Pendapatan petani sawit versus gaji menteri
oleh : Martin Sihombing
Di depan Masjid Nurul Ikhlas, di Desa Buana Bhakti, Kecamatan Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, Riau, Mentan Anton Apriyantono dan petani plasma PT Asian Agri, saling berhadap-hadapan. Suhu udara saat itu sekitar 35 derajat celsius. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apeksindo) Setiono, dengan kemeja batik-yang kerahnya terlihat masih kaku-berdiri di podium.
Polisi berseragam dan security kebun, berseliweran hingga di depan masjid. Termasuk petugas dari TNI-AD, dengan baju loreng dan sepatu lars. Plus sejumlah pria berpakaian sipil dengan handy talky dipinggang, yang terus menerus mengeluarkan suara krasak...kresek. ..dan sekali-kali terdengar suara orang memanggil-manggil dari seberang sana. "Asal Pak Menteri tahu, wajah mereka kini ceria," kata Setiono dari podium. Namun, dulu, saat pertama kali menjejakkan kaki di Desa Buana Bhakti, katanya,"Wajah mereka wajah orang kepepet," ujarnya.
"Dulu [1989], banyak masalah. Sebagai peserta PIR-Trans, akibat hanya dapat jatah beras, rumput disayur," tuturnya. Kini, saat harga CPO dunia di kisaran US$1.200 per ton, harga kelapa sawit petani mencapai Rp2.000 per kilogram. "Makanya, kini, wajah mereka ceria. Dulu [1991] harga sawit Rp100 per kilogram," katanya. Setiono adalah salah satu petani peserta konsep perkebunan-transmig rasi yang digagas presiden saat itu, Soeharto, yang dikemas dalam 'baju' Pola Inti Rakyat Transmigrasi (PIR Trans).
Rata-rata, pendapatan mereka saat ini, Rp20-an juta per bulan. Sugito Supriadi, peserta PIR Trans asal dari Wonosobo, Jawa Tengah, lahan sawitnya kini 10 hektare. "Awalnya 2,5 hektare, jatah PIR Trans," katanya. Dengan luasan itu, pendapatannya kini, per bulan sekitar Rp20 juta.
"Saya tidak pernah membayangkan punya pendapatan sebanyak itu. Saya hanya tamatan SD, berasal dari keluarga susah di Jateng," tuturnya.
"Program Pak Harto itu bagus. Tolong dilanjutkan supaya warga semakin makmur," kata petani plasma lainnya Parjan. Karena itu, dia meminta Mentan memperjuangkan ke pemerintah agar PIR Trans dilanjutkan.
Dirut PT Asian Agri Semion Tarigan menjelaskan kerja sama perusahaan dengan petani dimulai pada 1987. "Pelaksanaannya, penuh tantangan," tuturnya usai memberikan bantuan pembangunan Masjid Nurul Ikhlas Rp50 juta dan ternak sapi Rp50 juta.
Berkat bantuan berbagai pihak, terutama pemerintah kabupaten dan Pemprov Riau, kemitraan dengan petani berjalan. Dewasa ini, kemitraan Asian Agri dengan petani bukan hanya PIR Trans, tetapi juga dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).
Luas lahan petani binaan Asian Agri di Riau masing-masing 29,6 hektare dengan jumlah petani sebanyak 14.812 kepala keluarga berupa PIR Trans dan dengan pola KKPA seluas 6.900 hektare dengan 3.113 kepala keluarga. "Petani binaan kami semakin dipercaya, diincar bank untuk diberikan kredit," tuturnya.
Persoalannya, para petani mengeluhkan soal pupuk. Selain harganya semakin mahal, mendapatkannya pun sulit. "Ini dia," kata Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, di sela-sela dialog dengan petani plasma perusahaan itu.
Nasib petani perkebunan khususnya yang bertanam kelapa sawit, katanya, jauh lebih beruntung atau lebih baik daripada petani di lahan tanaman pangan di Jawa. "Pendapatan Anda, lebih baik dari gaji menteri [Rp19 juta]," ujarnya.
Mentan meminta petani tidak berharap harga pupuk akan turun. Petani sebaiknya tidak bergantung pada pupuk kimia. "Saatnya menggunakan pupuk organik," kata Mentan.
Pasalnya, penggunaan pupuk organik, tidak akan menyulitkan petani. Bahan baku pupuk itu mudah didapatkan petani. Mulai dari sampah tanaman seperti pelepah dan tandan kosong kelapa sawit hingga kotoran hewanpiaraan, khususnya sapi.
Bahkan, kotoran sapi itu bisa dijadikan biogas yang bisa menggantikan bahan bakar minyak (BBM) seperti minyak tanah. "Perusahaan inti, seperti Asian Agri, bisa dan diyakini mampu mengajarkan teknologi pembuatan pupuk organik kepada plasmanya," katanya.
oleh : Martin Sihombing
Di depan Masjid Nurul Ikhlas, di Desa Buana Bhakti, Kecamatan Kerinci Kanan, Kabupaten Siak, Riau, Mentan Anton Apriyantono dan petani plasma PT Asian Agri, saling berhadap-hadapan. Suhu udara saat itu sekitar 35 derajat celsius. Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apeksindo) Setiono, dengan kemeja batik-yang kerahnya terlihat masih kaku-berdiri di podium.
Polisi berseragam dan security kebun, berseliweran hingga di depan masjid. Termasuk petugas dari TNI-AD, dengan baju loreng dan sepatu lars. Plus sejumlah pria berpakaian sipil dengan handy talky dipinggang, yang terus menerus mengeluarkan suara krasak...kresek. ..dan sekali-kali terdengar suara orang memanggil-manggil dari seberang sana. "Asal Pak Menteri tahu, wajah mereka kini ceria," kata Setiono dari podium. Namun, dulu, saat pertama kali menjejakkan kaki di Desa Buana Bhakti, katanya,"Wajah mereka wajah orang kepepet," ujarnya.
"Dulu [1989], banyak masalah. Sebagai peserta PIR-Trans, akibat hanya dapat jatah beras, rumput disayur," tuturnya. Kini, saat harga CPO dunia di kisaran US$1.200 per ton, harga kelapa sawit petani mencapai Rp2.000 per kilogram. "Makanya, kini, wajah mereka ceria. Dulu [1991] harga sawit Rp100 per kilogram," katanya. Setiono adalah salah satu petani peserta konsep perkebunan-transmig rasi yang digagas presiden saat itu, Soeharto, yang dikemas dalam 'baju' Pola Inti Rakyat Transmigrasi (PIR Trans).
Rata-rata, pendapatan mereka saat ini, Rp20-an juta per bulan. Sugito Supriadi, peserta PIR Trans asal dari Wonosobo, Jawa Tengah, lahan sawitnya kini 10 hektare. "Awalnya 2,5 hektare, jatah PIR Trans," katanya. Dengan luasan itu, pendapatannya kini, per bulan sekitar Rp20 juta.
"Saya tidak pernah membayangkan punya pendapatan sebanyak itu. Saya hanya tamatan SD, berasal dari keluarga susah di Jateng," tuturnya.
"Program Pak Harto itu bagus. Tolong dilanjutkan supaya warga semakin makmur," kata petani plasma lainnya Parjan. Karena itu, dia meminta Mentan memperjuangkan ke pemerintah agar PIR Trans dilanjutkan.
Dirut PT Asian Agri Semion Tarigan menjelaskan kerja sama perusahaan dengan petani dimulai pada 1987. "Pelaksanaannya, penuh tantangan," tuturnya usai memberikan bantuan pembangunan Masjid Nurul Ikhlas Rp50 juta dan ternak sapi Rp50 juta.
Berkat bantuan berbagai pihak, terutama pemerintah kabupaten dan Pemprov Riau, kemitraan dengan petani berjalan. Dewasa ini, kemitraan Asian Agri dengan petani bukan hanya PIR Trans, tetapi juga dengan pola Kredit Koperasi Primer Anggota (KKPA).
Luas lahan petani binaan Asian Agri di Riau masing-masing 29,6 hektare dengan jumlah petani sebanyak 14.812 kepala keluarga berupa PIR Trans dan dengan pola KKPA seluas 6.900 hektare dengan 3.113 kepala keluarga. "Petani binaan kami semakin dipercaya, diincar bank untuk diberikan kredit," tuturnya.
Persoalannya, para petani mengeluhkan soal pupuk. Selain harganya semakin mahal, mendapatkannya pun sulit. "Ini dia," kata Menteri Pertanian, Anton Apriyantono, di sela-sela dialog dengan petani plasma perusahaan itu.
Nasib petani perkebunan khususnya yang bertanam kelapa sawit, katanya, jauh lebih beruntung atau lebih baik daripada petani di lahan tanaman pangan di Jawa. "Pendapatan Anda, lebih baik dari gaji menteri [Rp19 juta]," ujarnya.
Mentan meminta petani tidak berharap harga pupuk akan turun. Petani sebaiknya tidak bergantung pada pupuk kimia. "Saatnya menggunakan pupuk organik," kata Mentan.
Pasalnya, penggunaan pupuk organik, tidak akan menyulitkan petani. Bahan baku pupuk itu mudah didapatkan petani. Mulai dari sampah tanaman seperti pelepah dan tandan kosong kelapa sawit hingga kotoran hewanpiaraan, khususnya sapi.
Bahkan, kotoran sapi itu bisa dijadikan biogas yang bisa menggantikan bahan bakar minyak (BBM) seperti minyak tanah. "Perusahaan inti, seperti Asian Agri, bisa dan diyakini mampu mengajarkan teknologi pembuatan pupuk organik kepada plasmanya," katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar