Padang, Kompas - Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di sejumlah daerah di Sumatera Barat anjlok sampai Rp 600 per kilogram dari Rp 1.400, Jumat (10/10). Akibatnya, pendapatan petani berkurang sehingga mereka terbelit persoalan keuangan, seperti kesulitan membayar bunga bank dan membeli pupuk.
Baik petani maupun pemerintah daerah belum mengetahui penyebab semakin turunnya harga sawit.
Wakil Bupati Pesisir Selatan Syafrizal mengatakan, harga TBS sawit di daerahnya melorot sampai Rp 600 per kilogram (kg). Jika dikurangi biaya panen, petani hanya menerima Rp 400 per kg.
”Sebagian besar petani mengeluhkan harga sawit yang terus melorot. Akibatnya, pendapatan mereka berkurang dan kesulitan membayar bunga pinjaman bank mereka,” kata Syafrizal.
Dua pekan lalu, harga TBS di Pesisir Selatan masih Rp 1.400 per kg. Dengan harga itu, petani masih dapat mengembalikan pinjaman dengan bunga yang ditetapkan bank.
Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Dharmasraya. Bupati Dharmasraya Marlon Martua mengatakan, harga TBS sawit di wilayahnya Rp 600-Rp 700 per kg. Padahal, beberapa bulan lalu mencapai Rp 2.000 per kg.
”Merosotnya harga sawit ini membawa dampak bagi petani. Mereka kesulitan membeli pupuk yang harganya mahal. Pada saat harga masih tinggi, petani tidak keberatan membeli pupuk, berapa pun harganya. Tetapi dengan kondisi harga sawit seperti saat ini, petani keberatan membeli pupuk yang mahal. Pemerintah provinsi perlu mempertimbangkan lagi penataan urusan distribusi pupuk agar bisa terjangkau petani sawit,” ucap Marlon.
Harga sawit Rp 600 per kg juga dialami petani di Kabupaten Pasaman Barat sejak pertengahan September lalu. Selain soal harga, petani sawit di Dharmasraya juga menghadapi keluhan dengan maraknya bibit sawit palsu karena bibit asli sulit didapat.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumatera Barat Bambang Winarto mengatakan, salah satu cara untuk menguatkan posisi tawar sawit Indonesia adalah memacu pertumbuhan sektor industri hilir yang mengolah produk-produk pertanian menjadi barang jadi.
”Jika ekspor adalah sisa konsumsi nasional, harga ekspor barang dari Indonesia bisa didongkrak naik. Keberadaan industri hilir dan konsumsi nasional yang meningkat akan lebih baik untuk menghadapi krisis ekonomi seperti yang terjadi saat ini,” ucap Bambang. (ART)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar