Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Kamis, 16 Oktober 2008

Keringat 10 Tahun Silam Kini Terbentur Harga

Kamis, 16 Oktober 2008 | 00:47 WIB

AGNES RITA SULISTYAWATY

Lebaran kali ini kelabu bagi Murni (49). Petani sawit di Sungai Sirah, Kecamatan Tanjung Mutiara, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, ini hanya menerima Rp 60.000 dari penjualan 100 kilogram sawit. ”Hanya segitu harga sawit sekarang,” ujarnya sambil tertawa pahit.

Pahitnya harga sawit dalam bentuk tandan buah segar (TBS) sudah terasa ketika memasuki bulan puasa, awal September lalu. Pelan-pelan harga sawit terjun bebas dari Rp 1.400 per kg menjadi Rp 600 pada masa Lebaran hingga akhir pekan lalu.

Selasa (14/10) lalu, pedagang besar (tauke) sawit, Amrizal, bahkan mengumumkan harga TBS yang kembali melorot menjadi Rp 450 per kg. Itu pun masih dipotong Rp 100 per kg untuk upah panen sawit. Alhasil, petani hanya mengantongi Rp 350 per kg TBS. Tauke menjual ke pabrik Rp 650 per kg.

Di depan rumah yang dijadikan kedai, Murni hanya menggeleng-gelengkan kepala jika diajak membicarakan sawit. Dia masih teringat betul kenangan 10 tahun silam ketika bersemangat mengumpulkan uang untuk membangun kebun sawit di sisa tanah yang luasnya hanya 750 meter persegi.

”Kami kumpulkan uang sedikit demi sedikit dari sisa uang makan untuk membeli bibit. Sekantong bibit berisi 200 biji kami beli seharga Rp 250.000. Lalu kami kumpulkan lagi uang untuk membeli polybag dan tanah. Itu pun harus berangsur karena uang yang ada hanya sedikit pula,” kata ibu lima anak itu.

Tanaman muda yang berhasil ditanam Murni masih dirongrong babi hutan, hama yang paling membuat kesal warga. Biasanya, warga harus tiga kali mengulangi pembibitan sebelum akhirnya tanaman hidup dan tumbuh menjulang.

Harapan di batang pohon sawit digantungkan Murni dan keluarga. Ketika harga pernah menyentuh Rp 1.700 per kg, Murni bisa mengantongi uang Rp 1,8 juta hasil penjualan 1,2 ton TBS. Keuangan keluarga terbantu.

Kini, dengan harga Rp 600 per kg, Murni bahkan tidak sanggup membeli pupuk yang harganya sudah melangit. Padahal, bulan-bulan ini merupakan masa pemupukan. Keringat untuk merintis kebun 10 tahun silam kini terbentur harga.

Hasil sawit 1,2 ton menjadi impian. Tanpa pupuk, ibarat orang kekurangan gizi. Buah sawit susut jauh. Hasil dari 80 batang pohon sawit milik Murni paling banter hanya 400 kg, bahkan 100 kg seperti saat Lebaran. Belum lagi jika harga sawit melorot menjadi Rp 300 per kg. ”Mau apa lagi. Pupuk tak terbeli. Saya pasrah saja, berapa pun buah yang bisa dihasilkan,” kata Murni.

Kondisi serupa dialami oleh Yet (33), warga Simpang Jagung Nagari Tiku, Agam. Beruntung dia masih boleh berutang pupuk kepada tauke pembeli sawit. ”Dengan harga sawit Rp 600 per kilogram, angsuran pupuk sebanyak tiga kali belum tertutupi,” kata ibu dengan lima anak ini.

Yet memberikan pupuk jenis NPK dan urea untuk 50 batang pohon sawitnya. NPK 50 kg harganya Rp 340.000, sedangkan urea Rp 75.000-Rp 125.000 per zak isi 50 kg. Seluruh kebutuhan pupuk sekali masa pemupukan mencapai Rp 400.000 lebih.

Melemah

Di Jorong Bunga Tanjung, Kanagarian Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat, kehidupan berkebun juga melemah. Padahal, perkebunan merupakan tonggak utama penyangga ekonomi masyarakat. ”Lihat saja warung-warung kopi. Semua sunyi sekarang,” kata Syafril, Kepala Jorong Bunga Tanjung.

Warung kopi adalah ikon yang dianggap masyarakat setempat mewakili gairah perekonomian jorong (dusun) itu. Jika pendapatan masyarakat meningkat, warung kopi ikut ramai oleh warga yang ingin melepas penat.

Hasil dari sawit menghidupi sekitar 230 keluarga di jorong itu. Hasil berlimpah yang dirasakan saat harga sawit mencapai Rp 1.500 per kg membuat masyarakat bergairah menanam. Harga tinggi itu bertengger sekitar delapan bulan. Saat ini, ada 100 hektar lahan sawit dengan buah sudah siap panen dan sekitar 200 hektar lain baru ditanami bibit.

Setelah harga TBS terjun bebas dari Rp 1.400 menjadi Rp 600 per kg, petani langsung lesu. Kondisi yang terjadi sejak bulan puasa lalu membuat petani sawit tidak bisa berbuat banyak.

Mereka yang masih memanen buah hanya bisa memakai hasil panen untuk menutupi ongkos produksi. Hampir tidak ada untung bagi pemilik pohon. Untuk upah mengambil buah sawit dari pohon, pemilik mengeluarkan Rp 50.000 per hari. Biaya transportasi untuk membawa sawit ke tempat pengumpulan Rp 250 per kg.

Petani sama sekali tidak mempunyai daya tawar untuk melawan harga yang ditetapkan tauke. Bahkan, untuk sekadar meminta harga ”impas” Rp 1.000 per kg petani tak punya kekuatan.

”Tauke hanya bilang kalau mereka membeli dengan harga lebih dari Rp 600 per kg, mereka tidak dapat untung. Alasannya, pabrik pengolahan sawit juga tidak mau membeli sawit petani dengan harga mahal,” kata Syafril.

Hasil kebun lain yang juga bernasib sama dengan sawit adalah karet. Harga komoditas ini ikut-ikutan anjlok dari Rp 10.000-Rp 11.000 per kg menjadi Rp 4.000-Rp 5.000 per kg. Padahal, karet juga menjadi salah satu komoditas perkebunan yang menjadi andalan masyarakat.

Masa sulit sedang menerpa petani sawit entah sampai kapan. Apalagi jika belum ada solusi penyerapan sawit dari dalam negeri melalui sektor industri hilir.

Tidak ada komentar: