Rabu, 14 Mei 2008 | |
Padang, Padek-- Masukan terhadap rancangan peraturan daerah (Ranperda) tentang Tanah Ulayat yang masih dibahas di DPRD Sumbar, terus mendapat perhatian sejumlah kalangan. Agar persepsi pengalokasian tanah sebagai lahan investasi tidak mengancam Ranah Minang, peneliti Universitas Andalas (Unand) Dr Hermayulis SH MS menyarankan dua hal untuk “keamanan” tanah ulayat Minangkabau itu. ”Tanah ulayat itu adalah identitas, jadi tidak bisa dipindahtangankan. Tapi sekarang memang ada ketakutan ketika tanah ulayat dijadikan lahan investasi yang mengharuskan tanah ulayat diubah statusnya menjadi tanah milik negara, sebelum mendapatkan hak guna usaha (HGU),” ungkapnya, kemarin. Hermayulis menambahkan, perdebatan masih terjadi tentang status tanah pascadigunakan, apakah akan dikembalikan ke ulayat atau bagaimana. Untuk sebuah investasi, menurut Hermayulis tidak harus menggunakan HGU. Pada UU Pokok Agraria No 5/1960 sebenarnya sudah ditegaskan. Memberikan hak pakai saja sudah cukup bagi investor untuk beraktivitas membangun usaha. Hasilnya, lahan ulayat itu tetap menjadi milik ulayat dan tidak dipindahkan ke negara. Setelah kerjasama selesai, tentu akan kembali ke ulayat bersangkutan. ”Contoh konkretnya adalah Bali, di mana tanah kaum yang dinamakan Pure, sampai saat ini statusnya masih milik kaum, meskipun digunakan untuk membuat mall atau bangunan bertingkat lainnya,” jelas Hermayulis, jadi penggunaan lahan itu hanya sebatas Hak Pakai, bukan HGU. “Jadi, kenapa harus takut untuk memberikan tanah untuk investasi,” tandas Hermayulis, yang sedang menjalin kerjasama penelitian tanah ulayat dengan negara tetangga. Lebih lanjut, ketika Perda Ulayat tetap menggunakan HGU untuk tanah yang akan diolah investor, setelah masa kontrak habis, tidak wajib lahan itu kembali ke negara. Masih ada cara lain, yaitu dengan memberikan objek redistribusi. Intinya, tanah itu akan diberikan kembali ke masyarakat pemiliknya dengan perjanjian tertentu. ”Namun, cara tersebut memang sangat beresiko, karena tanah adalah benda yang harganya terus bertambah seiring dengan bertambahnya waktu. Semua tergantung pejabat yang sedang berkuasa. Tapi, apakah si pejabat mau mengembalikan tanah yang telah dikuasai negara kepada ulayat atau tidak, itu yang meragukan,” kata aktivis perempuan yang kerap terlihat di berbagai kegiatan sosial dan pendidikan perempuan ini. Pemuka Nagari Harus Turun Tangan Terjadinya beberapa kasus pertikaian ulayat, disebutkan Hermayulis sebagai akibat ketidaktahuan masyarakat akan ranji atau garis keturunan kaum/suku mereka. Sejarah akan tanah ulayat itu, juga tidak diketahui apalagi dikuasai anak kemenakan, sementara orang-orang tua sudah meninggal. ”Di samping itu, kebanyakan mereka yang bertikai itu juga tidak mengetahui tentang hukum-hukum adat itu sendiri. Mereka cenderung melihat tanah sebagai barang ekonomis dan tidak memikirkan tanah sebagai identitas dari ulayat. Nah, dengan kasus ini, pemuka nagari harus turun tangan,” tandasnya yang menyebutkan keserakahan menjadi faktor lain pertikaian itu. (rahmi amalia) |
Blog ini adalah kumpulan informasi perkelapa sawitan Riau dan diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap advokasi permasalahan akibat boomingnya perkebunan kelapa sawit di indonesia (This blog is collective information about palm oil in Riau Province and hopefully it will provide a contribution for advocacy of problems as because development of palm oil in Indonesia)
Welcome To Riau Info Sawit
Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com
Kamis, 15 Mei 2008
Investasi Tak Mutlak HGU
Investasi Tak Mutlak HGU, "Hermayulis: Hak Pakai Saja Sudah Cukup"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar