Jum’at, 24 Oktober 2008 14:29
Penampungan CPO Dumai dan Belawan Nyaris Penuh,
Tangki penampung CPO di Dumai dan Belawan sudah hampir penuh. Jika tak segera berkurang untuk diekspor, maka usaha kelapa sawit bisa lumpuh total.
Riauterkini-PEKANBARU- Dua tempat penampung crude palm oil (CPO) terbesar di Dumai dan Belawan, Sumatera Utara saat ini sudah hampir kelebihan kapasitas tampung alias penuh. Selama ini sebelum diekspor ke negara tujuan, seluruh CPO dari Riau dan Sumatera Utara ditampung di kedua tempat tersebut. Jika kondisi ini terus berlanjut, sehingga kedua tempat penampungan CPO tersebut penuh, maka seluruh mata rantai kegiatan bisnis kelapa sawit akan lumpuh total.
"Kalau sudah tidak bisa ditampung lagi apa tak lumpuh total. PKS (pabrik kelapa sawit.red) tak bisa beroperasi karena tak bisa menjual, akhirnya petani tak bisa panen karena tak ada yang membeli," ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo kepada riauterkini di kantor Gubernur Riau, Jumat (24/10).
Menurut Susilo, berdasarkan informasi dari Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun beberapa hari lalu, saat ini kedua lokasi tandon penyimpan CPO tersebut sudah mendekati ambang kapasitas maksimal penyimpanan. Pasokan CPO dari PKS-PKS yang ada di Riau dan Sumut lancar, sementara ekspor sedang macet.
Menghadapi situasi sulit tersebut, Susilo mengatakan satu-satunya solusi adalah pemerintah pusat turun tangan. Gapki sebagai organisasi juga diharapkan terus menekan pemerintah untuk cepat tanggap pada ancaman serius yang bisa membunuh dunia usai perkebunan kelapa sawit.
Beberapa langkah bisa diambil pemerintah untuk menghindari lumpuhnya kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit. Misalnya pemerintah mengurangi pajak ekspor, meskipun ini tidak terlalu signifikan pengaruhanya, atau pemerintah membeli CPO yang ada kemudian menjualkan ke pembeli di luar negeri dengan sistem kredit. Meningat saat ini bukannya kebutuhan CPO di pasar dunia berkurang, melainkan dikarenakan para pembeli internasional sedang kesulitan likuiditas. "Kalau sudah seperti itu langkah yang harus diambi harus ada perjanjian antarpemerintah," demikian penjelasannya.***(mad)
Penampungan CPO Dumai dan Belawan Nyaris Penuh,
Tangki penampung CPO di Dumai dan Belawan sudah hampir penuh. Jika tak segera berkurang untuk diekspor, maka usaha kelapa sawit bisa lumpuh total.
Riauterkini-PEKANBARU- Dua tempat penampung crude palm oil (CPO) terbesar di Dumai dan Belawan, Sumatera Utara saat ini sudah hampir kelebihan kapasitas tampung alias penuh. Selama ini sebelum diekspor ke negara tujuan, seluruh CPO dari Riau dan Sumatera Utara ditampung di kedua tempat tersebut. Jika kondisi ini terus berlanjut, sehingga kedua tempat penampungan CPO tersebut penuh, maka seluruh mata rantai kegiatan bisnis kelapa sawit akan lumpuh total.
"Kalau sudah tidak bisa ditampung lagi apa tak lumpuh total. PKS (pabrik kelapa sawit.red) tak bisa beroperasi karena tak bisa menjual, akhirnya petani tak bisa panen karena tak ada yang membeli," ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo kepada riauterkini di kantor Gubernur Riau, Jumat (24/10).
Menurut Susilo, berdasarkan informasi dari Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun beberapa hari lalu, saat ini kedua lokasi tandon penyimpan CPO tersebut sudah mendekati ambang kapasitas maksimal penyimpanan. Pasokan CPO dari PKS-PKS yang ada di Riau dan Sumut lancar, sementara ekspor sedang macet.
Menghadapi situasi sulit tersebut, Susilo mengatakan satu-satunya solusi adalah pemerintah pusat turun tangan. Gapki sebagai organisasi juga diharapkan terus menekan pemerintah untuk cepat tanggap pada ancaman serius yang bisa membunuh dunia usai perkebunan kelapa sawit.
Beberapa langkah bisa diambil pemerintah untuk menghindari lumpuhnya kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit. Misalnya pemerintah mengurangi pajak ekspor, meskipun ini tidak terlalu signifikan pengaruhanya, atau pemerintah membeli CPO yang ada kemudian menjualkan ke pembeli di luar negeri dengan sistem kredit. Meningat saat ini bukannya kebutuhan CPO di pasar dunia berkurang, melainkan dikarenakan para pembeli internasional sedang kesulitan likuiditas. "Kalau sudah seperti itu langkah yang harus diambi harus ada perjanjian antarpemerintah," demikian penjelasannya.***(mad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar