Senin, 16 Agustus 2010 17:16
Program KKPA di Rohul menempati lahan seluas 24.896 hektar. Dari total tersebut, tedapat 1.200 hektar yang masih bermasalah.
Riauterkini-PASIRPANGARAIAN- Dari 24.896 hektar, lahan sistem pola kemitraan Kebutuhan Kelompok Primer Anggota (KKPA) di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Sebanyak 1.200 hektar (ha) masih terjadi konflik, antara masyarakat dengan perusahaan.
“Terjadinya konflik, disebabkan perusahaan tidak sepakat dengan harga kredit yang ditawarkan oleh Pemkab. Padahal masyarakat sudah sepakat menerimanya,” ungkap Kepala Seksi Kemitraan dan Pelayanan Usaha Bidang Usaha Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Rohul, Suryanto, Senin (16/8/10).
Dari 18 perusahaan, yang telah melaksanakan pola KKPA, dengan luas mencapai 24.896 ha. Sesuai ketentuan, ketika tanaman sudah berumur 48 bulan, sudah saatnya dibagikan kepada masyarakat. Namun karena adanya kelambatan pengolahan lahan dan kegiatan penanaman, sehingga perusahaan sering berdalih, bahwa belum waktunya dibagikan.
Beberapa perusahaan perkebunan, yang masih bermasalah pola KKPA nya, diantaranya, PT Jaya Saputera Perdana (JSP), Tambusai Utara, dengan warga Simpang Harapan, seluas 230 ha, dengan harga plafon Rp9,7 juta. Sementara warga Desa Mekar Jaya, mendapatkan lahan seluas 272 ha, dengan harga plafon sebesar Rp3,96 juta, sejak tahun 2007 lalu, belum dibagikan oleh perusahaan, dinilai sangat murah.
Selanjutnya, PT Hutahaean, dengan warga Desa Teluksono Bonaidarussalam, dan warga Desa Muara Nilam, Kuntodarussalam. Dengan luas lahan 360 ha, dan 200 ha. Kemudian PTPN V Sei tapung, sertifikat belum terbit. Untuk tahap I, II, III, seluas 400 ha, tahun tanam 2004 seluas 200 ha, dan tahun tanam 2006, seluas 200 ha. Pembangunan kebun sudah selesai, namun sertifikat yg belum selesai.
"Perjanjian awal PT Hutahaean dengan warga Teluksono, seluas 7.700 ha, namun luas lahan yang di dapat hanya 3.600 ha. Seharusnya 10 persen dari luas kebun, dibagikan ke masyarakat tahun 2006 lalu.
PTPN V Sei Tapung, hanya masalah sertifikat yang hingga kini belum dikeluarkan, namun kebun sudah di kuasai masyarakat. Sementara PT Eluan Mahkota Agro (EMA), belum mempunyai pola kemitraan KKPA. Konflik terjadi karena HGU yg diberikan sebelumnya, tidak bisa digarap. Karena sudah diobservasi masyarakat setempat, karena belum ada ganti rugi HGU nya.
"Kita tidak bisa menindaknya, tapi hanya memfasilitasi, dan telah melakukan pendekatan secara persuasif kepada perusahaan dan masyarakat. Tapi sebagian perusahaan tetap tidak mensetujuinya", katanya.
Untuk sitem Perkebunan Inti Rakyat (PIR), tidak ada masalah. Karena sudah jelas dan diatur dalam peraturan pemerintah, sejak pembukaan lahan. Sementara pola KKPA, hanya perjanjian kerjasama kedua belah pihak. Dan baru PTPN V, dengan PT Perdana Inti Sawit (PIS) Kota Tengah, yang sudah menerapkan sistem itu. Bahkan PIR PTPN V, yang berada Sei Tapung, Sungai Intan, Sei Asam, sudah mencakup 13 desa, dengan luas 19.700 ha. Sementara PT SJI, baru 4700 ha.
“Untuk menghindari konflik. Perusahaan harus menepati janji, sesuai perjajnjian awal. Selanjutnya, secepatnya mengerjakan lahan, sehingga bisa cepat produksi. Dan jangan dibiarkan berlarut,” harapnya.***(zal)
Program KKPA di Rohul menempati lahan seluas 24.896 hektar. Dari total tersebut, tedapat 1.200 hektar yang masih bermasalah.
Riauterkini-PASIRPANGARAIAN- Dari 24.896 hektar, lahan sistem pola kemitraan Kebutuhan Kelompok Primer Anggota (KKPA) di Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Sebanyak 1.200 hektar (ha) masih terjadi konflik, antara masyarakat dengan perusahaan.
“Terjadinya konflik, disebabkan perusahaan tidak sepakat dengan harga kredit yang ditawarkan oleh Pemkab. Padahal masyarakat sudah sepakat menerimanya,” ungkap Kepala Seksi Kemitraan dan Pelayanan Usaha Bidang Usaha Perkebunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun), Rohul, Suryanto, Senin (16/8/10).
Dari 18 perusahaan, yang telah melaksanakan pola KKPA, dengan luas mencapai 24.896 ha. Sesuai ketentuan, ketika tanaman sudah berumur 48 bulan, sudah saatnya dibagikan kepada masyarakat. Namun karena adanya kelambatan pengolahan lahan dan kegiatan penanaman, sehingga perusahaan sering berdalih, bahwa belum waktunya dibagikan.
Beberapa perusahaan perkebunan, yang masih bermasalah pola KKPA nya, diantaranya, PT Jaya Saputera Perdana (JSP), Tambusai Utara, dengan warga Simpang Harapan, seluas 230 ha, dengan harga plafon Rp9,7 juta. Sementara warga Desa Mekar Jaya, mendapatkan lahan seluas 272 ha, dengan harga plafon sebesar Rp3,96 juta, sejak tahun 2007 lalu, belum dibagikan oleh perusahaan, dinilai sangat murah.
Selanjutnya, PT Hutahaean, dengan warga Desa Teluksono Bonaidarussalam, dan warga Desa Muara Nilam, Kuntodarussalam. Dengan luas lahan 360 ha, dan 200 ha. Kemudian PTPN V Sei tapung, sertifikat belum terbit. Untuk tahap I, II, III, seluas 400 ha, tahun tanam 2004 seluas 200 ha, dan tahun tanam 2006, seluas 200 ha. Pembangunan kebun sudah selesai, namun sertifikat yg belum selesai.
"Perjanjian awal PT Hutahaean dengan warga Teluksono, seluas 7.700 ha, namun luas lahan yang di dapat hanya 3.600 ha. Seharusnya 10 persen dari luas kebun, dibagikan ke masyarakat tahun 2006 lalu.
PTPN V Sei Tapung, hanya masalah sertifikat yang hingga kini belum dikeluarkan, namun kebun sudah di kuasai masyarakat. Sementara PT Eluan Mahkota Agro (EMA), belum mempunyai pola kemitraan KKPA. Konflik terjadi karena HGU yg diberikan sebelumnya, tidak bisa digarap. Karena sudah diobservasi masyarakat setempat, karena belum ada ganti rugi HGU nya.
"Kita tidak bisa menindaknya, tapi hanya memfasilitasi, dan telah melakukan pendekatan secara persuasif kepada perusahaan dan masyarakat. Tapi sebagian perusahaan tetap tidak mensetujuinya", katanya.
Untuk sitem Perkebunan Inti Rakyat (PIR), tidak ada masalah. Karena sudah jelas dan diatur dalam peraturan pemerintah, sejak pembukaan lahan. Sementara pola KKPA, hanya perjanjian kerjasama kedua belah pihak. Dan baru PTPN V, dengan PT Perdana Inti Sawit (PIS) Kota Tengah, yang sudah menerapkan sistem itu. Bahkan PIR PTPN V, yang berada Sei Tapung, Sungai Intan, Sei Asam, sudah mencakup 13 desa, dengan luas 19.700 ha. Sementara PT SJI, baru 4700 ha.
“Untuk menghindari konflik. Perusahaan harus menepati janji, sesuai perjajnjian awal. Selanjutnya, secepatnya mengerjakan lahan, sehingga bisa cepat produksi. Dan jangan dibiarkan berlarut,” harapnya.***(zal)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar