Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Jumat, 08 Agustus 2008

Kebun Sawit Versus Hutan Konservasi

Oleh Imam Khoiri

Pengembangan dan perluasan kebun kelapa sawit, khususnya di Sumatera, membuat sebagian orang menangguk rezeki sekaligus menyisakan nestapa bagi sebagian yang lain. Selain penyerobotan tanah oleh perusahaan besar, persoalan besar lain adalah rusaknya lingkungan.

Jangan terkejut jika banyak pegiat lingkungan meminta desain ulang perkebunan kelapa sawit di Sumatera sebab perkembangannya memang mengkhawatirkan. Lihat saja di bantaran Sungai Siak, Provinsi Riau. Sekitar 780.000 hektar lahan sawit berdiri pada hampir 300 kilometer bantaran sungai itu. Padahal, aturannya jelas, kehadiran kebun kelapa sawit diperbolehkan pada jarak sekitar 50-100 meter dari bibir sungai.

Desain ulang sangat penting agar lahan yang belum terjamah budidaya perkebunan, termasuk kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, lahan pertanian rakyat, tidak dengan mudah menjadi kebun kelapa sawit. Jika tidak dikelola dengan baik, perluasan kebun kelapa sawit bakal memunculkan konflik pertanahan antara perusahaan dan petani, atau merusak hutan yang semestinya dilindungi.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit dari tahun ke tahun memang mencengangkan. Kebun kelapa sawit di Sumatera Selatan, misalnya, pada tahun 2006 ini sudah mencapai 540.000 hektar. Dari jumlah itu, produksi minyak sawit mentah (CPO) mencapai 1,3 juta ton dan kernel atau inti sawit 200.000 ton per tahun. Ekspor kelapa sawit Sumsel mencapai volume 600.000 ton senilai 250 juta dollar Amerika Serikat.

Melihat prospek yang bagus, Pemerintah Provinsi Sumsel bermaksud memperluas 300.000 hektar kebun sawit lagi sejak tahun 2005 sampai 2009 sehingga totalnya menjadi 840.000 hektar. Setiap tahun akan terjadi perluasan sekitar 60.000 hektar.

Namun, pengembangan perkebunan kelapa sawit beberapa tahun mendatang terbentur oleh sempitnya lahan. Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib mengajukan hitung-hitungan sederhana untuk daerahnya. Provinsi itu memiliki wilayah seluas 8,7 juta hektar. Sebanyak 1,7 hektar termasuk kawasan hutan konservasi dan hutan lindung, sebanyak 1,4 juta hektar untuk kawasan budidaya nonpertanian, sedangkan 5,5 juta hektar lagi menjadi kawasan budidaya pertanian dan hutan produksi.

Menggandeng Rakyat

Jadi, sudah hampir tidak ada tanah lagi yang benar-benar kosong untuk pengembangan perkebunan. Apalagi jumlah penduduk Sumsel yang sudah mencapai 6,8 juta jiwa juga membutuhkan lahan permukiman yang luas. “Kalau mau mencari, mungkin masih ada sekitar satu hektar lahan sisa yang potensial untuk pengembangan kepala sawit. Tetapi, tanah itu merupakan milik petani rakyat, tanah adat, atau tanah ulayat,” kata Syamuil.

Dengan begitu, pengembangan perkebunan sawit pada tahun-tahun mendatang harus menggandeng petani rakyat pemilik tanah. Jika hal itu dilanggar, konflik pertanahan antara perusahaan dan petani bakal semakin marak. Pengembangan perkebunan hendaknya mempertemukan sinergi antara perusahaan yang memiliki modal tetapi tak punya lahan dan petani yang punya lahan tetapi tak punya modal.

Dengan begitu, perkebunan kelapa sawit tidak bisa lagi dimonopoli perusahaan besar dengan lahan inti yang luas. Perbandingan lahan inti dan plasma tak bisa lagi 50 berbanding 50, tetapi sekitar 20 berbanding 80. Rakyat pemilik tanah harus diberdayakan dengan memberikan pendidikan, teknologi, dan permodalan yang terjangkau.

“Saat ini sebanyak 300.000 hektar dari total kebun sawit seluas 551.000 hektar dimiliki perusahaan. Sedangkan sisanya, 251.000 hektar, kebun milik rakyat. Tahun 2009 nanti, saat lahan sawit di Sumsel mencapai 800.000 hektar, mungkin komposisinya menjadi seimbang, yaitu 400.000 hektar lahan milik perusahaan dan 400.000 lagi milik petani,” kata Syamuil.

Di lain pihak, Sumail Abdullah dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Sumsel pesimistis dengan konsep pemberdayaan petani. Masalahnya, kemitraan perusahaan pengelola lahan inti dengan petani pengelola lahan plasma saat ini saja terlalu longgar.

Banyak perusahaan yang hanya menerima tandan buah segar (TBS) sawit dari petani tanpa memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan produktivitas TBS di lahan plasma. Padahal, petani yang memiliki modal terbatas membutuhkan bantuan dari perusahaan.

“Setelah berjalan lama, perusahaan biasanya cenderung melepaskan plasma dan kurang memerhatikan petani. Itu modus yang terjadi di banyak tempat,” katanya.

Lahan Konservasi

Pengembangan kelapa sawit di Sumsel telah menabrak kawasan hutan konservasi sejak pertengahan tahun 1990-an. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatera Selatan Dulhadi mengungkapkan, sebanyak 49.948 hektar hutan konservasi suaka margasatwa di Sumsel dirambah sejumlah perusahaan besar untuk dijadikan perkebunan kelapa.

Perambahan terjadi di enam lokasi hutan suaka margasatwa (SM), yaitu di SM Dangko dan SM Bentayan di Kabupaten Musi Banyuasin, SM Gunung Raya di Kabupaten Ogan Komering Ulu Selatan, SM Gumai Pasemah di Kabupaten Lahat, SM Isoiso Pasemah di Kabupaten Lahat dan Muara Enim, serta SM Padang Sugihan di Kabupaten Banyuasin dan Ogan Komering Ilir. Perambahan antara lain dilakukan secara besar-besaran oleh empat perusahaan, sebagian lagi dilakukan masyarakat umum.

Tiga dari empat perusahaan besar yang merambah hutan SM Dangko di Kabupaten Musi Banyuasin adalah PT BSS yang merambah 1.736 hektar hutan, PT MBI seluas 2.226 hektar, dan PT PKR seluas 699,92 hektar. Satu perusahaan lagi, PT PTBA, merambah 31 hektar hutan di SM Bentayan, Kabupaten Musi Banyuasin.

Saat ini kasus perambahan oleh PT BSS di SM Dangko sedang disidik petugas penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) BKSDA Sumsel. Kesimpulan sementara, perambahan terjadi akibat kesalahan prosedur perizinan yang tidak menyertakan peta hutan konservasi. Perusahaan menggunakan peta dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pemerintah Kabupaten Musi Banyuasin yang tumpang tindih dengan peta kawasan hutan konservasi.

“PT BSS mulai merambah tahun 1996 dan telah diperingatkan tahun 2005, tetapi perambahan terus berlangsung. Dari pengukuran terakhir, kawasan yang dirambah meluas menjadi 1.777 hektar,” kata Dulhadi, didampingi petugas PPNS, Suardi.

Akibat kegiatan perambahan itu, kawasan hutan menjadi rusak, ekosistem terganggu, dan dapat memicu bencana banjir atau longsor. Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Wahli) Sumsel Sri Lestari Kadaria, perubahan hutan konservasi yang heterogen menjadi kebun kelapa sawit yang homogen mengakibatkan rusaknya ekosistem hutan serta keanekaragaman flora dan fauna hutan hilang.

Tanaman sawit dikenal rakus air dengan setiap satu batang sawit menyerap 10 liter air per hari. Hal itu bisa memicu kekeringan di kawasan sekitarnya

“Pemerintah hendaknya sigap mengantisipasi perambahan oleh perusahaan besar daripada menangkapi perambah rakyat kecil. Hutan konservasi semestinya tidak dapat dialihfungsikan karena alasan apa pun, sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” kata Sri Lestari menambahkan.

Tidak ada komentar: