Selasa, 24 Desember 2013 17:26 ,http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=68167 Keruwetan yang dialami warga empat desa di Tambusai Utara sejak bekerjasama dengan PT MAN sudah sering dicarikan solusi, namunpuluhan perundingan selalu dimentahkan arogansi perusahaan. RIAUTERKINI- Sudah tak terhitung berapa kali perundingan digelar antara warga empat desa di Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten ROkan Hulu dengan PT Merangkai Artha Nusantara (MAN). Pertemuan yang diharap mendapatkan solusi terbaik selalu buntu. Kandas terhadap sikap tak mau kompromi Barmansyah, selaku pemilik perusahaan. Perundingan sudah digelar sejak Kabupaten Rokan Hulu masih dipimpin Bupati Ramlan Zas. Terus berlanjut beberapa kali di masa kepemimpinan Bupati Achmad, namun tetap saja tak pernah membuahkan hasil sebagaimana diharap. Masalah terasa semakin rumit ketika PT MAN sempat berganti bendera menjadi PT Sawit Mas Riau atau SMR, meskipun pemiliknya tetap sama. Hanya direktur utamanya berganti-ganti. Mulai dari Suyut yang kemudian masuk penjara setelah diperkarakan pihak perusahaannya sendiri. Misalnya pada perundingan yang digelar di Mapolres Rohul di Pasirpangaraian, Rabu, 21 November 2007. Warga dipertemukan dengan PT MSR, bukan PT MAN berkat mediasi Kabag Ops Polres Rohul yang ketika itu dijabat Kompol Andi Salamon Perundingan berlangsung alot dan panas dari pagi dan baru diakhiri menjelang tengah malam. Dalam perundingan tersebut perwakilan warga desa dipimpin langsung Kepala Desa M Retnanto didampingi Ketua LMD M Syafi'ie dan sejumlah tokoh masyarakat, seperti Hendrik. Sedangkan dari PT. SMR langsung dipimpin Direktur Utama Suyud. Hadir juga dalam pertemuan tersebut Suyanto, perwakilan Dinas Perkebunan Rohul. Meskipun telah berdunding berjam-jam secara marathon, namun sampai bubar tidak ada kata sepakat. Warga menolak menandatangan draf kesepakatan yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan. "Semua yang tertera dalam draf kesepakatan merupakan keinginan perusahaan. Tidak ada sedikitpun yang merupakan aspirasi kami selaku utusan warga, karena itu kami menolak menandatangani," ujar Retnanto kepada riauterkini ketika itu. Dipaparkan Retnanto, sejumlah draf kesepakatan yang dinilainya sepihak antara lain, menyangkut peserta, perusahaan bersikukuh hanya 495 orang, padahal menurut data desa sebanyak 668 dengan luas kebun yang telah tertanam seluas 775 hektar. Draf yang paling fatal adalah mengenai jumlah hutang yang harus ditanggung warga, yakni Rp 12,7 juta setiap hektar ditambah bungan 1 persen setiap bulan. Jika pencicilan berlangsung 4 tahun, maka bunga yang harus ditanggung warga mencapai 60 persen dari total nilai hutang. Harga Rp 12,7 juta/hektar sebenarnya wajar, jika situasi kerjasama normal, semacam KKPA, di mana warga menyerahkan lahan dalam bentuk hutan tanpa surat kepemilikan dan perusahaan yang membuka, sedangkan di Sukadamai berbeda, yang diserahkan warga adalah lahan jatah transmigrasi yang sudah dalam bentuk hamparan dan bersertifikat. Selain itu, waktu akad kredit sudah jauh terlampaui. Perusahaan, ketika itu masih bernama PT. Merangkai Arta Nusantara (MAN), mulai menanam sawit 1996 silam. Berdasarkan perjanjian, 48 bulan setelah penanaman, kebun akan dibagikan kepada peserta plasma untuk mulai mencicil kredit. Ternyata sampai sekarang, atau setelah 7 tahun, belum dibagikan. Selama tujuh tahun perusahaan memanen hasil kebun secara sepihak dan hanya memberikan bagian warga sekehendak hati. Terkadang Rp 50.000 untuk setiap hektar, bahkan sering warga tidak mendapat apa-apa. "Kami sebenarnya bisa menerima harga yang diajukan perusahaan, tapi kami minta dipotong dengan pencicilan dari hasil penen perusahaan selama tujuh tahun. Tapi mereka tidak mau. Itu, kan namanya mau enak sendiri," runtuk Retnanto lagi. Ditambahkan Retnanto, jika kerjasama berjalan dengan baik, bisa jadi hutang warga sudah lunas, tetapi kenyataannya bermasalah. Kondisi yang sekarang terjadi di lapangan sama sekali tidak ada andil kesalahan warga. Semua kesalahan perusahaan. "Sedikitpun kami tidak punya andil yang membuat kondisi kebun rusak. Kami yang tak salah, kok malah kami yang harus terus dirugikan," keluhnya. Fakta lain yang membuat warga menolak adalah kondisi kebun yang sudah sangat kritis, karena tak pernah dirawat dengan baik dan hanya dipanen. Terlebi setelah sekitar dua bulan tidak dipanen. Warga sepakat menghentikan kegiatan panen perusahaan, karena tak ingin terus dirugikan. Buntunya perudingan tersebut memunculkan pemikiran baru dari warga. Kemungkinan warga akan menggugat perusahaan, baik secara pidana maupun perdata. Secara pidana, warga berencana mengadukan perusahaan karena dinilai telah melakukan penipuan. Sedangkan perdata dilakukan untuk memutuskan hak atas lahan, mengingat perusahaan bersikeras memiliki hak atas sebagian lahan. Padahal lahan tersebut sudah bersetifikat dan ketika datang perusahaan sama sekali tak memiliki lahan.***(ahmad s.udi/bersambung) Keterangan foto: Puluhan warga Desa Pagar Mayang dan Payung Sekaki demo di PDRD Rohul, Juni 2012. Mereka mendesak dewan membantu mencarikan solusi masalah mereka dengan PT MAN. |
Blog ini adalah kumpulan informasi perkelapa sawitan Riau dan diharapkan mampu memberikan kontribusi terhadap advokasi permasalahan akibat boomingnya perkebunan kelapa sawit di indonesia (This blog is collective information about palm oil in Riau Province and hopefully it will provide a contribution for advocacy of problems as because development of palm oil in Indonesia)
Welcome To Riau Info Sawit
Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com
Selasa, 24 Desember 2013
Jejak Masalah dan Darah PT MAN di Rohul (2), Puluhan Perundingan Dimentahkan Arogansi Perusahaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar