Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Rabu, 25 Desember 2013

Jejak Masalah dan Darah PT MAN di Rohul (3), Perusahaan Membuat Banyak Warga Tamut Masuk Penjara

Rabu, 25 Desember 2013 10:26

Warga eks transmigarasi umumnya bersahaja dan sangat taat hukum, namun sejak kehadiran PT MAN, banyak dari mereka yang dianggap melanggar hukum dan dijebloskan ke penjara.

RIAUTERKINI-Jika memiliki tabiat penjahat dan mau menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang, sudah pasti masyarakat empat desa di Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu tidak akan mau berada di kawasan tersebut. Mereka rela meninggalkan kampung halaman di Jawa karena mengharap rejeki halal untuk merubah nasib melalui program transmigrasi.

Sebagai masyarakat desa, umumnya mereka adalah orang-orang bersahaja yang sangat taat pada hukum. Membayangkan berurusan dengan aparat hukum adalah sebuah ketakutan luar biasa. Karena itu, mereka selalu menghindari. Tetapi ternyata suratan takdir berkehendak lain. Justru banyak di antara warga empat desa tersebut justru harus dianggap sebagai pelaku tindak kriminal. Mereka ditangkap, diproses hukum lantas dipenjara.

Kondisi tersebut tak lepas dari dampat permasalahan rumit nan panjang yang dialami warga empat desa setelah sepakat bermitra dengan PT Merangkai Artha Nusantara.

Adalah Muhammad Syafi'e warga Desa Sukadamai asal Pasuruan, Jawa Timur. Seumur hidup baru sekali ia berurusan dengan aparat kepolisian akibat dilaporkan PT MAN. Ia dituduh mencuri kelapa sawit.

"Padahal, sebagai Ketua LMD saya tidak mungkin mencuri kelapa sawit dari kebun masyarakat. Ketika itu, saya mengawal truk muat kelapa sawit dari kebun. Saya lakukan itu berdasarkan hasil rapat desa. Rencananya, hasil penjualan kelapa sawit dibagikan kepada petani dan juga perusahaan. Kalau dulu perusahaan yang mengelola, kini desa yang mengelola," tutur Syafi'e kepada riauterkini ketika itu.

Namun justru Syafi'e kemudian dilaporkan ke polisi oleh PT MAN dengan tuduhan mencuri kelapa sawit dari kebun perusahaan.

Nasib serupa juga dialami Misri, warga Sukadamai yang lain. Ia juga nyaris menjadi penghuni penjara karena dipolisikan perusahaan dengan tuduhan serupa.

Demikian juga dengan Riyanto, Warga Desa Pagar Mayang, Tambusai Utara yang harus mendekam dalam tahanan Polsek setempat karena dituduh mencuri kelapa sawit perusahaan pada Juni 2012 silam.

Belasan warga Sukadamai juga pernah berurusan dengan polisi karena mengeroyok warga yang dianggap menjadi antek PT MAN.

Kasus paling heboh yang harus dialami masyarakat empat desa di Tambusai Utara yang terkait dengan PT MAN adalah saat demo di Kejaksaan Negeri Pasirpangaraian, 11 Oktober 2011. Ketika itu ratusan warga emosi karena merasa jaksa yang menyidik perkara 5 warga yang dituduh mencuri kelapa sawit PT MAN berlaku curang.

Warga kalap dan melampiaskan amarah. Seluruh jaksa menjadi sasaran amukkan warga, Seorang jaksa bernama Ardiansyah tertangkap dan dihajar ramai-ramai sampai tak sadarkan diri. Tiga warga jadi tersangka dalam kasus anarkhis tersebut.

Terbaru dan masih berlangsung sampai saat ini, delapan warga Mahato Sakti, termasuk Kepala Desa Malius harus mendekam dalam tahanan Mapolres Rohul. Mereka menjadi tersangka tragedi 'Jumat Berdarah'. Warga yang sudah kehilangan kesabaran menyerbu ke kubu pamswakarsa PT MAN. Membakar bedeng, truk dan sepeda motor. Menghajar pamswakarsa yang ditemui. Seorang tewas dan tiga lainnya luka.***(ahmad s.udi/bersambung)

Keterangan foto:
1. Tiga dari delapan warga Desa Mahato Sakti yang ditahan sebagai tersangka bentrok 'Jumat Berdarah'.
2. Jaksa Ardiansyah babak-belur dan pingsan dihajar ratusan warga Tambusai Utara yang kalap, karena jaksa dinilai curang dalam menangani perkara 5 warga yang dituding mencuri sawit PT MAN.

Selasa, 24 Desember 2013

Jejak Masalah dan Darah PT MAN di Rohul (2), Puluhan Perundingan Dimentahkan Arogansi Perusahaan

Selasa, 24 Desember 2013 17:26
,http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=68167
Keruwetan yang dialami warga empat desa di Tambusai Utara sejak bekerjasama dengan PT MAN sudah sering dicarikan solusi, namunpuluhan perundingan selalu dimentahkan arogansi perusahaan.

RIAUTERKINI- Sudah tak terhitung berapa kali perundingan digelar antara warga empat desa di Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten ROkan Hulu dengan PT Merangkai Artha Nusantara (MAN). Pertemuan yang diharap mendapatkan solusi terbaik selalu buntu. Kandas terhadap sikap tak mau kompromi Barmansyah, selaku pemilik perusahaan.

Perundingan sudah digelar sejak Kabupaten Rokan Hulu masih dipimpin Bupati Ramlan Zas. Terus berlanjut beberapa kali di masa kepemimpinan Bupati Achmad, namun tetap saja tak pernah membuahkan hasil sebagaimana diharap.

Masalah terasa semakin rumit ketika PT MAN sempat berganti bendera menjadi PT Sawit Mas Riau atau SMR, meskipun pemiliknya tetap sama. Hanya direktur utamanya berganti-ganti. Mulai dari Suyut yang kemudian masuk penjara setelah diperkarakan pihak perusahaannya sendiri.

Misalnya pada perundingan yang digelar di Mapolres Rohul di Pasirpangaraian, Rabu, 21 November 2007. Warga dipertemukan dengan PT MSR, bukan PT MAN berkat mediasi Kabag Ops Polres Rohul yang ketika itu dijabat Kompol Andi Salamon Perundingan berlangsung alot dan panas dari pagi dan baru diakhiri menjelang tengah malam.

Dalam perundingan tersebut perwakilan warga desa dipimpin langsung Kepala Desa M Retnanto didampingi Ketua LMD M Syafi'ie dan sejumlah tokoh masyarakat, seperti Hendrik. Sedangkan dari PT. SMR langsung dipimpin Direktur Utama Suyud. Hadir juga dalam pertemuan tersebut Suyanto, perwakilan Dinas Perkebunan Rohul.

Meskipun telah berdunding berjam-jam secara marathon, namun sampai bubar tidak ada kata sepakat. Warga menolak menandatangan draf kesepakatan yang dibuat secara sepihak oleh perusahaan. "Semua yang tertera dalam draf kesepakatan merupakan keinginan perusahaan. Tidak ada sedikitpun yang merupakan aspirasi kami selaku utusan warga, karena itu kami menolak menandatangani," ujar Retnanto kepada riauterkini ketika itu.

Dipaparkan Retnanto, sejumlah draf kesepakatan yang dinilainya sepihak antara lain, menyangkut peserta, perusahaan bersikukuh hanya 495 orang, padahal menurut data desa sebanyak 668 dengan luas kebun yang telah tertanam seluas 775 hektar. Draf yang paling fatal adalah mengenai jumlah hutang yang harus ditanggung warga, yakni Rp 12,7 juta setiap hektar ditambah bungan 1 persen setiap bulan. Jika pencicilan berlangsung 4 tahun, maka bunga yang harus ditanggung warga mencapai 60 persen dari total nilai hutang.

Harga Rp 12,7 juta/hektar sebenarnya wajar, jika situasi kerjasama normal, semacam KKPA, di mana warga menyerahkan lahan dalam bentuk hutan tanpa surat kepemilikan dan perusahaan yang membuka, sedangkan di Sukadamai berbeda, yang diserahkan warga adalah lahan jatah transmigrasi yang sudah dalam bentuk hamparan dan bersertifikat.

Selain itu, waktu akad kredit sudah jauh terlampaui. Perusahaan, ketika itu masih bernama PT. Merangkai Arta Nusantara (MAN), mulai menanam sawit 1996 silam. Berdasarkan perjanjian, 48 bulan setelah penanaman, kebun akan dibagikan kepada peserta plasma untuk mulai mencicil kredit. Ternyata sampai sekarang, atau setelah 7 tahun, belum dibagikan. Selama tujuh tahun perusahaan memanen hasil kebun secara sepihak dan hanya memberikan bagian warga sekehendak hati. Terkadang Rp 50.000 untuk setiap hektar, bahkan sering warga tidak mendapat apa-apa.

"Kami sebenarnya bisa menerima harga yang diajukan perusahaan, tapi kami minta dipotong dengan pencicilan dari hasil penen perusahaan selama tujuh tahun. Tapi mereka tidak mau. Itu, kan namanya mau enak sendiri," runtuk Retnanto lagi.

Ditambahkan Retnanto, jika kerjasama berjalan dengan baik, bisa jadi hutang warga sudah lunas, tetapi kenyataannya bermasalah. Kondisi yang sekarang terjadi di lapangan sama sekali tidak ada andil kesalahan warga. Semua kesalahan perusahaan. "Sedikitpun kami tidak punya andil yang membuat kondisi kebun rusak. Kami yang tak salah, kok malah kami yang harus terus dirugikan," keluhnya.

Fakta lain yang membuat warga menolak adalah kondisi kebun yang sudah sangat kritis, karena tak pernah dirawat dengan baik dan hanya dipanen. Terlebi setelah sekitar dua bulan tidak dipanen. Warga sepakat menghentikan kegiatan panen perusahaan, karena tak ingin terus dirugikan.

Buntunya perudingan tersebut memunculkan pemikiran baru dari warga. Kemungkinan warga akan menggugat perusahaan, baik secara pidana maupun perdata. Secara pidana, warga berencana mengadukan perusahaan karena dinilai telah melakukan penipuan. Sedangkan perdata dilakukan untuk memutuskan hak atas lahan, mengingat perusahaan bersikeras memiliki hak atas sebagian lahan. Padahal lahan tersebut sudah bersetifikat dan ketika datang perusahaan sama sekali tak memiliki lahan.***(ahmad s.udi/bersambung)

Keterangan foto:
Puluhan warga Desa Pagar Mayang dan Payung Sekaki demo di PDRD Rohul, Juni 2012. Mereka mendesak dewan membantu mencarikan solusi masalah mereka dengan PT MAN.
 

Jejak Masalah dan Darah PT MAN di Rohul (1), Berharap Sejahtera, Warga Justru Masuk Perangkap

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=68156

Selasa, 24 Desember 2013 13:47

Bagi masyarakat Tambusai Utara PT MAN semula adalah harapan, namun kemudian berubah menjadi masalah dan malapetaka seolah tiada akhir.

RIAUTERKINI- Pada 1995 silam desa-desa eks transmigrasi di Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu ( dulu masih Kecamatan Tambusai dan bagian Kabupaten Kampar) masih diliputi keterbatasan. Ekonomi terbatas, fasilitas terbatas dan peluang usaha yang terbatas. Jangankan sejahtera, sekedar bisa hidup cukup pun sudah sangat disyukuri.

Karena itu, kehadiran PT Merangkai Artha Nusantara (MAN) yang dimiliki pasangan Barmansyah dan Budhiarti (sudah lama bercerai) ibarat sebuah oase di padang pasir yang kering. Datang membawa harapan akan masa depan yang lebih memberi kepastian ketercukupi kebutuhan hidup.

Maka gayungpun disambut ribuan warga dari empat desa: Sukadamai, Mahato Sakti, Pagar Mayang dan Payung Sekaki. Mereka rela menyerahkan satu-satunya harta paling berharga yang dimiliki, berupa sertifikat tanah lahan garapan I dan sertifikat lahan garapan II kepada PT MAN, sebagai syarat menjalin kemitraan. Di Desa Sukadamai saja sebanyak 911 persil sertifikat diserahkan pada PT MAN.

Kesepakatan pun diteken. Selajutnya masyarakat menghitung hari. Menunggu masa di mana gilran menuai panen dari kerjasama tersebut bisa dinikmati. Bayangan indah memiliki 2 hektar kebun kelapa sawit membuat masyarakat dari empat desa semangat menyongsong masa depan.

Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Tidak ada satupun dari ribuan masyarakat empat desa tersebut menyangkap bahwa kerjasama dengan PT MAN adalah perangkap. Jebakan yang membuat mereka seolah tersekat dalam masalah tiada akhir. Bahkan kini situasinya berkembang menjadi malapeta yang menghadirkan ketakutan dan ancaman.

Sejak 1996 hingga saat ini PT MAN gagal melaksanakan kewajibannya membuka plasma untuk ribuan warga empat desa. Ribuan hektar lahan bersertifikat milik warga memang sudah diubah menjadi kebun kelapa sawit, namun selalu disebut perusahaan sebagai kebun inti, bukan plasma. Berbagai alasan disampaikan perusahaan untuk menghindari kewajiban menyediakan kebun plasma.

Masyarakat pun dihadapkan pada buah simalakama. Ikut terus kerjasama tidak ada kepastian. Sementara mundur, lahan dan sertifikatnya terlanjur dikuasai perusahaan. Sejak itulah masalah demi masalah mendera masyarakat. Persoalan semakin pelik begitu ribuan hektarn kelapa sawit mulai berbuah dan siap panen. Sementara kebun yang ada tak kunjung dibagikan kepada para peserta kemintraan yang telah menyerahkan sertifikat pada perusahaan.

Ketika ribuan hektar kebun kelapa sawit di empat desa benar-benar panen, masalah pun semakin rumit dan cenderung memanas. Warga yang sudah tak sabar ingin menikmati hasil penantian panjang kerap dibuat geram oleh sikap perusahaan. Mereka tak diberi kepastian kapan bisa mendapatkan hasil dari kerjasama.

Perusahaan memang bukan sama sekali tak membagi, peserta kemintraan kemudian diberikan bagian dari hasil penen kebun kelapa sawit, namun bukan dalam bentuk lahan, melainkan pembagian uang hasil penjualan tandan buah segar (TBS) kelapa sawit.

Masalahnya, uang yang dibagikan kepada setiap warga dinilai sangat tidak layak. Dalam sebulan warga hanya menerima uang sekitar Rp 300 ribu. Pernah juga hanya diberi Rp 200 ribu sebulan. Sudahlah sedikit, pembagiannya pun tidak rutin. Bahkan sejak beberapa tahun terakhir warga tak pernah lagi menerima pembagian apapun dari PT MAN selain masalah.

Anehnya, dalam jumpa pers yang digelar di Pekanbaru, Senin (23/12/13), PT MAN mengungkapkan fakta sebaliknya. Menurut pengacara perusahaan Suharman yang didampingi Staf Humas Budi Kaban Karo-karo, serta Kananda Syahputra, anak lelaki Barmansyah, pemilik perusahaan, kerjasama dengan masyarakat empat desa di Tambusai Utara sudah berjalan baik.

Suharman menambahkan, kerjasama PT MAN dengan warga di 4 desa di Kecamatan Tambusai Utara sudah berjalan baik dengan menggunakan sistem bagi keuntungan 60 : 40, 60 untuk masyarakat dan 40 untuk perusahaan.

“Kerjasama ini sudah berjalan. Oleh karena itu, kami menduga barangkali ada pihak ketiga yang tidak suka dengan kerjasama PT MAN dengan warga di 4 desa tersebut,” tandasnya. ***(ahmad s.udi/bersambung)

Keterangan foto:
Pengacara PT MAN Suharman bersama staf Humas Budi Kaban Karo-karo dan Kananda Syahputra, anak Barmansyah, pemilih perushaaan saat jumpa pers di Pekanbaru, kemarin.