Selayaknya kasus dugaan manipulasi pajak Asian Agri diselesaikan lewat mekanisme hukum. Itu sebabnya, sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menolak memberikan perlindungan kepada Sukanto Tanoto, pemilik perusahaan ini, sudah tepat. Demikianlah, bagaimana hukum harus ditegakkan, tidak peduli bahwa yang tengah beperkara termasuk salah satu orang terkaya di Indonesia.
Sukanto mengirim surat itu kepada Presiden pada 7 Januari lalu. Dia menyampaikan permasalahan pajak yang tengah dialami Asian Agri. Dia menguraikan persoalan itu selalu dikaitkan dengan dirinya. Sukanto meminta Presiden memberikan kesempatan kepada perusahaan untuk membicarakan dan menyelesaikan persoalan tersebut secara kondusif dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Permintaan itu muncul di kala Dirjen Pajak tengah bekerja keras mengusut dugaan manipulasi pajak Asian Agri (yang terjadi sepanjang 2002-2005) senilai Rp 1,3 triliun. Institusi di bawah Kementerian Keuangan ini telah memeriksa dokumen Asian Agri sebanyak sembilan truk yang ditemukan tersimpan di sebuah toko lampu di kawasan Duta Merlin, Jakarta Pusat.
Belum jelas apa yang dimaksud Sukanto agar persoalan pajak Asian Agri diselesaikan secara “kondusif”. Jika ia berharap Presiden memerintahkan aparatnya untuk tak menyeret kasus ini ke wilayah hukum, sungguh itu tindakan yang berbahaya. Jika presiden menuruti keinginan Sukanto, dipastikan hal itu akan mencederai supremasi hukum yang tengah dengan susah payah ditegakkan di negeri ini.
Bagaimanapun, penuntasan kasus Asian Agri akan menjadi salah satu tonggak apakah hukum masih bisa dijadikan sandaran keadilan. Dana Rp 1,3 triliun yang diduga ditilap dalam kasus ini tidaklah sedikit. Dengan uang sebesar itu, sekurang-kurangnya bisa dibangun 200 gedung puskesmas lengkap dengan peralatannya. Sisanya masih bisa digunakan untuk memperbaiki kerusakan jalan di sepanjang pantai utara Jawa. Pendeknya, rakyat dirugikan jika kasus ini diselesaikan di bawah meja.
Masih ada poin lain yang bisa dipersoalkan di balik pengiriman surat tersebut. Hal itu berkaitan dengan sikap Sukanto tidak memenuhi panggilan Dirjen Pajak untuk diperiksa sebagai saksi dalam kasus Asian Agri. Hingga Maret lalu, Dirjen Pajak sudah tiga kali melayangkan panggilan kepada dia, tak satu pun dipenuhi.
Menolak panggilan pemeriksaan, tapi tiba-tiba melayangkan surat kepada Presiden, hanya akan memunculkan kesan bahwa dia ingin menggunakan pengaruhnya menyelesaikan persoalan ini lewat jalur kekuasaan. Alasan bahwa surat panggilan tak pernah sampai ke alamatnya kelihatan mengada-ada karena masalah ini telah diberitakan berkali-kali oleh media massa.
Kini sikap pemerintah sudah jelas. Presiden Yudhoyono menyerahkan soal ini ke koridor hukum. Koran ini berharap aparat kejaksaan tak lagi "ikut" mengulur waktu dan segera memproses berkas pemeriksaan yang akan diserahkan Dirjen Pajak. Mempermainkan lagi soal ini hanya akan membuat wajah penegakan hukum kian babak belur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar