Selasa, 11 November 2008 | 00:06 WIB
Jambi, Kompas - Ribuan petani perkebunan kelapa sawit dari empat kabupaten di Provinsi Jambi berunjuk rasa di Gedung DPRD Jambi, Senin (10/11). Mereka menuntut agar pemerintah daerah bertanggung jawab atas menurunnya harga tandan buah segar kelapa sawit di pasaran setempat.
Mereka mendesak pemerintah mencari jalan untuk menaikkan kembali harga sawit dan menurunkan harga pupuk secepatnya. Selain itu, pemerintah diminta menghapus utang petani sawit dalam pola kemitraan yang masih menjadi beban mereka dengan pihak perusahaan setempat.
Koordinator unjuk rasa, Musri Nauli, dalam orasinya mengatakan, turunnya harga tandan buah segar (TBS) telah mengancam kehidupan para petani sawit dalam beberapa bulan terakhir. Menurut dia, persoalan yang dihadapi petani saat ini bukan hanya masalah dampak dari krisis ekonomi global, tetapi juga masalah kesemrawutan tata kelola perkebunan, seperti masalah penguasaan, kedaulatan, dan kemandirian petani sawit.
Kebijakan pemerintah yang tidak adil, menurut mereka, mengakibatkan monopoli perusahaan perkebunan skala besar menguasai seluruh hajat hidup petani.
”Petani perkebunan kelapa sawit di Jambi saat ini memandang persoalan turunnya harga TBS lebih disebabkan oleh masalah dalam negeri sendiri, bukan karena krisis ekonomi global yang terjadi sekarang,” ujar Musri.
Kerajinan ukir
Ekspor kerajinan ukir limbah kayu atau bongkahan batang bekas tebangan kayu yang diusahakan belasan warga Desa Pulau Betung, Kabupaten Batanghari, ke Jepang dan sejumlah negara di Eropa terus menurun akibat kian langkanya bahan baku.
Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Jambi Hasan Basri, di Jambi, Senin, mengatakan, belasan kepala keluarga warga Desa Pulau Betung yang bekerja sebagai perajin ukiran limbah kayu yang dijadikan aneka ragam perabot dan hiasan rumah tangga kini berkurang.
Kerajinan ukiran limbah kayu Desa Pulau Betung yang berada di sisi jalan penghubung Lintas Sumatera itu tidak saja diminati warga lokal, tetapi juga wisatawan karena punya daya tarik dan kualitasnya cukup memikat.
Sebelumnya, tiap bulan, puluhan set perabot rumah tangga dan ratusan jenis perhiasan rumah tangga diekspor lewat Singapura. Namun, sejak dua tahun terakhir, hal itu terus berkurang.
Berkurangnya aktivitas penebangan kayu di hutan menyebabkan bahan baku yang berasal dari akar kayu sulit didapatkan sehingga permintaan pasar, baik dalam maupun luar negeri, tak terpenuhi.
Lukman (43), warga Desa Pulau Betung, yang juga perajin ukir limbah kayu, menyebutkan, selama dua tahun terakhir, tingkat produksinya menurun.
Limbah kayu yang diukir menjadi perabot dan perhiasan, antara lain asbak rokok, duplikat ikan arwana, kursi dan meja tamu, tempat telepon, meja sudut, dan tempat bunga.
Untuk ukiran kecil, seperti asbak rokok, ia bisa menghasilkan 20 hingga 40 buah per bulan dengan harga jual Rp 15.000 hingga Rp 50.000 per buah, tergantung ukuran dan variasi ukirannya. Satu set kursi dan meja tamu, yang masa penyelesaiannya bisa mencapai satu bulan, dijual dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung ukuran, jenis kayu, dan variasi. (Antara/BOY