Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Selasa, 29 Maret 2011

Ekspansi Lahan Sawit Tak Mungkin Serap 10 Juta Tenaga Kerja

Medan - Perluasan kebun kelapa sawit diyakini tidak akan mampu menyerap 10
juta tenaga kerja sebagaimana diharapkan pemerintah. Ekspansi lahan sawit
dinilai hanya akan menjadi ancaman yang serius bagi persoalan pangan dan
tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan.

Pernyataan itu dikemukakan dalam Deklarasi Nasional Satu Abad Kejahatan
Korporasi Sawit di Indonesia yang merupakan rumusan dari Konferensi
Alternatif Satu Abad Perkebunan Kelapa Sawit. Konferensi yang dihadiri 35
LSM dari seluruh Indonesia itu, berlangsung di Hotel Tiara, Jl. Cut Meutia,
Medan, Senin (28/3/2011).

Dalam pernyataan itu disebutkan, argumentasi bahwa lahan sawit akan menyerap
tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan merupakan suatu
kebohongan. Asumsi hitungan pemerintah dan koorporasi yang menyebutkan bahwa
20 juta hektar lahan perkebunan akan menyerap sekitar 10 juta buruh, sangat
jauh dari kenyataan.

"Fakta yang ditemukan di lapangan, dalam 100 hektar lahan sawit, hanya
menyerap sekitar 22 tenaga kerja sehingga dengan demikian 20 juta hektar
lahan sawit hanya menyerap 4,4 juta buruh," bunyi pernyataan yang dibacakan
secara bergantian oleh perwakilan organisasi yang antara lain berasal dari
Bitra Indonesia, Kontras Sumut, PBHI Sumut, Setara Jambi, JKMA Aceh,
Jikalahari Riau, Fokker LSM Papua, Green Peace, Sawit Watch dan Serikat
Petani Indonesia.

Mereka menyatakan, komersialisasi sawit di Indonesia yang dimulai sejak
1911, kini sudah bergerak ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi
yang masif, terutama 10 tahun terakhir. Ekspansi itu dipicu tingginya
permintaan pasar global terhadap Crude Palm Oil (CPO), baik untuk
kepentingan produk bahan makanan, aneka produk kosmetik maupun energi.

Saat ini luas perkebunan sawit mencapai 7,9 juta hektar, dengan komposisi
pemilikan 65 persen dikuasai korporasi dan 35 persen nonkorporasi. Kekuatan
korporasi dalam kerangka ekspansi ini, memperoleh dukungan dari 10 bank
besar di dunia, antara lain World Bank dan Asia Development Bank (ADB) yang
mengakibatkan hilangnya hak hidup masyarakat dan terjadinya kerusakan hutan,
hancurnya ekosistem, krisis pangan dan air bersih, serta hancurnya budaya
kolektif masyarakat adat.

"Investasi korporasi hanya membawa derita bagi rakyat Indonesia, kerakusan
industri ekstraktif, telah mematikan Daerah Aliran Sungai (DAS) dan merusak
hutan primer. Lebih dari 5.000 DAS yang ada di Kawasan Taman Nasional mati
akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit," kata mereka.

Pada bagian akhir deklarasi itu, disampaikan beberapa desakan yakni,
hentikan ekspansi perkebunan sawit, cabut UU No 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan, kembalikan tanah rakyat yang dirampas perkebunan koorporasi
perkebunan sawit, pemerintah harus menyediakan lahan untuk pertanian pangan,
mendesak kepada bank internasional, bank nasional, bank asing untuk
menghentikan kredit kepada koorporasi dalam rangka ekspansi sawit. Selain
itu juga mendesak agar dihentikan segera sistem perbudakan modren yaitu
buruh murah dalam bentuk buruh kontak, butuh harian lepas di industri
perkebunan kelapa sawit.

Usai membacakan deklarasi itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Abetnego
Tarigan kepada wartawan menyatakan, pentingnya pencabutan UU No 18 Tahun
2004 tentang Perkebunan, karena UU ini menjadi alat untuk memenjarakan
rakyat. Sudah 202 orang rakyat terutama petani yang ditangkap polisi dengan
alasan UU tersebut.

Bupati Kampar Dukung Peremajaan 8.000 Hektar Sawit di Tapung

Senin, 28 Maret 2011 20:04
Hadiri RAT KUD Sawit Jaya,

Bupati Kampar Burhanuddin Husin menghadiri RAT KUD Sawit Jaya. Dalam kesempatan tersebut, bupati menegaskan dukungnya pada program peremajaan 8.000 hektar kebun sawit di Tapung.

Riauterkini-BANGKINANG- Bupati Kampar Burhanuddin Husin mendukung rencana pengurus KUD Sawit Jaya Kecamatan Tapung yang akan mengadakan replanting untuk kebun sawit seluas 8.000 hektar. Dukungan itu dinilai karena bagaimanapun sawit yang sudah tidak produktif lagi harus diremajakan.

’’ Saya mendukung replanting untuk kebun seluas 8.000 hektar namun replanting agar dikaji dengan konsep yang matang terutama mata pencarian petani selama replanting dilakukan,’’ demikian disampaikan Bupati Kampa Burhanuddin Husin MM, saat memberikan sambutan sekaligus membuka Rapat Anggota Tahunan (RAT) KUD Sawit Jaya untuk tahun buku 2010 di Desa Sukamulya Kecamatan Tapung, Senin (28/3/11).

Dikatakan Bupati bahwa PT Peputra Masterindo yang menjadi mitra KUD Sawit Jaya untuk dapat mengkaji konsep daerah lain yang mampu membuat pola penggabungan kebun sawit dengan ternak sapi. ’’ Konsep penggabungan itu jelas mampu memberikan manfaat ganda untuk petani terlebih lagi selama dilakukan peremajaan,’’ terangnya.

Menyinggung fungsi Koperasi Bupati menyatakan mempunyai peranan yang sangat penting dalam berbagai sektor kehidupan seperti dalam hal swasembada pangan, pertumbuhan ekonomi melalui sektor perkebunan, peningkatan perekonomian pedesaan, memberantas kemiskinan serta berhasil menyediakan sarana dan prasarana ekonomi dan lainnya.

” Peran Koperasi jelas sangat penting dalam sistem perekonomian di Indonesia. Namun sampai saat ini belum mampu berkontribusi secara maksimal termasuk di Kabupaten Kampar. Hal ini lebih disebabkan oleh kepercayaan masyarakat yang masih kurang dan sepertinya enggan bergabung dengan koperasi yang kadangkala dinilai lambat oleh masyarakat jika dibandingkan dengan badan usaha lain. Padahal koperasi jika terus diberdayakan jelas mempunyai keuntungan yang lebih kuat jika dibandingkan dengan usaha lain,”sebutnya.

Namun sejauh ini tak jarang kritikan datang menyinggung peranan koperasi yang dinilai masih lamban bila dibandingkan dengan badan-badan usaha lain seperti swasta. ’’ Hal ini tentunya menjadi pemikiran kita bersama bagaimana persoalan-persoalan koperasi khsususnya di Kabupaten Kampar dapat diselesaikan,’’ungkap Bupati

Ketua koperasi KUD Sawit Jaya H. Rakiman dalam sambutannya menyebutkan bahwa pada 2010 lalu perjalanan usaha KUD Sawit Jaya bersama Unit Usaha Otonom (UUO) mengalami peningkatan. Selain usaha perkebunan kelapa sawit program KKPA, mereka juga berhasil juga mengembangkan usaha lain seperti unit simpan pinjam (USP), transportasi dan unit Warung Serba Ada (Waserda) serta berbagai usaha lainnya.

” Hal ini kami lakukan sebagai bentuk memaksimalkan potensi yang kami miliki guna memberikan manfaat kepada anggota dan masyarakat bahwa koperasi mampu menjadi penopang perekonomian didesa dan wilayah kami,” sebutnya.

Tahun 2008 lalu unit USP Swamitra yang merupakan hasil kemitraan dengan Bank Bukopin Cabang Pekanbaru berhasil membukukan laba bersih untuk KUD Sawit Jaya sebesar Rp. 200 juta. Mengenai masalah Sisa Hasil Usaha (SHU) secara keseluruhan tahun 2010 KUD Sawit Jaya berhasil menangguk keuntungan sebesar RP. 402.400.295 Diakui oleh Rakiman terjadi penurunan yang cukup signifikan dimana pada 2009 lalu berhasil dikumpulkan SHU sebesar Rp. 904 juta lebih.

Terjadinya penurunan ini oleh Rakiman lebih disebabkan oleh beberapa pembiayaan yang diperuntukkan untuk pengurus UUO dan anggotanya seperti pemberian tunjangan hari raya, insentif pengurus, insentif produksi anggota, jasa simpanan anggota dan pemberian uang purna bhakti untuk pengurus yang berakhir masa jabatannya Koperasi yang berdiri sejak 1995 ini mempunyai 12 Unit Usaha Otonom dan 1 sub unit, 210 kelompok tani dan 7.101 anggota yang tersebar di 5 kecamatan dan 11 desa. Pada saat itu juga ditandatanmgani MoU antara KUD Sawit Jaya dengan Bank BPR Sarimadu Kabupaten Kampar.***(man)

Sistem Indek K Rugikan Petani Sawit Rp11 Triliun per Tahun

PEKANBARU--MICOM:Skema penentuan harga Tandan Buah Sawit (TBS) segar dengan sistem Indek K telah merugikan petani sawit nasional hingga Rp11 triliun per tahun.

Triliunan pendapatan yang harusnya menjadi hak petani sawit "dicuri" perusahaan melalui sistem Indek K yang membebankan biaya operasional kepada petani sawit.

"Indek K bukti bahwa struktur perkebunan kita masih ditopang oleh kolonialisme. Sistem Indek K melanggengkan konglomerasi yang mencuri hak petani sawit hingga Rp11 triliun per tahun," kata Koordinator Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Mansuetus Darto kepadaMedia Indonesia di Pekanbaru, Senin (28/3).

Menurut Darto, tidak ada capaian berarti dari 100 tahun perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan tahun 1911 di zaman colonial Belanda.

"Dulu dikuasai Belanda, sekarang berpindah ke tangan konglomerat. Transisi demokrasi di Indonesia belum mampu mentransformasikan struktur perkebunan kelapa sawit yang ditopang kolonialisme," tandasnya.

Ia menjelaskan, pola desentralisasi perkebunan ternyata tidak berdampak positif bagi 25 juta petani sawit di Indonesia. Seperti kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap dimana petani dilarang mengelola kebun model PIR (Perusahaan Inti Rakyat). Termasuk kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20% untuk rakyat dan 80% untuk perusahaan.

"Ditambah lagi diskriminasi sistem tuan tanah, di mana satu petani sawit hanya berhak mengelola 2 hektare sedangkan 1 perusahaan difasilitasi untuk mengelola hingga 1.000 hektare," tandasnya.

Padahal, lanjut Darto, perkebunan kelapa sawit Indonesia selama 100 tahun sudah mencapai tahap yang mapan. Sekitar 21 juta ton CPO terus di ekspor ke pasar international seperti Belanda, Jerman, China, India, dan Pakistan. Akan tetapi, Indonesia dijebak dengan skenario pasar agar tak boleh berkembang dan menjadi negara bahan baku tanpa skill untuk melaksanakan pengelolaan produk turunan hilir kelapa sawit.

"Hal itu menunjukkan bahwa karakter kepemimpinan kita lemah. Baik itu dari presiden, gubernur, dan bupati tidak lebih berkarakter seperti penjajah colonial Van Den Bosh atau Rafles," tukasnya.

Darto menambahkan, skema Indek K yang merugikan petani sawit sengaja dibiarkan berlangsung oleh pemerintah karena tekanan dari konglomerat perusahaan. Bahkan untuk menekan para petani sawit, pemerintah membangun organisasi boneka APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia).

"APKASINDO dibentuk oleh pemerintah. Karena itu organisasi ini tidak bisa berjuang bagi para petani. Harga TBS sawit selalu dibuat lemah tidak lebih dari Rp2.100 untuk Sumatra, dan Rp2 ribu untuk Kalimantan," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau Hariansyah Usman menegaskan Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit. Dengan luas lahan sekitar 2,8 juta hektar, faktanya 35% saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan. Tanah gambut yang ada di Riau, menjadi komoditi bahan baku CPO kelapa sawit dari Riau sangat berkualitas di pasar International.

"Karena itu dalam momentum satu abad kelapa sawit di Indonesia, pemerintah Riau harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar di Indonesia," ungkap Hariansyah. (RK/OL

Senin, 28 Maret 2011

Petani Kelapa Sawit Termarginalkan

Pekanbaru - Pada Maret 2011, sudah 100 tahun perkebunan kelapa sawit hadir di Indonesia. Sekelompok masyarakat sipil yang selama ini konsen dengan isu-isu atas dampak perkebunan menyelenggarakan konferensi pers bersama. Organisasi itu antara lain, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Riau dan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Hadir di antaranya adalah direktur eksekutif Walhi Riau Hariansyah Usman, Ketua Forum Nasional SPKS, Mansuetus Darto dan Yuslim sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi yang juga sebagai petani sawit.
Direktur Walhi Riau, Hariansyah Usman menegaskan bahwa provinsi Riau merupakan provinsi nomor satu di Indonesia penghasil kelapa sawit. Dengan luas lahan lebih kurang 2, 8 juta ha yang ada di Riau, Faktanya 35% saat ini masih berkonflik dengan masyarakat tempatan. Ekspansi kebun sawit dihutan gambut jelas sangat berkontribusi besar terhadap tingginya angka deforestasi serta peningkatan emisi karbon provinsi Riau.

Pada setiap kejadian bencana asap selalu saja ditemukan titik api didalam areal konsesi perusahaan kebun. Untuk itu penting momentum satu abad ini pemerintah Riau melakukan evaluasi secara menyeluruh terkait ambisi menjadi produsen sawit terbesar .

Dalam sejarahnya, Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada saat yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industri pertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura" (Wikipedia, 2008).

Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaya pada 1911-1912.
Mansuetus darto, kordinator forum Nasional SPKS mengatakan, tidak ada capaian berarti dari 100 tahun kelapa sawit. Hal ini dapat kita lihat, begitu lamanya perusahaan perkebunan milik konglomerat menguasai tanah dan menghasilkan bahan baku yang tidak ada bedanya dengan 100 tahun lalu. Dulu dikuasai Belanda sekarang berpindah ke tangan konglomerat,’ transisi demokrasi di Indonesi belum mampu mentranformasikan struktur perkebunan karena masih di topang oleh kolonialisme, tandasnya.

Lanjut dia, di saat tepat 100 abad perkebunan justru kebijakan soal masa depan petani kelapa sawit makin mundur. Dia mencontohkan kebijakan revitalisasi perkebunan yang menerapkan pola satu atap di mana petani di larang mengelola kebun seperti model PIR (Perusahaan Inti Rakyat) dan kebijakan izin usaha perkebunan yang mengatur 20 % untuk rakyat dan perusahaan 80 %.

Perkebunan sawit di Indonesia sudah mapan, dan seharusnya pemerintah sudah mulai mendesain masa depan petani kelapa sawit untuk mandiri. Karena itu,” tandasnya lagi perlu dilakukan tranformasi struktur perkebunan sebagai solusi persoalan dalam perkebunan, dengan dimulai dari evaluasi ijin usaha perkebunan dan membatasi penguasaan Hak Guna Usaha hingga 90 tahun.
Hal senada di sampaikan oleh petani sawit yang bermitra dengan PT. Tribakti Sari Mas di kabupaten Kuantan Singingi Yuslim yang juga sebagai sekjen SPKS Kabupaten Kuantan Singingi. Dia menjelaskan, masih berlangsungnya konflik petani yang bermitra dengan PT. TBS. Bulan Juni lalu, ibu Yusniar mati ditembak polisi karena berjuang untuk memperoleh keadilan dari PT. TBS.

Lanjut dia, hingga saat ini kebun yang tidak diberikan kepada petani sekitar 1.700 ha oleh PT. TBS. Masyarakat sejak beberapa hari lalu, telah melakukan pendudukan kebun inti. Namun PT. TBS belum merespon. Selain itu pula tambahnya, PT. TBS membangun kebun plasma setengah hati padahal kredit sudah maksimal untuk membangun kebun plasma yang lebih baik. Hal lain yang di sorot oleh Yuslim juga adalah pemakaian aparat kepolisian yang berlebihan di PT. TBS jika perusahaan tersebut bermasalah dengan petani.
Hal yang lain juga terjadi di PT. MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT. Torganda di Kabupaten Rokan Hulu yang mencaplok ladang-ladang masyarakat. Kedua perusahaan tersebut, mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010 lalu,” (database kasus SPKS).
Hariansyah Usman menambahkan konflik paling tinggi di Riau terjadi di dalam perkebunan, pada tahun 2010 sekitar 24 % dari total luasan kebun terjadi konflik. Hal ini diakibatkan oleh, masih berlakunya model paksa seperti zaman penjajahan dulu. Forum Nasional SPKS mencatat, tahun 2010 sebanyak 129 petani kelapa sawit di kriminalisasi hingga dipenjara. Yang dapat kita simpulkan, cara penjajahan masih dipraktekkan di masa saat ini, tandas Hariansyah.

Sebagaimana diketahui, sebanyak 20.117 ha kebun rakyat di Riau belum diremajakan karena terkait dengan penolakan petani kelapa sawit yang menentang pola manajemen satu atap dalam revitalisasi perkebunan. Pola manajemen satu atap di atur melalui, Permentan No. 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan dan Permenkeu No.117/PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan.

Pola manajemen satu atap adalah pengelolaan kebun plasma yang di lakukan oleh perusahaan baik dalam hal menanam, memelihara hingga memanen dan mengambil hasilnya. Petani akan mendapatkan hasil bersih yang diberikan perusahaan.

Luas perkebunan kelapa sawit di riau seluas 2, 8 juta dan sekitar 50,51 % di kelola oleh 356.000 KK. Sisanya di kuasai oleh beberapa perusahaan perkebunan dan hamper 50% dari luas perkebunan swasta di kuasai oleh Negara Malaysia. (ira)

80.000 Buruh Perkebunan Hidup Miskin

MEDAN, KOMPAS.com — Ekspansi kelapa sawit telah memarjinalkan buruh dan masyarakat sekitar perkebunan. Setidaknya 80.000 buruh perkebunan kelapa sawit hidup dalam kemiskinan dan ketidakjelasan status.

Demikian antara lain yang mengemuka dalam Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia yang digelar di Medan, Sumatera Utara, Minggu (27/3/2011). Acara yang rencananya berakhir pada 29 Maret ini dihadiri sedikitnya perwakilan dari 32 organisasi nonpemerintahan seluruh Indonesia dan beberapa aktivis kemanusiaan.

Sawit Watch tahun 2008 melansir bahwa luas lahan sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar dengan pertumbuhan 15 persen per tahun. Luas lahan perkebunan kelapa sawit di Sumut mencapai 1,2 juta hektar.

Koordinator Bidang Penelitian dan Pengembangan Kelompok Pelita Sejahtera Manginar Situmorang dalam kesempatan tersebut menjelaskan, sebanyak 80.000 buruh harian lepas di Sumatera Utara hanya bergaji sekitar Rp 29.000 sampai Rp 31.500 per hari atau sekitar Rp 870.000 sampai Rp 945.000 per bulan. Waktu kerja mereka selama 7 jam per hari. Status mereka terus digantung sebagai buruh harian lepas tanpa tahu kapan menjadi pekerja tetap.

Di bawah standar

Padahal, Badan Koordinasi Perusahaan Perkebunan Swasta (BKPPS) saja menetapkan upah minimal Rp 1,005 juta per bulan. BKPPS merupakan oraganisasi perusahaan-perusahaan kecil menengah, penanam modal asing, dan penanam modal dalam negeri.

"Tetapi ini hanya untuk buruh resmi perkebunan swasta. Besaran upah untuk pekerja borongan atau buruh harian lepas ditentukan atas dasar kesepakatan antara buruh dan pengusaha yang jumlahnya jelas lebih kecil dari standar BKPPS tersebut," ujarnya.

Selain berupah rendah, 80.000 buruh tersebut tidak mendapat jaminan kerja . Mereka juga dikenakan standar ganda, yakni kerja harian tetapi juga dipasang target tertentu per hari. Akibatnya, banyak buruh yang melibatkan anak istri untuk memenuhi target tersebut.

Beratnya beban buruh juga tergambar dari luasnya lahan yang harus mereka tangani. Untuk 100 hektar lahan perkebunan, hanya ada 22 pekerja.

Para buruh dibebani tugas memotong pelepah, merapikan pelepah yang dipotong, memotong tangkai kelapa sawit, memunguti buah sawit yang jatuh, mengangkut buah kelapa sawit ke tempat pengumpulan hasil (TPH), serta menyusun dan memberi kode buah kelapa sawit tersebut. Semua itu mereka kerjakan di bawah pengawasan ketat mandor perkebunan. Praktik ini telah berjalan puluhan tahun, sejak 1970-an.

Rawan kecelakaan

Menurut Manginar, para pekerja tersebut tidak dilengkapi dengan alat pengaman sehingga rawan kecelakaan. Dalam penelitian KPS selama empat bulan (Januarai-April 2008) yang digelar di 6 perkebunan kepala sawit, terdapat 47 kecelakaan kerja dengan korban buruh perkebunan. Sebanyak 11 kasus menyebabkan cacat mata lantaran terkena getah, terkontaminasi zat kimia dari pupuk atau pestisida, atau tertimpa tandan buah segar kelapa sawit. Dua orang di antaranya tewas karena tertimpa buah kelapa sawit dan tersengat aliran listrik. Sisa korban lainnya mengalami luka ringan, seperti tertusuk duri atau digigit serangga. Ini merupakan fenomena gunung es.

Dalam kesempatan tersebut, Ketua Komisi Nasional HAM Ifdhal Kasim mengatakan, sistem yang diterapkan para pengelola perkebunan tersebut bisa diindikasikan sebagai pelanggaran HAM. "Indikasi pelanggaran HAM itu bisa dilaporkan dan korban bisa menangih janji perusahaan tentang pelanggaran tersebut. Mereka juga harus akuntabel dan memberikan pemulihan apabila terjadi korban dalam kegiatan mereka," ujarnya.

Peneliti ekonomi politik George Junus Aditjondro yang hadir dalam acara tersebut menambahkan, ekspansai perkebunan kelapa sawit kerap menimbulkan masalah. Selain dugaan pelanggaran HAM, juga konflik lahan. Sejak tahun 2004 sampai sekarang terjadi penyerobotan lahan milik warga seluas 6.000 hektar. Seluas 3.500 hektar lahan tersebut digunakan sebagai perkebunan kelapa sawit. Penyerobotan dan perluasan perkebunan kelapa sawit itu kerap dilakukan oleh pihak-pihak yang didukung penguasa.

Rabu, 23 Maret 2011

Petani Plasma Menolak Pola Kredit Koperasi

KELAPA SAWIT

Jambi, Kompas - Petani kelapa sawit yang tergabung dalam Serikat Petani Kelapa Sawit, menolak pemberlakuan pola Kredit Koperasi Primer Anggota atau KKPA atas sekitar 900.000 hektar kebun plasma, yang akan diremajakan di sejumlah daerah. Petani menilai pola KKPA tidak berpihak dan merugikan mereka.

Ketua Forum Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit, Mansuetus Darto, mengatakan di Jambi, Selasa (22/3), petani plasma lebih memilih bentuk kerja sama pola inti rakyat (PIR), ketimbang KKPA. Namun, pemerintah telah memberlakukan pola kemitraan KKPA atas kebun-kebun plasma baru dan yang akan diremajakan. ”Petani plasma sawit menolak manajemen kebun dengan pola KKPA,” katanya.

Menurut Mansuetus, dari sekitar 9,2 juta hektar kebun sawit di Indonesia, hampir 4 juta hektar di antaranya dikelola petani, baik secara mandiri maupun melalui kerja sama kemitraan. Sekitar 900.000 hektar lahan dikelola dengan manajemen PIR.

Melalui KKPA, lanjut Mansuetus, produktivitas sawit dimungkinkan akan meningkat. Produktivitas petani plasma selama ini hanya 14 ton per hektar, dan produktivitas sawit di lahan inti sekitar 17 ton per hektar. Ini jauh di bawah produktivitas kebun di Malaysia yang mencapai 24 ton per hektar.

Akan tetapi, tambahnya, petani akan sulit mengontrol volume hasil sawit dalam kebunnya sendiri, serta jumlah pendapatan yang semestinya mereka peroleh, karena pengelolaan kebun dilaksanakan perusahaan inti. Petani pun akan cenderung lebih rendah karena nilai jual sawit ditetapkan perusahaan.

”Nilai tawar petani plasma akan semakin rendah dalam pola (KKPA) ini,” ujarnya.

Petani sawit plasma di Desa Teluk Benanak, Kecamatan Merlung, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, Haryono, mengatakan, petani lebih memilih manajemen kebun sawit mereka melalui PIR. Melalui pola ini, petani dapat mengelola langsung kebun mereka, walaupun hasil penjualan sawit akan dipotong 30 persen untuk mengangsur kredit. Dengan pola KKPA, petani hanya memperoleh hasil 30 persen.

”Dengan lahan 2 hektar, kami hanya akan memperoleh hasil sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000, karena habis dialokasikan untuk pembayaran kredit, biaya lingkungan, dan pengangkutan sawit,” tuturnya.

Haryono yang juga pengurus SPKS, mencontohkan kekhawatiran saat ini dirasakan petani di Kecamatan Sungai Bahar, Muaro Jambi. Sekitar 6.000 hektar kebun sawit plasma yang bermitra dengan PT Perkebunan Negara akan diremajakan dalam waktu setahun ke depan. Pola kemitraan yang semula PIR akan diganti menjadi KKPA.

”Melalui pola ini, petani selalu terikat dengan utang. Bisa-bisa habis 30 tahun, baru utangnya lunas,” kata Haryono.

Dari Jawa Tengah diberitakan, petani kesulitan mendapatkan kredit usaha tani (KUT) karena bank mensyaratkan adanya surat bebas KUT. (ita/uti)

Sabtu, 19 Maret 2011

PTNP V Bantah Anak Karyawannya Terjangkit Gizi Buruk Massal

Jum’at, 18 Maret 2011 18:23
Dibenarkan Dinas Kesehatan,

Dinas Kesehatan Siak mengakui ada 9 anak menderita gizi buruk di wilayah PTPN V Lubuk Dalam Siak. Namun PTPN V membantahnya. Katanya, penderita sudah ada kelainan sejak lahir.

Riauterkini-PEKANBARU-Kepala Bidang Kesehatan Daerah (Kabid Kesda) Dinas Kesehatan Kabupaten Siak, Khairani Hasyim kepada Riauterkini Jum'at (18/3/11) mengakui jika pihaknya menemukan gizi buruk masal di wilayah PTPN V Lubuk Dalam. Jumlahnya 9 kekurangan gizi (gizi buruk) dan 62 orang kurang gizi.

"Memang ada 9 anak yang terindikasi gizi buruk minus 3 Standart deviasi (standart WHO) tanpa gejala klinis. Mereka adalah M Ramadhani (16 bulan), Farel (14 bulan), Hendra Irwansyah (18 bulan), Mayanti (18 bulan), Naomi Cristina (18 bulan), Ester (17 bulan), Namira (27 bulan), Rizky (27 bulan dan Rina Liwa (10 bulan). Selain itu juga ada 62 anak lainnya yang diindikasikan kurang gizi karena berat badan dan tinggi badannya tidak sesuai dengan usianya," terang Rani.

Terkait dengan itu, tambahnya, sudah dicapai kesepakatan antara Dinas Kesehatan dan pihak PTPN V Lubuk Dalam yang dalam kesepakatan tersebut pihak PTPN V diminta untuk menyediakan pemberian makanan pemulihan selama 3 bulan kepada 9 anak penderita gizi buruk maupun 62 anak yang kurang gizi.

Nilainya, tambahnya, untuk penderita gizi buruk akan diberikan asupan makanan dengan nilai Rp 2 juta selama 3 bulan sedangkan untuk penderita kurang gizi akan diberikan makanan tambahan senilai Rp 900 ribu selama 3 bulan.

Disinggung mengenai langkah selanjutnya, Rani menyatakan bahwa mulai Senin pekan depan pihaknya akan meminta Puskesmas di sekitar kawasan PTPN V untuk turun ke lapangan guna melakukan pemeriksaan kepada seluruh masyarakat. Tidak terkecuali warga di dalam kawasan PTPN V Lubuk Dalam.

Terkait dengan hal itu, Asisten Umum (Humas) PTPN V Lubuk Dalam, Irwansyah mengakui adanya penderita gizi buruk di lingkungan PTPN V Lubuk Dalam. Namun demikian, tidak seluruhnya permasalahan semata terjadi gizi buruk masal di PTPN V Lubuk Dalam.

"Saya mengakui adanya anak-anak warga pekerja di PTPN V Lubuk Dalam yang berat badan serta tingginya tidak sesuai dengan umurnya. Namun itu bukan karena perusahaan tidak memfasilitasi kesehatan pekerja. Namun memang beberapa anak yang memiliki kelainan sejak lahir.

Ia menegaskan beberapa anak memang memiliki kelainan sejak bayi. Seperti Namira dan Naomi Cristiani. Kedua anak itu memiliki kelainan sejak lahir dan sering dibawa berobat ke RS PTPN V di Jl Ronggo Warsito Pekanbaru. Sementara, Rizky, Farel, Hendra dan Ramadhani memang sedang sakit dan sering kontrol ke RS PTPN V.

Menurutnya, dengan kelainan bawaan sejak lahir dan kondisi sakit sangat mempengaruhi berat badan dan kondisi anak. Jadi ketika ditimbang, berat badannya tidak sesuai dengan standart pemenuhan gizi anak. Bahkan ada anak yang badannya memang kecil dibandingkan dengan usianya juga dianggap kurang gizi. Padahal si anak lincah bermain. Sedangkan penderita gizi buruk yang meninggal, adalah anak saudara buruh harian lepas PTPN V yang baru 2 bulan tinggal di kawasan PTPN V Lubuk Dalam.

"Kami sendiri tidak menyangka akan adanya penderita gizi buruk dan kekurangan gizi di kawasan PTPN V Lubuk Dalam. Padahal, perusahaan memberikan gaji kepada karyawan dan pekerja jauh di atas UMK Perkebunan. Sementara fasilitas kesehatan diberikan kepada karyawan dan pekerja dengan maksimal. Tidak ada batasan biaya dan kelas. Semuanya gratis bahkan sampai ke dokter spesialis," terangnya.

Bukan hanya itu, tambahnya, PTPN V Lubuk Dalam juga memiliki tempat penitipan balita. Di tempat tersebut menurutnya anak-anak diberikan makanan tambahan berupa puding, susu dan bubur. Yang mengelola adalah ibu-ibu pos yandu.***(H-we)

Sabtu, 12 Maret 2011

Diduga Akibat Limbah PKS, Ribuan Ikan di Sungai Kerumutan Mati

Jum’at, 11 Maret 2011 21:06

Limbah PKS PT Serikat Putera diduga mencemari Sungai Kerumutan di Pelalawan. Dampaknya, ditemukan ribuan ikan mati.

Riauterkini-PANGKALANKERINCI- Sebuah pabrik kelapa sawit (PKS) di desa Lubuk Keranji Kecamatan Bandar Petalangan, Kamis lalu (10/3/11) didatangi tim verifikasi pencemaran lingkungan BLH Kabupaten Pelalawan. Tim yang dipimpin Kasub Perizinan Ir Eko Novitra itu datang untuk melakukan verifikasi awal terhadap dugaan pencemaran lingkungan terhadap Sungai Kerumutan. Dugaan tersebut berawal dari pengaduan warga desa Lubuk Keranji, mengenai adanya rembesan limbah yang melimpah ke sungai.

‘’Kita mengambil sample air sungai, kemudian melihat struktur tanah yang terkena rembesan limbah. Nanti kesimpulan apakah ada zat beracun dalam air berasarkan labor. Namun sejauh yang kita lihat, perusahaan telah melanggar ketentuan, yaitu melaksanakan land aplikasi sehingga beresiko merembes,’’ terang Eko Novitra, kepada riauterkini Jumat (11/3/11).

Dijelaskannya, land aplikasi yang dilakukan merupakan pemanfaatan kembali limbah cair dan limbah padat sebagai pupuk tambahan pada tanaman perkebunan. PT Serikat Putra, kata dia, menerapkan land aplikasi secara serampangan sehingga mengakibatkan air limbah melimpah ke Sungai. Perusahaan ini menyerakkan limbah begitu saja pada rorak rorak tak jauh dari sumber air.

‘’Pemanfaatan limbah pada land aplikasi diduga menyalahi aturan. Karena itu kita kalau ini terbukti BLH akan mengambil tindakan administrasi. Berupa instruksi memulihkan lingkungan dan megganti rugi,’’ terangnya.

Dalam kunjungan tersebut tim BLH juga menemukan barang bukti pencemaran, yakni berupa bangkai ikan yang mati secara massal akibat pencemaran ini. Temuan tersebut, menurut Eko sudah dikonfirmasi kepada manajer PKS dan sudah diakui sebagai akibat dari limbah. Namun demikian BLH tetap akan menunggu laporan pemeriksaan labor. ‘’Kita menemukan ada ikan mati, oleh perusahaan sudah diakui juga bahwa land aplikasi mereka merembes ke parit kanal dan terus ke sungai,’’ jelasnya.

Sebelumnya, masyarakat desa Lubuk keranji kecamatan Bandar Petalangan menyampaikan pengaduan kepada pihaknya. Setelah dilakukan telaah, bukti bukti yang dibawa masyarakat ternyata masuk akal. Karena itu pihaknya langsung turun ke lokasi sebelum pihak perusahaan menyebunyikan barang bukti.

Eko tidak bersedia menjelaskan zat zat beracun apa saja yang terdapat dalam limbah cair PKS. Ketika ditanyakan, ia hanya mengatakan tergantung hasil labor. Tapi yang pasti, zat zat beracun tersebut sangat berbahaya bagi kehidupan biota air di Sungai. Karena itu pihaknya akan mendalami temuan ini sampai betul betul jelas.

Sementara itu pihak perusahaan belum memberikan penjelasan kepada wartawan. Humas PT Serikat Putra yang dihubungi berkali-kali melalui ponselnya, tidak ada yang mengangkat.***(feb)

Selasa, 08 Maret 2011

Diduga Bohongi Petani Plasma, DPRD Inhil Segera Panggil PT ASI

Selasa, 8 Maret 2011 19:44

PT ASI diduga telah membohongi petani plasma. Untuk mencarikan solusi, DPRD Inhil akan panggil menejemen perusahaan tersebut.

Riauterkini-TEMBILAHAN-Dewan akan memanggil pihak manajemen PT Agro Sarimas Indonesia (PT ASI) terkait konflik perkebunan pola plasma dengan Kelompok Tani Unit II KM 8 Kecamatan Kempas. Pihak PT ASI dituding tidak konsisten dengan kesepakatannya.

"Pada Kamis (10/3/11) mendatang kita akan panggil manajemen PT ASI untuk mempertanyakan permasalahan dengan para petani yang dari dulu tak kunjung tuntas ini," ungkap Wakil Ketua DPRD Inhil Dani M Nursalam didampingi Ketua Komisi B DPRD Inhil, M Yunus, Selasa (8/3/11).

Untuk mengetahui secara jelas permasalahan ini, maka selain manajemen PT ASI, dewan juga akan menghadirkan pengurus Koperasi Cita Harapan KM 8 Kempas dan petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Unit II KM Kecamatan Kempas.

"Kita sering mendapatkan pengaduan dari petani bahwa mereka tidak pernah mendapatkan hasil dari kebun plasma mereka yang telah menghasilkan. Pihak perusahaan cenderung tidak transparan dalam hal ini," sebut Dani.

Bahkan, anggota dewan lainnya dengan tegas menyatakan bahwa PT ASI ini tidak komitmen dan kerap berbohong atas permasalahan ini.

"Memang PT ASI ini kerap berbohong dan tidak konsisten dalam permasalahan ini. Ketika kita undang untuk menyelesaikan permasalahan ini, para direktur tidak mau datang," kecam Edy Hariyanto Sindrang, anggota Komisi B DPRD Inhil.

Sementara itu Koordinator Kelompok Tani Unit II KM 8 Kecamatan Kempas, HM Haris menyatakan bahwa sejak perkebunan pola plasma ini menghasilkan dan telah dipanen sejak tahun 2008, petani tidak mendapatkan apa-apa.

"Sampai saat ini para petani tidak memperoleh bagi hasil dari kebun ini, malahan pihak perusahaan tidak transparan dalam hal ini. Padahal ratusan hektar kebun Kelompok Tani II KM 8 telah diserahkan kepada pihak PT ASI," tandas Haris.***(mar)

Selasa, 01 Maret 2011

Petani Tidak Siap untuk Replanting

Kepala Dinas Perkebunan Riau
1 Maret 2011 - 10.41 WIB

PEKANBARU - Seluas 53 persen dari total areal perkebunan kelapa sawit di Riau masih menunggu nasib untuk di-replanting. Saatnya sikap mental petani diubah agar tidak gamang menghadapi kondisi tertentu.

Dari dua juta hektare lebih areal perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau, sebagian besar di antaranya sudah waktunya diremajakan (replanting), karena berusia antara 25 sampai 30 tahun. Yang kemudian menjadi masalah, banyak di antara petani sawit yang tidak siap kebunnya dire-planting. Pola hidup konsumtif, antara lain, dituding sebagai biang penyebabnya.

Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, M. Yafiz, menjelaskan bahwa di antara dua juta hektare lebih areal perkebunan kelapa sawit itu, sekitar 53 persen di antaranya merupakan areal perkebunan plasma alias milik masyarakat, sementara sisanya sebesar 47 persen merupakan areal perkebunan milik sejumlah perusahaan. “Yang terkendala untuk direplanting adalah areal perkebunan milik masyarakat, terutama menyangkut persoalan kesiapan dana,” kata Yafiz.

Tapi, sekitar 47 persen areal perkebunan kelapa sawit yang bernaung di bawah sejumlah perusahaan swasta nasional yang beroperasi di daerah ini, menurut Yafiz, sudah banyak yang mulai melakukan replanting. “Pola kerja mereka sudah tersistem,” kata Yafiz kepada Plasma di kantornya, Senin (21/2). “Mana tanaman sawit yang sudah waktunya dilakukan peremajaan karena faktor usia, mereka sudah melakukannya,” sambung Yafiz.

Pernyataan Yafiz senada dengan Setiyono, Ketua Aspekpir (Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR) Riau. Menurut Setiyono, dari 134.000 hektare areal perkebunan kelapa sawit milik petani yang tergabung dalam Aspekpir Riau, seluas sekitar 10.000 hektare di antaranya sudah saatnya dilakukan peremajaan. Aspekpir Riau sedang mempelajari dan menimbang-nimbang sejumlah opsi untuk melakukan peremajaan itu.

Diakui Yafiz, yang menjadi kendala utama untuk melakukan peremajaan adalah dana, karena masa tiga tahun sebelum tanaman sawit yang diremajakan berproduksi merupakan masa mengandung, di mana tanaman sawit belum memberikan hasil apa-apa. “Banyak petani yang tidak siap untuk itu,” ungkapnya. Apalagi sebagian besar petani sawit sudah terjebak pola hidup konsumtif sehingga gamang menghadapi kondisi sulit seperti saat tanaman sawit tidak memberikan hasil apa-apa.

Menurut Yafiz, untuk mengatasi masalah tersebut, pihaknya telah melakukan sejumlah langkah. Antara lain, belum lama ini Disbun Provinsi Riau menggandeng PT Musim Mas dengan meli¬batkan tenaga ahli dari Bogor dan Kementerian Pertanian mencoba program replanting dengan pola bantuan subsidi silang. Pola ini telah berhasil dilakukan di Suma¬tera Utara dan Jambi dengan men-sela tanaman jagung dan kedele.

“Di sini pola itu mungkin akan dieksekusi dalam tahun ini,” tandas Yafiz, sambil menambahkan bahwa pelaksanaan pola tersebut dengan melibatkan PT Pertani, sebuah BUMN di lingkungan Ke-menterian Pertanian. Menurut Yafiz, penerapan pola tersebut secara prinsip sudah disetujui Kementerian Pertanian, dan diperkirakan paling telat April tahun ini Kementerian Pertanian akan mengeluarkan kebijakan tentang peremajaan.

Pola lain yang sedang dipelajari adalah sistem subsidi bunga. Dijelaskan Yafiz, petani hanya membayar bunga tujuh persen/tahun dari total jumlah kreditnya, sementara sisanya dibayarkan oleh APBN. Masalahnya, menurut Yafiz, kalau berurusan dengan lembaga perbankan tetap dengan mengedepankan profit (keuntungan). Untuk pola ini, menurut Yafiz, semua perbankan dan BMUN sudah berkomitmen untuk ikut membantu.

Untuk pola ini, menurut Yafiz, pemerintah menyiapkan dana Rp4 triliun, dan sebesar Rp600 miliar di antaranya akan dialokasikan untuk Provinsi Riau. “Sejauh ini baru satu yang sudah kita mulai, dan itu pun untuk jenis dana komersial,” terang Yafiz. Se¬mentara dua lainnya, yaitu yang berlokasi di Kabupaten Pelalawan dan Rokan Hulu, sejauh ini proses administrasi untuk ikut serta dalam program tersebut sudah selesai. “Kita berharap tahun ini bisa dimulai,” sebut Yafiz.

Ditanya opsi mana yang mungkin bisa diterapkan untuk replanting, terutama areal perkebunan kelapa sawit milik masyarakat, Yafiz mengatakan pihaknya fleksibel saja. Tapi satu hal yang diingatkan Yafiz, untuk melakukan replanting sebagian besar petani tidak memiliki kesiapan dana untuk itu. Sementara di bagian lain banyak di antara perusahaan yang mau menjadi bapak angkat, tapi dengan catatan sistem bagi hasilnya bisa diterima oleh kedua belah pihak.

Yafiz juga menyinggung rencana replanting perkebunan kelapa sawit anggota Aspekpir Riau dengan bapak angkatnya PTPN V. Dijelaskan Yafiz, ia pernah mendengar pernyataan dari pengurus Aspekpir yang menyebut PTPN V masih mau menjadi bapak angkat mereka. Kepada pengurus itu, Yafiz menyarankan agar cara berpikirnya dibalik, karena yang punya lahan dan kebun adalah petani, bukan PTPN V. “Bapak ibarat gadis cantik,” kata Yafiz ke pengurus itu.

Dengan kata lain, menurut Yafiz, jangan ditanya apakah PTPN V masih mau menjadi bapak angkat bagi para petani anggota Aspekpir Riau itu? Pertanyaan seharusnya: apakah para petani masih bersedia menjadikan PTPN V sebagai bapak angkat? “Sebab, kalau mereka tidak mau, banyak perusahaan yang bersedia jadi bapak angkat,” katanya. “Tanah sudah ditanami sawit, surat-surat lengkap, kenapa harus Bapak yang nyari-nyari bapak angkat?” sambungnya.

Menunggu Tata Ruang
Pada bagian lain Yafiz men¬jelaskan program pengembangan perkebunan kelapa sawit di Riau tahun 2011. “Kita masih menunggu disah¬kannya UU Tata Ruang,” ungkapnya. Menurut Yafiz, untuk areal perkebunan di bawah 25 hektare merupakan wewenang pemerintahan kabupaten/kota mengeluarkan izinnya.

Tapi diakui Yafiz, kontribusi perkebunan kelapa sawit untuk PDRB Provinsi Riau sangat tinggi, yaitu 15 persen lebih. Sebab, sebanyak 480.000 kepala keluarga lebih menggantungkan nafkahnya terhadap dari dua juta hektare lebih areal perkebunan kelapa sawit di daerah ini.

Makanya, Yafiz setuju kalau UU Tata Ruang yang sedang dibahas, masih memberi kemungkinan pengembangan areal perke¬bunan kelapa sawit di Riau. (Lebih lengkap, sila baca Tabloid Plasma No. 66 Edisi Maret 2011).