Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Kamis, 28 April 2011

Datangi BPN Riau, 4 Ormas Tolak HGU PT TPP di Inhu

Kamis, 28 April 2011 11:55

Puluhan aktivis empat Ormas menggeruduk Kantor BPN Wilayah Riau. Mereka menolak rencana perpanjangan HGU PT TPP di Indragiri Hulu.

Riauterkini-PEKANBARU- kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Wilayah Riau di Jalan Cut Nyak Dien Pekanbaru yang biasanya sepi mendadak ramai, Kamis (28/4/11). Kehadiran puluhan aktivis empat organisasi massa (Ormas) menjadikan suasana hiruk pikuk. Mereka merupakan pendemo yang datang untuk menolak rencana perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) PT Tugal Perkasa Plantation (TPP) di Indragiri Hulu (Inhu).

Empat Ormas tergabung dalam Pusat Perlawanan Rakyat Inhu (PERAHU) yang menggeruduk kantor BPN Wilayah Riau tersebug adalah Ikatan Pemuda Pelajar Mahasiswa Inhu (IPPM-Inhu), Serikat Tani Inhu (STI), DPW Mahasiswa Limbung Informasi Rakyat (LIRA) Riau dan Ikatan Mahasiswa Rantau (HIMAMARU) Riau.

Para pendemo menolak rencan perpanjangan HGU PT TPP seluas 10.244,40 hektar berdasarkan Izin memanfaatkan Tanah (IMT) Bupati Inhu No.91/640/IMT/1999 di Desa Redang Seko dan pecadangan seluas 500 hektar di Desa Banjar dalam. Padahal dalam IMT tersebut, dipersyaratkan pembukaan kebun kelapa sawit harus melibatkan masyarakat sekitar dengan pola KKPA.

sementara, sampai saat ini program KKPA belum juga direalisasikan PT TPP. selain itu, juga ada masalah sengketa tanah antara PT TPP dengan masyarakat Desa Jati Rejo dan desa Sungai Air Putih seluas 200 hektar.

Atas fakta-fakta di atas, para pengunjuk rasa menyatakan sikap sebagai berikut: Pertama, menolak perpanjangan HGU PT TPP No.08/04/1981 seluas 10.244,40 hektar. Kedua, segera dilakukan pengembalian lahan masyarakat Inhu umumnya dan masyarakat Jati Rejo khususnya dan ketiga, mendesak transparansi kinerja Panitia B yang dibentuk BPN wilayah Riau dalam menangani kasus tersebut.

sempat terjadi ketegangan saat Kepala BPN Kawil Riau Rizal Yahya saat menemui pengunjuk rasa. Hal itu disebabkan Rizal mengatakan kalau Panitia B sudah bekerja sesuai ketentuan. Ketegangan akhirnya mencair, setelah Rizal bersedia menerima 8 perwakilan pengunjuk rasa untuk berunding.

Sampai berita ini diturunkan perundingan masih berlanjut dan belum ada kata sepakat. Namun BPN Wilayah Riau menyatakan siap turun kembali ke lokasi untuk memastikan keberadaan lahan milik warga yang diklaim dikuasi perusahaan.***(mad/put)


Rabu, 20 April 2011

Dituding Warga Lakukan Penyerobotan, Pemkab Inhu Bentuk Tim Independen Soal Lahan PTPN V

Selasa, 19 April 2011 17:37

Pemkab Inhu merespon demo ratusan masyarakat yang merasa menjadi korban penyerobotan lahan oleh PTPN V. Sebuah tim independen dibentuk untuk mengupayakan penyelesaian.

Riauterkini –RENGAT -Guna menyelesaikan permasalahan lahan antara warga Desa Lubuk Batu Tinggal Kecamatan Lubuk Batu Jaya, terkait dugaan kelebihan HGU PTPN V, maka Pemda Inhu langsung membentuk tim independen. Tim Ini akan bertugas menyelesaikan permasalahan ini, Selasa (19/4/11).

Sebagaimana di ungkapkan Asisten Tata Pemerintahan dan Kesra Setdakab Inhu Drs HM Sadar ketika di konfirmasi Riauterkini, Selasa (19/4/11) di Pematangreba.Tim independen ini terdiri dari, unsur Pemda Inhu. Seperti Asisten Pemerintahan dan Kesra, Kabag Tapem, Kadis Perkebunan, serta BPN Inhu.

Sementara dari pihak warga, ikut dilibatkan tokoh masyarakat, mantan Kades, perwakilan warga Desa Lubuk Batu Tinggal yang ikut menggelar aksi demontrasi ke BPN dan kantor Bupati Inhu kemarin.“Gabungan tim inilah ynag disebut dengan tim independen ” ujar HM Sadar.

Direncanakan, pada hari Rabu (20/4/11) tim independen akan turun ke lapangan untuk meninjau HGU lahan PTPN V di Desa Lubuk Batu Tinggal. Dilibatkannya, mantan Kades dan tokoh masyarakat desa, dengan tujuan agar diketahui dengan jelas perbatasan dengan desa tetangga.

Setelah tim turun mengumpulkan data, maka akan dilanjutkan pembahasan dengan pihak perusahaan bersama tim independen. Jika memang ada kelebihan lahan dari HGU, akan diminta untuk mengembalikan kepada warga desa. Begitupun tanah perkuburan yang disebut warga masuk juga dalam HGU PTPNV, maka akan di kembalikan kepada warga.

Dimana sebelumnya, saat berlangsung demontrasi di Pematangreba, Bupati Inhu Yopi Arianto,SE berjanji akan menindaklanjuti aspirasi warga tersebut. Bupati minta agar tim independen dibentuk secepatnya.

Bupati Inhu juga minta kepada warga untuk tetap tenang dalam menyelesaikan masalah lahan ini. Jangan sampai terpancing isu dan provokasi pihak tak bertanggung jawab. Karena, ini bisa merugikan warga sendiri. Sebab Pemda sudah menyetujui pembentukan tim independen dalam menyelesaikan masalah tersebut.***(guh)

Buka Kebun Langgar HGU, DPRD Bengkalis Diminta Panggil Perusahaan dan Koperasi

Selasa, 19 April 2011 17:17

PT MAS diyakini membuka kebun kelapa sawit tanpa mengindahkan ketentuan HGU. Untuk dewan diminta segera memanggil perusahaan tersebut, berikut koperasi yang menjadi mitra.

Riauterkini-BENGKALIS- PT Meskom Agro Sarimas (MAS) dan Koperasi Meskom Sejati dituding dalam melakukan usahanya telah merugikan masyarakat dan daerah Kabupaten Bengkalis agar memberi penjelasan kepada DPRD Kabupaten Bengkalis untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Termasuk bagi hasil yang dijanjikan kepada masyarakat, hingga hari ini tak kunjung memiliki titik terang.

“Kita kembali meminta pihak DPRD Bengkalis sesegera mungkin lakukan pemanggilan terhadap pihak perusahaan dan koperasi yang telah mengelola perkebunan kelapa sawit di lahan milik masyarakat ini. Padahal sesuai janjinya, mereka akan merealisasikan pembagian hasilnya. Namun sampai saat ini, apa yang dijanjikan tersebut, tak kunjung terealisasi. Bahkan juga persoalan hukum dalam pengelolaan perkebunan tersebut,” ujar Tokoh Muda Bengkalis Syafril Naldi kepada sejumlah wartawan di Bengkalis, Selasa (19/4/11).

Tidak hanya kepada perusahaan dan koperasi, dewan juga diminta agar memanggil pihak-pihak yang terkait, seperti Dinas Perkebunan dan Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, Bappeda. Syafril juga mengaku heran dengan sikap perusahaan, dan koperasi yang hanya terkesan menutup mata soal pembagian hasil perkebunan kelapa sawit kepada masyarakat. Selain itu, sejak perkebunan tersebut dibuka tahun 2002 lalu, tidak diketahui berapa hasil panen yang sudah dilakukan.

”Aneh, sampai saat ini mereka (perusahaan dan koperasi, red) terkesan tidak mau berterus terang soal bagi hasil. Tidak hanya itu, berapa ton dan keuntungan yang sudah didapat dari panen yang dilakukan selama ini, juga tidak ada laporan. Mereka sepertinya terkesan tidak transparan. Seandainya DPRD dan pihak terkait masih bungkam dan tidak menanggapi persoalan ini, maka kita akan duduki PT MAS,” kecam Syafril juga sebagai Sekretaris Forum Komunikasi Antar Lembaga (FOKAL) Kabupaten Bengkalis ini.

Sementara itu anggota Komisi II DPRD Bengkalis, H Heru Wahyudi saat dihubungi mengatakan, bahwa pihaknya tidak akan tinggal diam menyikapi persoalan ini, terlebih lagi pengelolaan perkebunan tersebut telah menyangkut hajat hidup orang banyak. Sedangkan untuk melakukan pemanggilan terhadap pihak perusahaan, koperasi dan pihak-pihak terkait lainnya, akan secepatnya dilakukan.

”Kita tetap mengakomodir keinginan masyarakat agar persoalan ini segera dituntaskan. Bahkan kita juga akan segera memanggil pihak-pihak terkait guna menyelesaikan persoalan ini. Namun untuk pemanggilan pihak perusahaan dan kopersi, serta pihak-pihak terkait lainnya, nanti pemanggilannya akan diagendakan oleh Badan Musyawarah (Banmus) DPRD Bengkalis,” katanya.***(dik)

Sabtu, 16 April 2011

Karyawan PT Padasa Kalda Adukan Arogansi Perusahaan

Jum’at, 15 April 2011 18:50
Datangi Disnakerduk Capil Rohul,

Sejumlah karyawan PT Padasa Kalda mendatangi Dinas Tenaga Kerja Kependudukan dan Catatan Sipil Rohul. Mereka mengadukan arogansi pihak perusahaan.

Riauterkini-PASIRPANGARAIAN– Sejumlah karyawan perkebunan kelapa sawit PT.Padasa Kalda Kabun, datangi Kantor Dinas Tenaga Kerja Kependudukan dan Catatan Sipil Rokan Hulu, Jumat (15/4/11). Pasalnya pihak perusahaan dinilai arogansi, terkait pemilihan kepala desa beberapa waktu lalu.

Ungkap seorang karyawan PT.Padasa Kalda, Sumardi, warga Desa Sungai Agung Kabun, didampingi karyawan lainnya RR Manungkalit, dan Misrun. Beberapa waktu lalu, sore usai pencoblosan, ia didatangi seorang mandor perusahaan. Mandor tersebut mengatakan kedepannya ia tidak lagi mendapatkan lembur lagi, sebab tidak mendukung calon Kades sesuai permintaan Asisten Kepala (Askep) PT.Padasa Kalda, Rudianto Harahap. Akibatnya, mereka terancam dimutasi dan dikurangi gajinya.

“Calon Kades yang didukung Askep nomor urut 1, Ahmadi. Sedangkan kami lebih mendukung calon Kades Nomor 2, Hasan Basri, sebagai Kades kami selama ini,” kata Sumardi, usai mediator di Kantor Disnakerduk dan Capil Rokan Hulu, Jumat (15/4/11).

Tiga Tenaga Keja Lepas (TKL), tugas kesehariannya hanya bertugas memupuk dengan cara borongan itu juga mengeluhkan sikap PT.Padasa Kalda. Seperti diakui Desepsi Tumanggor, Meriani Lumban Toruan, dan Renia br Manalu, bahwa mereka sudah lama berkerja di perusahaan ini, tapi belum diangkat menjadi karyawan tetap, dan berstatus TKL atau Buruh Harian Lepas (BHL).

Diakui ketiganya, gaji mereka disesuaikan dengan kerja memupuk per bloknya. Jika dihitung, penghasilan mereka sekitar Rp19.000 per hari, kerja sejak pukul 07.00-12.00 Wib. Dan Kalau pupuk banyak masuk, mereka bisa mendapatkan upah sekitar Rp30.000 per hari.

“Gaji kami diambil melalui kantor Afdeling. Kerja kami dibawah komando mandor harian perusahaan. Kami kerja tiap hari, kalau pupuk sedikit, paling hanya bergaji Rp10.000,” ujarnya.

Diakui Desepsi, ia berkerja sejak tahun 2003 lalu. Ketika ia sakit, perusahaan tidak mau tau, untungnya suaminya yang dinikahinya tahun 2004 lalu karyawan perusahaan tersebut, sehingga ia menggunakan fasilitas milik suaminya untuk berobat selama ini.

“Saya sudah kerja sejak tahun 2003 lalu, waktu masih gadis. Tapi, sampai tahun 2011 ini belum diangkat menjadi karyawan tetap perusahaan ini,” ujar Desepsi, dengan nada lemah, mengadu kepada Disnakerduk Capil.

Humas PT.Padasa Kalda Kabun, Widiyanto, yang datang penuhi undangan Disnakerduk Capil, mengaku tidak tahu perkara selama ini, sebab ia mulai bekerja di perusahaan ini tahun 2010 lalu.

“Segala sesuatunya, hasil dari mediasi ini, saya tidak bisa putuskan, tapi nanti akan saya sampaikan ke atasan,” janji Widiyanto, kepada pihak Disnakerduk Capil.

Kabid Hubungan Industri dan Pengawasan (PHI) dan Pengawasan Tenaga Kerja (PTK) Disnakerduk Capil Rokan Hulu, H Siregar SH, mengaku pihaknya sudah sebarkan himbaun kepada seluruh perusahaan, bahwa tidak diberlakukan lagi BHL atau THL di perusahaan, tapi nyatanya masih ada perusahaan yang masih menerapkan sistem perbudakan seperti ini.

Ia minta pihak manajemen PT.Padasa dan sejumlah cabang perusahaan, memberikan penghargaan kepada karyawan lama dan baru secara adil, sehingga perusahaan harus memiliki estimasi gaji, jangan disamakan gaji karyawan baru dan karyawan lama.

“Ini terjadi karena kecemburuan sosial, sesuai psikologi tenaga kerja atitude (rasa kepemilikan), gaji karyawan lama seharusnya terbilang tinggi,” katanya.

Adanya perbedaan upah antara karyawan lama dan baru, ia minta perusahaan perlu menganalisa ulang permasalahan ini. Sistem pengupahan di perusahaan ini juga dinilai keliru.

“Perusahaan juga harus sempurnakan hak karyawan dengan mengubah sistem tenaga kerja di perusahaan. Pengusaha harus sesuai pasal 52 UU 13 tahun 2003, jika pengusaha akan lakukan mutasi harus membicarakan dgn pengurus tenaga kerja setempat,” himbaunya.

Selain itu, Siregar mengaku tidak ada istilah KHL atau BHL, sebab itu sistem perbudakan, KHL-BHL diatur dalam Kepres no 100 tahun 2004, karyawan harus diubah menjadi karyawan permanen.

Perusahaan juga diminta mengangkat BHL menjadi karyawan, dengan gaji yang disesuaikan Mentri Tenaga Kerja, yaitu sebesar Rp49.000 per hari, dan memberikan fasilitas kesehatan, termasuk Jamsostek.

“Kita sudah sampaikan itu, mutasi tidak memenuhi unsur, dan kami minta kepada perusahaan agar karyawan yang datang ini diposisikan pada posisinya semula. Kami menunggu seminggu, jika masih berlanjut tentu akan ada tindakan tegas,” ancamnya.***(zal)

Kamis, 14 April 2011

Langgar HGU, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Izin PT MAS

Kamis, 14 April 2011 16:25

PT MAS dinilai telah melanggar izin HGU perkebunan. Untuk itu sejumlah kalangan meminta pemerintah meninjau ulang izin perusahaan tersebut.

Riauterkini-BENGKALIS- Perkebunan kelapa sawit di delapan desa yang saat ini telah dikelola oleh PT Meskom Agro Sarimas (MAS) bekerjasama dengan pihak Koperasi Meskom Sejati sejak beberapa tahun lalu, hingga kini terus menjadi sorotan sejumlah kalangan di Bengkalis. Bahkan, instansi terkait didesak agar meninjau ulang keberadaan izin pengelolaan perkebunan tersebut kepada perusahaan PT. MAS di Pulau Bengkalis tersebut.

Terutama mengenai status bagi hasilnya ke masyarakat, hingga hari ini juga tak kunjung jelas. Belum lagi soal pihak perusahaan yang dituding telah melakukan penyimpangan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit, karena pengelolaannya tidak sesuai peraturan yang berlaku.

"Sesuai data yang kita dapat, bahwa Hak Guna Usaha (HGU) atas lahan perkebunan kelapa sawit yang dikeluarkan tahun 2004 lalu, HGU-nya seluas lebih kurang 3.700 hektar. Sementara saat ini lahan perkebunan yang sudah dikelola melebihi HGU dan mencapai 8.000 hektar lebih," ujar Sekretaris Forum Kumunikasi Antar Lembaga (FOKAL) Kabupaten Bengkalis, Syafril Naldi kepada sejumlah wartawan di Bengkalis, Kamis (14/4/11).

Seperti ditegaskan Syafril, karena dinilai pihak perusahaan didalam mengelola perkebunan kelapa sawit dilakukan tidak sesuai aturan, maka pihaknya mendesak agar izin pengelolaan perkebunan kelapa sawit tersebut ditinjau ulang, yakni menyangkut HGU PT MAS sesuai Peraturan Pemerintah No 26 Tahun 2008 mengenai rencana tata ruang kabupaten. Karena berdasarkan hasil investigasi yang dilakukan pihaknya, PT MAS telah mengelola lahan perkebunan kelapa sawit, diluar batas kewenangannya.

"Intinya kita minta agar HGU PT MAS ini ditinjau ulang, terlebih lagi lahan yang dikelola pihak perusahaan saat ini melebihi kawasan HGU. Padahal desa yang menjadi HGU perusahaan, hanya terdiri dari Desa Meskom, Sebauk, Teluklatak dan Pangkalan Batang, dan bukan termasuk empat desa lainnya. Jika benar HGU-nya hanya seluas 3.700 hektar, maka sisa lahan yang dikelola perusahaan itu harus dikembalikan kepada masyarakat, dan ini diatur sesuai amanat PP No 11 Tahun 2010," ungkap Syafril.

Ditambahkan Syafril, berdasarkan hasil audit BPK pada semester pertama tahun 2009 lalu, PT MAS juga dinilai telah melanggar aturan dan ketentuan mengenai Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Bengkalis, sehingga dalam hal ini negara dirugikan sebesar Rp 32 miliar.

"Secara resminya nanti, akan kita sampaikan dengan Komisi II DPRD Bengkalis berbagai persoalan mengenai pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang hingga kini terus bermasalah dan merugikan masyarakat," tutupnya.***(dik)

Jumat, 08 April 2011

Refleksi Satu Abad Kelapa Sawit

Penulis: Posman Sibuea

Perayaan yang memasang tema ”Sawit Sahabat Rakyat” itu mengingatkan kita bahwa pada usianya yang ke-100 perkebunan kelapa sawit telah membuat Indonesia menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia.

Dalam sejarah perkembangannya, penanaman kelapa sawit di Indonesia tidak berjalan mulus. Bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang mengembangkan tanaman kedelai sebagai sumber minyak nabati, kelapa sawit dianggap saingan berat.

Asosiasi Minyak Kedelai Amerika Serikat (ASA) membuat kampanye negatif dengan menuduh minyak sawit sebagai pemicu penyakit jantung. Minyak nabati yang kaya asam lemak jenuh ini digambarkan sebagai bom waktu yang bisa mencederai kesehatan orang yang mengonsumsinya.

Belakangan terbukti secara ilmiah bahwa banyaknya kandungan asam lemak jenuh pada minyak sawit justru membuat minyak ini lebih tahan terhadap kerusakan oksidatif dibandingkan dengan minyak sayur seperti minyak kedelai dan jagung.

Yang jadi masalah setelah 100 tahun sawit di Indonesia, peran pemerintah membantu pengembangan perkelapasawitan nasional nyaris tak ada.

Pemerintah hanya mau mendulang madu sumber daya kelapa sawit dengan memungut bea keluar dari minyak sawit mentah (MSM). Padahal, seharusnya sebagian dari bea ekspor itu dikembalikan untuk membantu para petani menanam ulang dan membangun agroindusti kelapa sawit yang berdaya saing tinggi.

Pembangunan pesat

Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, warga Belgia, pada 1911. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K Schadt, yang menandai kelahiran perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sejak saat itu, perkebunan kelapa sawit mulai berkembang seiring dengan peningkatan permintaan minyak nabati akibat revolusi industri pada pertengahan abad ke-19. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Saat itu luasnya hanya 5.123 hektar.

Indonesia untuk kali pertama mengekspor 576 ton minyak sawit pada 1919 dan mengekspor 850 ton minyak inti sawit pada 1923.

Pada masa pendudukan Belanda perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami penyusutan lahan hingga 16 persen dari total luas lahan yang ada. Akibatnya, produksi minyak sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948-1949. Padahal, tahun 1940 Indonesia telah mengekspor 250.000 ton minyak sawit.

Pada masa pemerintahan Orde Baru pembangunan perkebunan diarahkan untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan petani, dan penghela devisa negara. Pembukaan lahan baru terus didorong dan perkembangannya amat pesat, terutama perkebunan rakyat lewat program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun).

Jika pada 1980 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru mencapai 29.560 hektar—area terbatas hanya di Sumatera Utara dan Aceh—dengan tingkat produksi 721.172 ton MSM, tahun 1994 luas perkebunan sawit meningkat menjadi 1.804.150 hektar dengan produksi 4.804.600 ton MSM.

Sembilan tahun kemudian, yakni 2003, perkembangannya amat spektakuler karena sudah mencapai sekitar 3,5 juta hektar. Data tahun 2010 menunjukkan, luas perkebunan meningkat lagi mendekati 8,0 juta hektar, terdiri dari 3,1 juta hektar milik swasta, 1,2 juta hektar milik PTPN, dan 3,7 juta hektar milik rakyat. Dengan area seluas itu, Indonesia mampu memproduksi 22 juta ton MSM setiap tahun.

Tantangan

Pesatnya perkembangan industri perkelapasawitan nasional telah mengantarkan Indonesia menjadi pengekspor MSM terbesar di dunia. Komersialisasi kelapa sawit berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang masif karena dipicu tingginya permintaan pasar global MSM, baik untuk keperluan produk pangan, aneka produk kosmetik, biodiesel, dan oleokimia.

Meski demikian, perlu diingat bahwa ekspansi telah mengakibatkan kerusakan hutan dan hilangnya hak hidup masyarakat sekitar hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan, dan berkurangnya air bersih.

Selain itu, yang paling mengenaskan adalah nasib para pekerjanya. Di sejumlah perkebunan kelapa sawit, praktik kuli kontrak kembali muncul dalam bentuk baru, yaitu buruh harian lepas.

Ada juga buruh berondolan—mengumpulkan buah sawit yang lepas dari tandannya—yang bekerja setiap hari tanpa ikatan kerja sehingga tidak mendapat jaminan sosial. Padahal, kontribusi mereka sangat besar mengefisienkan hasil panen. Dengan demikian, argumentasi ekspansi sawit untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan patut dipertanyakan. Inilah tantangan utama perkebunan kelapa sawit saat ini.

Hal sebaliknya dialami oleh pemilik modal. Bisnis komoditas kelapa sawit mampu mengatrol kekayaan sejumlah orang terkaya di Indonesia. Majalah Forbes edisi akhir tahun 2010 menyebutkan, total harta dari 40 orang terkaya di Indonesia meningkat dari 42 miliar dollar AS (tahun 2009) menjadi 71 miliar dollar AS (2010). Sebagian besar di antaranya adalah pemilik perkebunan sawit. Namun, kelimpahan bisnis kelapa sawit ternyata tidak serta-merta mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia.

Meski angka kemiskinan menurun 0,82 persen pada 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar: 31,02 juta orang atau 13,33 persen (BPS, 2010). Maka, menurunkan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015 sesuai dengan Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia sulit terealisasi.

Peringatan 100 tahun sawit patut menjadi refleksi untuk membuka mata hati kita bahwa kelapa sawit belum menjadi sahabat rakyat. Maka, ke depan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak boleh sekadar pengembangan agroindustri yang berdaya saing tinggi dari hulu hingga hilir, tetapi juga mengatur ketenagakerjaannya sehingga lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat miskin.

Posman Sibuea Guru Besar pada Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Unika St Thomas Medan; Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Kamis, 07 April 2011

Pabrik Biodiesel di Rohul Terancam Terbengkalai

Kamis, 7 April 2011 17:03
Investor Diduga Terlibat Malinda Dee,

Sebuah perusahaan menanamkan modalnya untuk membangun pabrik biodiesel di Rohul, namun diduga perusahaan tersebut terkait pembobolan Citibank yang dilakukan Malinda Dee.

Riauterkini-PASIRPANGARAIAN- Diduga adanya keterlibatan PT Sarwahita Group Management (SGM) Jakarta, terkait kasus pembobolan Citibank oleh Malinda alias Inong Malinda Dee (MD) sebagai komisaris di perusahaan ini. Maka, rencana pembangunan biodiesel dengan bahan bakar biofuel berkuatan 5 megawatt (MW), di Desa Talikumain, Kecamatan Tambusai, Rokan Hulu, terancam batal.

Sebelumnya, pembangkit biodiesel di Desa Talikumain terlantar sejak dibangun, karena terjadi kendala mahalnya bahan bakar saat itu. Sehingga PT.SGM berinisiatif menanamkan sahamnya sebesar Rp200 miliar untuk memfungsikan pabrik bio diesel ini.

Penandatangan kesepakatan kerjasama (MoU) juga sudah dilakukan, pihak Konsorsium pelaksana President Commissioner PT Sarwahita Marsda Rio Mendung Thalieb, President Director PT Tasik Kemilau H.R Maizir Mit, dengan Pemkab Rokan Hulu, diwakili Sekda Pemkab Rokan Hulu Mewahiddin, Sabtu (29/1/11) lalu, di lantai III Kantor Bupati Rokan Hulu.

Rencananya, pembangkit ini akan dioperasikan tahun 2011 ini menggunakan bahan bakar biofuel, namun karena adanya dugaan terlibatan Malinda Dee (MD) sebagai salah satu pendiri PT.SGM sejak 2008 lalu, memangku jabatan sebagai komisaris, sekaligus memiliki saham sebesar 20 persen, terkait pembobolan Citibank, maka rencana operasional Pabrik biodiesel terancam batal.

Pihak PT.SGM sendiri, melalui Direkturnya, Andrea Peresthu, kepada wartawan di Jakarta membatantah jika perusahaannya terlibat. Sebab perusahaan sudah ambil tindakan kepada MD, jauh hari sebelum masalah ini terungkap.

Dilain tempat, Direktur Utama Perusahaan Daerah Rokan Hulu Jaya, Nasrul Hadi, yang dikonfirmasi Riauterkini via telepon selulernya mengaku baru mengetahui ada dugaan keterlibatan PT.SGM dengan pembobolan Citibank.

Diakui Nasrul, rencana pengopresian pambangkit biodiesel Talikumain tidak terkait masalah ini, namun karena belum ada izin penanaman modal asing (PMA), sehingga ditunda untuk sementara waktu. Sebab pihak investor yang notabenenya dari luar negeri, tidak mau ambil resiko jika belum ada izin PMA.

“Kita terima kerjasama itu, namun baru sebatas penandatanganan MoU, dan belum ada kerjasama lebih jauh (investasi.red). Saya sendiri baru tahu dari wartawan jika PT SGM dikaitkan dengan pembobolan Citibank,” kata Nasrul, kepada Riauterkini, Kamis (7/4/11).

Jelas dia, kerjasama tersebut adalah pihak perusahaan memasok CPO. Dan jika CPO masuk, perusahaan itu akan membelinya. Namun itu jika sudah berjalan, dan tidak ada menyangkut lainnya. Drencanakan, PT.SGM yang bergerak di bidang property, dan pembangkit ini, akan berinvestasi di negeri seribu suluk sebesar Rp200 miliar.

“Hanya sebatas MoU, belum ada kontrak kerjasama jangka panjang. Mereka mendatangi Rokan Hulu karena menilai luas areal perkebunan kelapa sawit kita terluas terluas di Provinsi Riau,” jelasnya.***(zal)

Rabu, 06 April 2011

Difasilitasi Polres Inhil, PT MGI Akhirnya Bersedia Ganti Rugi Lahan Warga

Rabu, 6 April 2011 13:21
Pertemuan antara masyarakat pemilik lahan dengan PT MGI difasilitasi Polres Inhil membuahkan hasil cukup maksimal. Perusahaan bersedia memberikan ganti rugi.

Riauterkini-TEMBILAHAN-Setelah menempuh jalan panjang, akhirnya pihak PT Multi Gambut Industri (PT MGI) bersedia memberikan ganti rugi atas lahan seluas 1500 hektar milik Kelompok Tani Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran.

Kesepahaman ini tercapai dalam pertemuan mediasi yang diadakan di Mapolres Inhil, Selasa (5/4/11), dalam kesempatan ini dihadiri Waka Polres Inhil, Kompol Imran Amrin, kuasa hukum Kelompok Tani, Munir Kairoti SH, Advisor, Sudin Lamau, Jubir, Frans Aba dan Ketua Kelompok Tani, Tesar serta Andi Aziz, perwakilan petani.

Sedangkan dari pihak PT MGI dihadiri Bagian Legal, Irwansyah, Bagian Operasional, Mulkan Nasution dan Bagian Humas, Suryanto.

"Dalam pertemuan tersebut pihak perusahaan bersedia memenuhi kewajibannya terhadap ganti kerugian lahan petani," ungkap Munir Kairoti, kuasa hukum Kelompok Tani Desa Tanjung Simpang kepada riauterkini.com, Rabu (6/4/11) di Tembilahan.

Sebelum dilaksanakan proses ganti rugi tersebut, ujar Munir terlebih dahulu akan dilakukan pengukuran di lapangan pada tanggal 12 April mendatang. Pengukuran ini untuk mengetahui dimana lahan yang menjadi milik petani seluas 1500 hektar dan lahan yang diklaim perusahaan milik mereka.

"Kita akan lakukan pengukuran di lapangan pada tanggal 12 April mendatang," imbuh advokat asal Ambon, Maluku ini.

Sedangkan ketika ditanya besaran ganti rugi perhektarnya lahan warga tersebut, menurut Munir hal ini akan dibicarakan kembali setelah selesai dilakukan proses pengukuran nantinya.***(mar)

Selasa, 05 April 2011

Serobot Lahan, PT MGI Segera Disomasi Warga Inhil

Selasa, 5 April 2011 16:08

Kasus penyerobotan lahan warga Tanjung Simpang, Inhil oleh PT MGI terus berlanjut. Dalam waktu dekat warga kembali melayangkan somasi.

Riauterkini-TEMBILAHAN-Lagi, pihak PT Multi Gambut Industri (PT MGI) diduga telah melakukan penyerobotan sekitar 150 hektar lahan milik petani Simpang Kiri, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran. Kuasa hukum petani akan melayangkan surat somasi kepada perusahaan sawit asal Malaysia tersebut.

Sebanyak 15 petani yang lahannya telah dikelola sejak sekitar tahun 80 an tersebut saat ini telah memberikan kuasa kepada Kantor Advokat dan Fonners Moh Arsyad SH, MH dengan surat kuasa No. 29/KK-ADV/III/2011/MdF untuk mendampingi mereka merebut kembali hak mereka.

Apalagi, berdasarkan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 203 K/TUN/2003 tertanggal 10 Februari 2004 secara hukum mengakui kepemilikan lahan milik petani tersebut, yakni dengan mengabulkan Kasasi Kepala Desa Tanjung Simpang dan intinya mengakui atas keabsahan SKT milik petani tersebut.

Para petani menuntut pengembalian lahan dan meminta pihak PT MGI mengosongkan lahan milik mereka dengan luas sekitar 150 hektar di Simpang Kiri, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran.

Adapun mereka yang mengakui pemilik sah lahan tersebut, yakni H Said Adnan Alie (45), Kaddas (56), Saleh (25), Fardi (30), Sudarsono (40), Jono (40), Maspar (58), Bonang (50), Razali (38), Johan (45), Jani (45), Muhammad Ali (45), M.Z Bedel P (45), Juni (65), Jintan (68).

"Kita akan lakukan somasi kepada PT MGI untuk mengosongkan lahan yang mereka kuasai tersebut. Kalau tidak ditanggapi, maka kita akan menempuh upaya hukum selanjutnya atas penyerobotan lahan klien kita di Simpang Kiri, Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran," ungkap kuasa hukum petani pemilik lahan, Moh Arsyad, SH, MH kepada riauterkini.com, Selasa (5/4/11) di Tembilahan.

Lanjut Arsyad, secara hukum putusan Mahkamah Agung RI tersebut telah incracht (memiliki kekuatan hukum tetap). Selain itu secara hukum kalau mengacu kepada putusan Mahkamah Agung RI Nomor 203 K/TUN/2004 tertanggal 10 Februari 2004, maka Hak Guna Usaha (HGU) yang dimiliki PT MGI tersebut tidak sah.

Sehingga patut dipertanyakan, kenapa dapat dikeluarkan HGU di lahan yang secara yuridis memiliki keterangan kepemilikan yang sah.

"Nantinya surat somasi tersebut juga akan kita sampaikan kepada pihak pemerintah kabupaten Inhil, DPRD Inhil dan instansi terkait lainnya," tegas pria yang juga berprofesi sebagai dosen UNISI Tembilahan ini.

Untuk diketahui, PT MGI sampai saat ini juga belum mengembalikan seluas 1500 hektar lahan milik Kelompok Tani Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran yang diserobot mereka. Padahal, putusan Mahkamah Agung RI Nomor 204 K/TUN/2003 juga mengakui keabsahan lahan milik petani tersebut. ***(mar)

Senin, 04 April 2011

Warga 8 Desa di Bengkalis Tuntut Bagi Hasil Kebun PT MAS

Senin, 4 April 2011 16:28

Pola kemitraan yang dijalin warga 8 desa di Bengkalis dengan PT MAS membuat masyarakat kecewa. Sampai saat ini realisasi bagi hasil tak jelas kapan dimulai.

Riauterkini-BENGKALIS- Pengelolaan perkebunan kelapa sawit yang dilakukan dengan program kemitraan antara PT Meskom Agro Sarimas (MAS) seluas 3.890 hektar sejak tahun 2002 hingga 2011, dengan masyarakat petani melalui Koperasi Meskom Sejati, hingga saat ini tak kunjung dirasakan oleh masyarakat 8 desa di Pulau Bengkalis. Pihak koperasi selaku perpanjangan tangan masyarakat petani mendesak agar merealisasikan bagi hasil kepada petani sesuai dengan kesepakatan revitalisasi perkebunan sawit di areal lahan di delapan desa tersebut. Belum adanya kepastian dan titik terang bagi hasil pengelolaan lahan perkebunan kelapa sawit di delapan desa di Kecamatan Bengkalis dan Bantan (Desa Meskom, Teluk Latal, Sebauk, Pangkalan Batang, Pedekik, Wonosari, Jangkang dan Bantan Tua) dengan perusahaan PT MAS atau Koperasi tersebut. Sejumlah kalangan menilai akan memicu bumerang dan menimbulkan persoalan. Sehingga Koperasi Meskom Sejati harus mencari solusi agar permasalahan ini segera diselesaikan.

”Pembagian hasil perkebunan kelapa sawit ini adalah hak masyarakat petani. Jadi, jangan berlarut-larut, segeralah berikan apa-apa yang menjadi hak masyarakat petani. Kalau alasan pihak koperasi yang menyebutkan pembagian hasil belum dapat dilakukan karena adanya status kepemilikan lahan di sejumlah desa yang belum selesai, semestinya mereka mengupayakan agar hal ini segera selesai.,” ujar salah seorang pengamat sosial, T. Zuhri, kepada wartawan belum lama ini di Bengkalis.

Menurut Zuhri, sangat tidak logis dengan nasib petani di delapan desa yang sampai hari ini belum jelas soal pembagian hasil sawit tersebut. Beralasan terkendala karena masih adanya persoalan yang belum selesai di tingkat desa. Padahal sepengetahuan pendataan yang dilakukan terkait pengelolaan perkebunan kelapa sawit ini, seperti siapa pemilik lahan, masyarakat dan kelompok taninya, serta luas lahan yang akan dikelola, sudah dilakukan sejak lama dan beberapa tahun yang lalu.

”Ada apa sebenarnya ini. Apa kendalanya jika sejak tahun 2002 hingga 2011 ini, terkait persoalan administrasi saja tidak bisa diselesaikan,” tanyanya.

Terpisah, Ketua Koperasi Meskom Sejati, Suhaimi menjelaskan pembagian hasil sawit memang belum dapat dilakukan. Dengan alasan adanya persoalan yang belum diselesaikan di tingkat desa, terutama menyangkut kepemilikan lahan sawit. Sementara itu, terhadap desa yang sudah selesai status kepemilikan lahannya, menurut Suhaimi, pembagian hasil memang akan dilakukan. Namun saat ini pihaknya baru bisa memberikan pinjaman sebesar Rp300 ribu pertriwulan (Rp100 ribu/bulan), dan itu sudah berjalan sejak tahun 2010 lalu. Dan untuk pembagian langsung belum bisa dilakukan, karena hasil panen yang diterima belum maksimal dan hanya mampu menutupi biaya pengeluaran.

“Untuk saat ini kita baru bisa memberikan pinjaman kepada anggota petani yang sudah memiliki KTA sekitar 1.700 orang Rp 100 ribu perbulannya. Keseluruhan hasil yang dipinjamkan ini, nantinya jika hasil yang diperoleh lebih besar, maka sisa hasil itu akan dikembalikan lagi ke anggota (petani),” jelas Suhaimi.***(dik)