Jakarta, Kompas - Neraca perdagangan Indonesia bulan Juli 2008 dilaporkan defisit karena nilai impor lebih tinggi daripada nilai ekspor.
Pada bulan Juli, nilai impor sebesar 12,82 miliar dollar AS, sedangkan ekspor senilai 12,55 miliar dollar AS. Ini terjadi karena realisasi ekspor produk unggulan Indonesia, terutama minyak sawit mentah (CPO) anjlok, sementara realisasi impor bahan baku industri meningkat.
”Itu artinya ada defisit 270 juta dollar AS di Juli 2008. Neraca yang defisit memang hanya untuk neraca perdagangan bulan Juli saja. Namun, jika kondisi ini terus berlangsung dalam jangka panjang, dikhawatirkan neraca perdagangan tahunan bisa terkena dampaknya,” ujar Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan, Senin (1/9) di Jakarta.
Menurut Rusman, ekspor CPO pada Juni 2008 masih 2,06 miliar dollar AS. Akan tetapi, pada bulan Juli, ekspor CPO anjlok menjadi hanya 581 juta dollar AS.
”Saya tidak tahu apakah ini bagian dari strategi produsen CPO yang mengurangi ekspor hanya demi mengurangi tekanan biaya yang disebabkan oleh pajak ekspor. Pada bulan Juli 2008, memang ada pengenaan pajak ekspor CPO sebesar 20 persen. Seharusnya ada peningkatan ekspor CPO di bulan Agustus karena pajaknya turun ke 15 persen,” paparnya.
Lampu kuning
Kepala Ekonomi BNI A Tony Prasetiantono menyebutkan, neraca perdagangan pernah negatif pada April 2008 saat nilai ekspor hanya mencapai 10,97 miliar dollar AS, lebih rendah dibandingkan dengan impornya sebesar 11,5 miliar dollar AS.
Mengingat neraca perdagangan sudah defisit dua kali, Departemen Perdagangan sudah saatnya lebih serius mencari peluang pasar ekspor baru. ”Ini sudah lampu kuning bagi Deperdag untuk membuka pasar ekspor baru,” ujar Tony.
Sementara itu pengamat ekonomi dari Indef, Fadhil Hasan, berpendapat, neraca perdagangan yang defisit tidak selamanya membahayakan bagi daya tahan ekonomi, selama yang diimpor berupa bahan baku dan barang modal. Impor berupa peralatan yang bisa digunakan untuk kegiatan produksi di dalam negeri merupakan indikator perekonomian yang membaik.
”Meski demikian, dalam konteks sekarang, yang perlu diwaspadai adalah ketergantungan ekspor pada komoditas yang harganya fluktuatif. Jadi, yang harus dibangun adalah industri bernilai tambah tinggi dan berorientasi ekspor,” tuturnya. (OIN)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar