Senin, 13 Oktober 2008 13:51
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok ke titik terendah. Menurut Kadis Perkebunan Riau Susilo hanya pembangunan industri turunan CPO yang bisa jadi solusi.
Riauterkini-PEKANBARU- Untuk pertama kalinya harga tanda buah segar (TBS) kelapa sawit terjun bebas ke titik terendah di tingkat petani non mitra perusahaan. Seperti di Kabupaten Rokan Hulu dan Kampar, TBS menyentuh angka Rp 250/Kg. Rendahnya harga menyebabkan puluhan ribu kebun kelapa sawit tidak dipanen dan petani membiarkan TBS busuk di pohon. Sebab jika dipanen, justru petani yang rugi harus mengeluarkan biaya.
Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo mengatakan bahwa anjloknya harga TBS hanya terjadi pada petani non mitra perusahaan, seperti peserta transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR). “Kalau petani peserta kemitraan harga TBS-nya stabil, masih di atas seribu rupiah perkilonya,” ujar Susilo kepada riauterkini di ruang kerjanya, Senin (13/10).
Dipaparkan Susilo ada banyak sebab yang membuat harga TBS anjlok ke titik terendah. “Faktornya banyak, tetapi bisa diklasifikasikan menjadi dua, yakni sebab internal dan eksternal,” tukasnya.
Sebab internal dikarenakan adanya peningkatakan biaya produksi, yakni berupa kenaikan pajak ekspor oleh pemerintah dari 16 persen menjadi 20 persen. Selain itu juga ada pengenaan sejumlah pajak lain, seperti pajak pertambahan nilai, pajak tenaga kerja dan lainnya. Di tingkat daerah juga ada Peraturan Daerah mengenai pajak penggunaan air bawah tanah dan lainnya. Kondisi itu kemudian diperparah oleh krisis finansial global yang tengah melanda dunia.
Kemudian faktor eksternal berupa cuaca yang tidak bersahabat. “Musim hujan menyebabkan jalan rusak, sehingga menambah biaya angkut dan waktu angkut. Padahal semakin lama TBS tiba di pabrik, maka kualitasnya akan turun. Redemennya turun dan kadar asamnya meningkat. Kalau kondisinya seperti itu, maka harganya otomatis murah,” paparnya.
Faktor lain yang juga menjadi sebab rendahnya harga TBS petani non kemitraan adalah bibit yang ditanam tidak unggul. Akibatnya buah yang dihasilkan berkualitas rendah dan harganya pun rendah.
Lebih lanjut Susilo mengatakan, satu-satunya solusi agar harga TBS stabil dan petani tidak terus rudi dan mencemaskan fluktuasi harga yang tak menentu adalah pembangunan industri hilir kelapa sawit. Selama ini hanya dibuat dan diekspor dalam bentuk CPO. Padahal ada sangat banyak industri turunan dari CPO, seperti sabun, mentega, kosmetik dan biodiesel. “Khusus biodiesel, kalau bisa diproduksi harganya jauh lebih mahal dibandingkan CPO,” tukasnya.
Saat ini baru ada satu pembangunan industri biodiesel oleh perusahaan India di Dumai. Industri itu baru beroperasi 2009 mendatang. “Keberadaan industri biodeiesel akan menstabilkan harga CPO. Jadi kita tidak terlalu tergantung eskpor lagi,” tegasnya.***(mad)
Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok ke titik terendah. Menurut Kadis Perkebunan Riau Susilo hanya pembangunan industri turunan CPO yang bisa jadi solusi.
Riauterkini-PEKANBARU- Untuk pertama kalinya harga tanda buah segar (TBS) kelapa sawit terjun bebas ke titik terendah di tingkat petani non mitra perusahaan. Seperti di Kabupaten Rokan Hulu dan Kampar, TBS menyentuh angka Rp 250/Kg. Rendahnya harga menyebabkan puluhan ribu kebun kelapa sawit tidak dipanen dan petani membiarkan TBS busuk di pohon. Sebab jika dipanen, justru petani yang rugi harus mengeluarkan biaya.
Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo mengatakan bahwa anjloknya harga TBS hanya terjadi pada petani non mitra perusahaan, seperti peserta transmigrasi Perkebunan Inti Rakyat (PIR). “Kalau petani peserta kemitraan harga TBS-nya stabil, masih di atas seribu rupiah perkilonya,” ujar Susilo kepada riauterkini di ruang kerjanya, Senin (13/10).
Dipaparkan Susilo ada banyak sebab yang membuat harga TBS anjlok ke titik terendah. “Faktornya banyak, tetapi bisa diklasifikasikan menjadi dua, yakni sebab internal dan eksternal,” tukasnya.
Sebab internal dikarenakan adanya peningkatakan biaya produksi, yakni berupa kenaikan pajak ekspor oleh pemerintah dari 16 persen menjadi 20 persen. Selain itu juga ada pengenaan sejumlah pajak lain, seperti pajak pertambahan nilai, pajak tenaga kerja dan lainnya. Di tingkat daerah juga ada Peraturan Daerah mengenai pajak penggunaan air bawah tanah dan lainnya. Kondisi itu kemudian diperparah oleh krisis finansial global yang tengah melanda dunia.
Kemudian faktor eksternal berupa cuaca yang tidak bersahabat. “Musim hujan menyebabkan jalan rusak, sehingga menambah biaya angkut dan waktu angkut. Padahal semakin lama TBS tiba di pabrik, maka kualitasnya akan turun. Redemennya turun dan kadar asamnya meningkat. Kalau kondisinya seperti itu, maka harganya otomatis murah,” paparnya.
Faktor lain yang juga menjadi sebab rendahnya harga TBS petani non kemitraan adalah bibit yang ditanam tidak unggul. Akibatnya buah yang dihasilkan berkualitas rendah dan harganya pun rendah.
Lebih lanjut Susilo mengatakan, satu-satunya solusi agar harga TBS stabil dan petani tidak terus rudi dan mencemaskan fluktuasi harga yang tak menentu adalah pembangunan industri hilir kelapa sawit. Selama ini hanya dibuat dan diekspor dalam bentuk CPO. Padahal ada sangat banyak industri turunan dari CPO, seperti sabun, mentega, kosmetik dan biodiesel. “Khusus biodiesel, kalau bisa diproduksi harganya jauh lebih mahal dibandingkan CPO,” tukasnya.
Saat ini baru ada satu pembangunan industri biodiesel oleh perusahaan India di Dumai. Industri itu baru beroperasi 2009 mendatang. “Keberadaan industri biodeiesel akan menstabilkan harga CPO. Jadi kita tidak terlalu tergantung eskpor lagi,” tegasnya.***(mad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar