Palembang, Kompas - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatera Selatan menyatakan, konflik lahan pertanian-perkebunan antara petani dan investor serta institusi pemerintahan masih terus terjadi. Bahkan, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 220 kasus konflik. Walhi menilai peran serta pemerintah dalam menyelesaikan konflik struktural ini masih minim, bahkan pemerintah daerah dinilai membiarkan konflik terus berlangsung tanpa ada intervensi penyelesaian masalah.
Menurut Anwar Sadad dari Walhi Sumsel, beberapa waktu lalu, konflik lahan di Provinsi Sumatera Selatan ini tergolong cukup mengkhawatirkan, mengingat ada lebih dari 220 kasus konflik yang terjadi selama kurun waktu tahun 2008. Dari tahun ke tahun, konflik lahan ini menjadi perhatian dari aktivis Walhi, selain juga kasus alih fungsi hutan.
”Secara umum, konflik ini terjadi antara masyarakat petani dengan pemodal. Ada juga pemerintah yang berlindung di balik investor untuk menekan para petani tersebut,” ucap Anwar Sadad. Dia juga sangat menyayangkan minimnya peran aktif dan intervensi pemerintah daerah (kabupaten/kota) di Sumatera Selatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
”Dari pengamatan Walhi selama ini, yang terjadi justru tekanan represif dari pemerintah dan pemodal terhadap petani sehingga penyelesaian persoalan tersebut cenderung diabaikan,” kata Anwar.
Jika dihubungkan dengan program revitalisasi pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan, Anwar menilai persoalan ini justru kontraproduktif. Artinya, jika konflik pertanian itu terus-menerus terjadi dan dibiarkan tanpa ada penyelesaian secara win-win (kemenangan untuk kedua belah pihak), jelas akan menghambat pembangunan ekonomi masyarakat, khususnya di sektor pertanian dan perkebunan kawasan pedesaan.
Meski secara hukum sebagian petani itu hanya memiliki lahan garapan dan bukan lahan kepemilikan pribadi, dari situlah mereka bisa bertani dan memenuhi kebutuhan hidup sehingga kecil kemungkinan bagi masyarakat desa untuk bisa meningkatkan akses kehidupan perekonomian jika lahan pertanian semakin sempit.
”Dari pengamatan kami, kondisi ini sudah berdampak pada terjadinya proses pemiskinan masyarakat desa. Bagaimana tidak? Kenyataannya mereka tidak bisa lagi bercocok tanam untuk hidup karena lahan garapan diserobot pemodal besar untuk keperluan perkebunan karet atau kelapa sawit,” kata Anwar.
Kerusakan hutan
Selain persoalan konflik lahan, Anwar juga mengatakan bahwa kerusakan hutan akibat pembukaan dan alih fungsi lahan juga tergolong cukup memprihatinkan. Berdasarkan data Walhi Sumsel, hingga 2008 ini, sebanyak 63 persen dari total 3 juta hektar hutan di Sumsel dikategorikan rusak.
”Di masa mendatang, pemerintah perlu memberi perhatian lebih bagi program rehabilitasi lingkungan hidup. Reklamasi lahan pertambangan juga harus jadi perhatian,” katanya. (ONI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar