Medan, Kompas - Krisis keuangan global diduga menjadi penyebab turunnya nilai tukar petani di Sumatera Utara, khususnya di subsektor perkebunan rakyat. Nilai tukar petani di sektor ini turun 4,36 persen. Meski demikian, nilai tukar petani subsektor itu masih di atas 100 persen, yakni turun dari 132,25 persen menjadi 126,51 persen.
Secara kumulatif, nilai tukar petani di Sumatera Utara turun 1,77 persen dari 103,03 persen menjadi 101,21 persen, sedangkan nilai tukar petani subsektor padi dan palawija turun 0,28 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik Sumatera Utara Alimuddin Sidabalok, Senin (3/11), mengatakan, angka yang dilaporkan Badan Pusat Statistik masih angka bulan September dibandingkan bulan Agustus. Adapun angka bulan Oktober belum dihitung.
Di lapangan, harga tandan buah segar di tingkat petani bulan Oktober ini sudah merosot tajam hingga hanya Rp 150 per kilogram.
”Kami belum melakukan penghitungan untuk bulan Oktober. Penghitungan bulan Oktober baru bulan depan akan kami laporkan,” tutur Alumuddin.
Sementara itu, ekspor Sumatera Utara mengalami peningkatan 12,88 persen.
Peningkatan itu terjadi antara bulan Agustus dan bulan September, dari 829,12 juta dollar AS menjadi 936,92 juta dollar AS. Ekspor golongan lemak dan minyak nabati dilaporkan masih merupakan ekspor paling tinggi di Sumatera Utara.
”Kami belum bisa melaporkan ekspor bulan Oktober karena memang ada jeda waktu satu bulan untuk laporan ekspor. Kami harus mengambil data dari bea cukai. Mungkin kalau sistem data sudah terintegrasi, akan mudah bagi kami untuk melaporkan secepatnya,” tutur Alimuddin.
Sementara itu, inflasi di Sumatera Utara bulan ini mencapai 1,19 persen. Inflasi di Kota Medan sebesar 1,36 persen, di Pematang Siantar 0,63 persen, di Padangsidimpuan 0,34 persen. Khusus Sibolga, kota ini mengalami deflasi sebesar 0,04 persen. Dengan demikian, inflasi tahun kalender di Sumatera Utara mencapai 9,70 persen, di Medan 9,66 persen, di Pematang Siantar 9,39 persen, di Sibolga 9,88 persen, dan di Padangsidimpuan 10,99 persen.
Inflasi year to year di Sumatera Utara sudah mencapai 11,13 persen, di Medan 11,07 persen, Pematang Siantar 11,04 persen, Sibolga 10,97 persen, dan di Padangsidimpuan 12,41 persen.
Kepala Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik Badan Pusat Statistik Sumatera Utara Panusunan Siregar mengatakan, butuh terobosan baru dari instansi terkait melihat nilai tukar petani yang sudah melorot, sementara ekspornya masih tinggi.
Sejak bulan Juni lalu, Badan Pusat Statistik memutakhirkan penghitungan nilai tukar petani. Indikator pengukuran daya beli petani ini sebelumnya dihitung dengan kondisi pembanding tahun 1993. Padahal, kondisi saat ini sudah sangat jauh berbeda sehingga peningkatan dan penurunan daya beli petani tidak cukup tecermin.
Nilai tukar petani dihitung dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani untuk keperluan konsumsi rumah tangga serta keperluan produksi pertanian.
Diagram timbang nilai tukar petani dengan tahun dasar 1993 yang digunakan selama 14 tahun terakhir, diakui Ali, sudah tidak peka untuk mengukur peningkatan atau penurunan kesejahteraan petani yang tecermin pada perbandingan indeks tersebut.
Kondisi pola produksi, struktur biaya, pola konsumsi rumah tangga petani, dan struktur geografis saat ini dengan kondisi pada tahun dasar sudah sangat jauh berbeda. Penggantian tahun dasar idealnya dilakukan lima tahun sekali. (WSI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar