

Rabu, 12 November 2008

Stres, Istri Toke Pupuk Sawit Tewas Bakar Diri

Rabu, 12 Nopember 2008 11:29
Anjloknya harga kelapa sawit mulai makan korban jiwa. Seorang istri toke pupuk sawit terguncang jiwanya dan akhirnya tewas bakar diri.

Riauterkini-PEKANBARU- Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tak sekedar memukul ekonomi masyarakat, namun banyak orang terguncang jiwanya, akibat memburuknya ekonomi keluarga. Bahkan seorang istri pengusaha pupuk sawit yang tak sanggup menjalani takdir buruk atas ekonomi keluarganya gelap hati dan akhirnya nekad mengakhiri hidup dengan cara paling tragis: membakar diri sendiri!

Akhirnya hidup tragis itu dipilih Nur Jani (43). Sekitar pukul 10.00 WIB Rabu (12/11) jenazahnya ditemukan warga dan anak korban dalam kondisi sangat menggenaskan. Membusuk dan gosong hampir seluruhnya. Ibu tiga anak tersebut mengakhiri hidupnya dengan tangan sendiri diduga akibat stres setelah usaha suaminya Muhammad Hudi di bidang distribusi dan penjualan pupuk kelapa sawit mengalami masa paling sulit, dampak dari anjloknya harga TBS sawit beberapa bulan terakhir.

Menurut salah seorang tetangga korban, keluarga Nur Jani baru sebulan mendiami rumah di Blok B No.4 Perumahan Mutiara Hati Jalan Karyawan, Kecamatan Tampan Pekanbaru. Sebelumnya keluarga ini tinggal di Pandau Permai.

Selama sebulan di rumah baru, yang diduga lebih kecil dan sederhana dari rumah sebelumnya, Nur Jani sudah tiga kali mencoba bunuh diri. Kali ketiga baru berhasil tewas. Sebelumnya ia pernah mencoba gantung diri dan meminum racun serangga.

Menurut anak tertua korban, Safa Sadli atau yang biasa dipanggil Erin (14) ibunya menghilang sejak Senin (10/11). “Saat saya pulang sekolah, Mama sudah tidak ada. Saya cari-cari tidak ketemu. Saya hubungi handphonenya tak hidup,” tutur gadis belia kelas III SMP tersebut kepada wartawan.

Karena ibunya hilang Erin lantas menghubungi ayahnya yang sedang di Jakarta dan juga lapor RT setempat. Warga kemudian mencari korban. Baru tadi pagi, sekitar pukul 10.00 WIB jenazah Nur Jani ditemukan dalam semak-belukar, sekitar 200 meter di belakang rumahnya. Kondisinya mayatnya sangat menggenaskan. Mulai membusuk dan hanggus. Di samping mayatnya ditemukan ember bekas minyak tanah. Ia diduga menyiram tubuhnya dengan minyak tanah kemudian membakar diri sendiri hingga tewas.

Hingga saat ini mayat korban masih disemayamkan di rumah duka. Polisi masih melakukan penyelidikan atas kasus tersebut.***(mad)

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=21640

PTPN Tak Sanggup Memenuhi Harga Petani

Jumlah Petani yang Terlibat dengan PTPN VII Sebanyak 10.000 Orang
KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA / Kompas Images
Dirut PTPN VII Andi Punoko menjelaskan kondisi PTPN VII dalam menghadapi krisis keuangan global, Selasa (11/11) di Hotel Horison, Palembang. PTPN VII tetap berupaya menampung kelapa sawit dari petani plasma meski harga CPO belum stabil.
Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB

Palembang, Kompas - PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VII tak sanggup membeli kelapa sawit plasma dengan harga lebih tinggi seperti yang diharapkan petani. Harga CPO yang berfluktuasi membuat PTPN VII kesulitan menaikkan harga pembelian kelapa sawit plasma.

Direktur Utama PTPN VII Andi Punoko, didampingi para direksi PTPN VII dalam jumpa pers, Selasa (11/11) di Palembang, mengatakan, pihaknya hanya sanggup membeli sawit plasma dengan harga murah sebagai dampak krisis keuangan global. PTPN VII tidak sanggup membeli dengan harga sesuai tuntutan petani karena harga tersebut tidak bisa menutup biaya produksi.

Menurut Andi, petani meminta PTPN VII membeli sawit plasma dengan harga berdasarkan kesepakatan bersama Dinas Perkebunan yang ditetapkan dua minggu sekali. PTPN VII tidak bisa mematok harga pembelian sawit plasma dalam waktu lama karena harga CPO berubah dalam 1-2 hari.

Harga kelapa sawit plasma sesuai kesepakatan dengan Dinas Perkebunan untuk pertengahan November Rp 736 per kilogram. Namun, PTPN VII membeli dengan harga Rp 831 pada periode 7-11 November per kilogram karena ada kenaikan harga CPO.

”Kami mohon pengertian petani. Kami akan menaikkan harga pembelian kelapa sawit kalau ada kenaikan harga CPO. Dulu waktu harga CPO tinggi, kami membeli kelapa sawit dengan harga tinggi. Ketika harga jatuh, kami pun berusaha membeli di atas harga yang ditetapkan,” kata Andi.

Meragukan data

Luas perkebunan kelapa sawit plasma milik PTPN VII sebesar 20.000 hektar dengan jumlah petani sekitar 10.000 orang. Namun, Andi meragukan angka tersebut karena banyak lahan kelapa sawit plasma yang telah beralih kepemilikan dan ditelantarkan.

Andi menambahkan, krisis keuangan global juga menyebabkan target perolehan laba PTPN VII meleset. Sebelumnya, PTPN VII pada tahun 2008 ditargetkan mendapat laba Rp 500 miliar, tetapi dampak krisis keuangan global menyebabkan target direvisi menjadi Rp 300 miliar. Jumlah itu masih lebih tinggi dibandingkan target laba yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 295 miliar.

Anjloknya harga CPO menyebabkan rencana manajemen PTPN VII melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) pada Desember 2008 terpaksa ditunda. (WAD)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/12/0027076/ptpn.tak.sanggup.memenuhi.harga.petani

Selasa, 11 November 2008

Ribuan Petani Sawit Unjuk Rasa

Selasa, 11 November 2008 | 00:06 WIB

Jambi, Kompas - Ribuan petani perkebunan kelapa sawit dari empat kabupaten di Provinsi Jambi berunjuk rasa di Gedung DPRD Jambi, Senin (10/11). Mereka menuntut agar pemerintah daerah bertanggung jawab atas menurunnya harga tandan buah segar kelapa sawit di pasaran setempat.

Mereka mendesak pemerintah mencari jalan untuk menaikkan kembali harga sawit dan menurunkan harga pupuk secepatnya. Selain itu, pemerintah diminta menghapus utang petani sawit dalam pola kemitraan yang masih menjadi beban mereka dengan pihak perusahaan setempat.

Koordinator unjuk rasa, Musri Nauli, dalam orasinya mengatakan, turunnya harga tandan buah segar (TBS) telah mengancam kehidupan para petani sawit dalam beberapa bulan terakhir. Menurut dia, persoalan yang dihadapi petani saat ini bukan hanya masalah dampak dari krisis ekonomi global, tetapi juga masalah kesemrawutan tata kelola perkebunan, seperti masalah penguasaan, kedaulatan, dan kemandirian petani sawit.

Kebijakan pemerintah yang tidak adil, menurut mereka, mengakibatkan monopoli perusahaan perkebunan skala besar menguasai seluruh hajat hidup petani.

”Petani perkebunan kelapa sawit di Jambi saat ini memandang persoalan turunnya harga TBS lebih disebabkan oleh masalah dalam negeri sendiri, bukan karena krisis ekonomi global yang terjadi sekarang,” ujar Musri.

Kerajinan ukir

Ekspor kerajinan ukir limbah kayu atau bongkahan batang bekas tebangan kayu yang diusahakan belasan warga Desa Pulau Betung, Kabupaten Batanghari, ke Jepang dan sejumlah negara di Eropa terus menurun akibat kian langkanya bahan baku.

Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Jambi Hasan Basri, di Jambi, Senin, mengatakan, belasan kepala keluarga warga Desa Pulau Betung yang bekerja sebagai perajin ukiran limbah kayu yang dijadikan aneka ragam perabot dan hiasan rumah tangga kini berkurang.

Kerajinan ukiran limbah kayu Desa Pulau Betung yang berada di sisi jalan penghubung Lintas Sumatera itu tidak saja diminati warga lokal, tetapi juga wisatawan karena punya daya tarik dan kualitasnya cukup memikat.

Sebelumnya, tiap bulan, puluhan set perabot rumah tangga dan ratusan jenis perhiasan rumah tangga diekspor lewat Singapura. Namun, sejak dua tahun terakhir, hal itu terus berkurang.

Berkurangnya aktivitas penebangan kayu di hutan menyebabkan bahan baku yang berasal dari akar kayu sulit didapatkan sehingga permintaan pasar, baik dalam maupun luar negeri, tak terpenuhi.

Lukman (43), warga Desa Pulau Betung, yang juga perajin ukir limbah kayu, menyebutkan, selama dua tahun terakhir, tingkat produksinya menurun.

Limbah kayu yang diukir menjadi perabot dan perhiasan, antara lain asbak rokok, duplikat ikan arwana, kursi dan meja tamu, tempat telepon, meja sudut, dan tempat bunga.

Untuk ukiran kecil, seperti asbak rokok, ia bisa menghasilkan 20 hingga 40 buah per bulan dengan harga jual Rp 15.000 hingga Rp 50.000 per buah, tergantung ukuran dan variasi ukirannya. Satu set kursi dan meja tamu, yang masa penyelesaiannya bisa mencapai satu bulan, dijual dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung ukuran, jenis kayu, dan variasi. (Antara/BOY

Terobosan Sumsel Menghadapi Krisis Keuangan Global

Padat Karya untuk Petani
KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY / Kompas Images
Sarbeni (60), petani sawit di Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, membersihkan rumput di sekitar pohon sawit, Selasa (4/10). Harga sawit yang anjlok sampai Rp 350 per kilogram membuat petani berhemat dengan mengerjakan sendiri perawatan pohon. Petani juga kesulitan membeli pupuk karena pendapatan dari penjualan sawit tidak sepadan dengan harga pupuk yang mahal. Sebagian petani akhirnya tidak memupuk pohon sawit sehingga buah yang dihasilkan juga berkurang. Harga sawit anjlok sejak September lalu.
Selasa, 11 November 2008 | 03:00 WIB

Palembang, Kompas - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggagas program padat karya bagi petani yang terimbas rontoknya harga sejumlah komoditas perkebunan akibat krisis keuangan global. Program tersebut disinergikan dengan proyek di tingkat kabupaten dan kota.

Gagasan tersebut dikemukakan Gubernur Sumsel Alex Noerdin dalam pertemuan dengan seluruh pejabat dan pengusaha di wilayah Sumsel, Senin (10/11) di Palembang.

Kegiatan padat karya merupakan program jangka pendek untuk membantu petani yang mengalami kesulitan ekonomi karena penurunan harga sejumlah komoditas, seperti sawit dan karet.

”Saya sudah meminta kepada seluruh bupati/wali kota untuk menjalankan program padat karya demi membantu petani saat ini. Hal itu yang dapat kita lakukan secepatnya karena daya tahan petani hanya dua bulan. Setelah itu tak bisa membeli beras karena pendapatan berkurang,” ujar Alex.

Alex juga mengemukakan, dia akan membantu dengan mengusahakan adanya penyaluran beras murah untuk rakyat miskin, terutama di kabupaten yang petaninya dilanda krisis.

Sementara itu, untuk jangka panjang mengatasi krisis yang terkait harga komoditas, Alex mengatakan akan mencanangkan pembangunan pabrik biodiesel di Sumsel. Namun, proyek tersebut tidak akan dapat mengatasi persoalan yang dialami petani saat ini karena investasinya membutuhkan waktu tiga tahun.

Menurut dia, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur sudah membangun pabrik biodiesel, tetapi Sumsel masih butuh lagi investasi baru. Jika Sumsel memiliki banyak pabrik biodiesel, kelapa sawit petani bisa terserap dengan harga relatif tinggi di saat harga dunia sedang jatuh.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Sumarjono Saragih mengatakan, saat ini sudah dua dari 50 pabrik kelapa sawit di Sumsel yang sudah tidak beroperasi. Pabrik-pabrik itu berhenti beroperasi karena tidak mendapat pembeli, sementara tangki penimbun stok masih penuh. Sementara itu, beberapa pabrik juga sudah mengurangi kegiatan produksi. Di hulu, pengusaha juga sudah mengurangi kegiatan perawatan yang bisa ditunda karena pasar lesu.

Kapasitas pabrik kelapa sawit di Sumsel mencapai 2.200 ton per jam. Tenaga kerja yang terlibat mencapai 11.000 orang. Jika dua pabrik dengan total produksi 180 ton per jam terhenti berproduksi, diperkirakan sebanyak 1.800 orang terpaksa dirumahkan.

Sumarjono Saragih menambahkan, pengusaha sawit berharap Pemprov Sumsel segera memperkuat industri hilir dengan memacu investasi industri yang dapat memanfaatkan CPO dalam negeri. Hal tersebut akan mencegah anjloknya harga sawit saat kondisi pasar di luar negeri sedang lesu.

Infrastruktur

Pengusaha juga berharap pemerintah dapat membangun infrastruktur jalan yang layak di sentra-sentra perkebunan sawit. Itu bertujuan meningkatkan efisiensi sehingga harga sawit petani bisa tinggi.

”Selama ini biaya transportasi mencapai Rp 150 per kilogram karena jalan menuju ke perkebunan relatif buruk. Jika jalannya lebih mulus, mungkin biaya transportasi lebih murah,” ujar Sumarjono.

Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib mengatakan, krisis yang melanda sektor perkebunan sawit dan karet di Sumsel akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Sumsel karena lebih dari 4.000 pekerja terlibat di dalamnya. (WAD/BOY)