Medan, Kompas - Pengusaha kelapa sawit di Sumatera Utara kembali menagih imbal balik pungutan ekspor atau PE yang dibebankan kepada mereka. Selama ini, pungutan tersebut belum pernah dirasakan dampaknya oleh pengusaha di daerah. Mereka menuntut PE dihapuskan karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
”Untuk apa saja PE selama ini dipakai, kami tidak tahu. Padahal, nilainya sangat besar,” tutur Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Timbas Prasad Ginting, Rabu (26/11) di Medan.
Timbas menginginkan PE dikembalikan untuk perbaikan infrastruktur perkebunan. ”Selama ini, kami harus menanggung beban tudingan kerusakan infrastruktur,” katanya.
Infrastruktur perkebunan penting artinya untuk memperlancar transportasi dari kebun menuju daerah pemasaran. ”Namun, selama ini tidak terjadi,” kata Timbas.
Selain harus membayar PE, tuturnya, pengusaha harus menanggung biaya pungutan dari setiap daerah. Hal ini, kata Timbas, yang menjadi penyebab biaya produksi kelapa sawit menjadi tinggi.
Pungutan semacam ini berlaku bagi pengusaha kelapa sawit sejak akhir Januari 1984 melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan. Tujuan pungutan ini semata-mata sebagai stabilisator suplai kebutuhan dalam negeri.
Pada awalnya, PE dibebankan 37,18 persen dari harga patokan ekspor (HPE) meski saat ini nilai PE sebesar nol persen dari HPE. Kendati demikian, pengusaha belum merasa tenang karena sewaktu-waktu bisa berlaku lagi.
”Keputusan ini (nilai PE nol persen) bisa berubah jika harga sawit kembali bagus,” katanya.
Nilai PE pernah mencapai 60 persen dari HPE pada 1994 yang ditetapkan oleh SK Menteri Keuangan. Untuk memperbaiki tata niaga kelapa sawit dan produk turunannya, tutur Timbas, perlu komitmen serius pemerintah.
Eksportir minyak sawit mentah (CPO) membayar PE langsung ke rekening bendahara umum negara. Pembayaran dilakukan ke rekening nomor 502000000 Bank Indonesia.
Tidak kuat
Pemberlakuan PE, kata Timbas, tidak berdasarkan dasar hukum yang kuat. Mestinya sebuah pungutan atau pajak dan sejenisnya ditetapkan melalui undang-undang. Anehnya, hasil pungutan ini baru masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak 1988. ”Lalu sebelumnya mengalir ke mana?” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Elfenda Ananda mengatakan, pemberlakuan pajak harus melalui ketetapan hukum tetap. Pemberlakuan pajak ini tidak bisa hanya melalui surat keputusan menteri.
Berdasarkan hierarki perundang-undangan Indonesia, yang memungkinkan mengatur pajak ini melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan pemerintah, dan peraturan daerah.
”Misalnya di tingkat daerah, keputusan bupati atau gubernur tidak bisa diberlakukan hanya melalui surat keputusan mereka. Keputusan pemberlakuan pajak atau sejenisnya harus melalui persetujuan legislatif,” katanya.
Surat keputusan pejabat, katanya, hanya bisa berlaku di internal lembaga. Aturan ini bisa memicu persoalan hukum. (NDY)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/0010473/pengusaha.tagih.uang.pungutan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar