Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Senin, 01 Februari 2010

Infrastruktur Industri Hilir CPO Tak Siap

Senin, 1 Februari 2010 | 03:59 WIB

Medan, Kompas - Kalangan pengusaha di Sumatera Utara masih pesimistis pembangunan kluster industri hilir minyak sawit mentah atau crude palm oil di Sei Mangke, Kabupaten Simalungun, dapat diselesaikan sesuai dengan rencana pada 2011. Banyak hal yang masih harus disinkronkan oleh semua pemangku kepentingan, terutama terkait dengan penyediaan infrastruktur yang memadai dalam sebuah kluster industri.

Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sumut Laksamana Adhyaksa di Medan, Minggu (31/1), banyak pemangku kepentingan yang terlibat dalam pembangunan kluster industri hilir minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) di Sumut masih belum menyinkronkan rencana pembangunan sarana pendukung. Dia mencontohkan, PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) malah belum ada rencana dalam waktu dekat membangun pelabuhan di Kuala Tanjung. Padahal, rencananya Pelabuhan Kuala Tanjung digunakan sebagai sarana untuk mengekspor hasil industri dari Sei Mangke.

”Beberapa hari lalu kami menggelar rapat bersama Pelindo dan mereka memang tak ada rencana dalam waktu dekat membangun pelabuhan di Kuala Tanjung. Pelindo masih fokus membenahi Pelabuhan Belawan. Memang ada rencana PT Kereta Api Indonesia membangun jaringan rel kereta api sepanjang 25 kilometer dari Sei Mangke menuju Kuala Tanjung. Namun, kalau pelabuhannya belum siap, ya, percuma,” kata Laksamana.

Belum lagi soal rencana lokasi kluster yang berbeda antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

”Justru yang saya dengar dari Bappeda Sumut, rencana pembangunan kluster ini ada di Labuhan Batu. Sementara yang di Sei Mangke ini, kan. dari pemerintah pusat melalui Kementerian BUMN,” katanya.

Menurut Laksamana, sebagai wacana, pembangunan kluster industri hilir CPO cukup bagus.

”Tetapi, ada dua hal yang harus diperhatikan jika pemerintah ingin serius, yakni kluster tersebut menyediakan apa sehingga pengusaha tertarik ke sana dan yang kedua akses serta sarana transportasinya bagaimana. Infrastruktur tetap menjadi kendala,” katanya.

Hal senada diungkapkan Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Sumut Timbas Tarigan. Menurut dia, peranti lunak dan peranti keras yang diperlukan sebuah kluster industri hilir CPO di Sei Mangke belum disiapkan. Dia menyayangkan, pemerintah hanya menyiapkan areal kluster tanpa terlebih dulu menyiapkan infrastrukturnya.

”Ini, kan, enggak nyambung. Kluster direncanakan selesai tahun 2011, tetapi Pelabuhan Kuala Tanjung baru selesai paling cepat tahun 2015. Persoalan izin juga belum jelas. Apa kemudahan izin yang ditawarkan pemerintah. Skema kemudahan pajak, seperti tax holiday, juga enggak ada. Bagaimana pengusaha mau tertarik kalau pemerintah masih belum menyiapkan software dan hardware kluster industri ini,” katanya. (BIL)

Empat Perusahaan Ajukan Sertifikasi RSPO

Senin, 1 Februari 2010 | 08:22 WIB

Medan, Kompas - Sedikitnya lima perusahaan pengelolaan kelapa sawit di Sumatera Utara mengajukan sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil atau sertifikasi minyak sawit lestari. Pihak konsultan menyatakan, problem utama yang paling banyak ditemukan pada perusahaan-perusahaan yang mengajukan sertifikasi adalah masalah sosial, terutama konflik status kepemilikan lahan.

Konsultan dari PT TUV Internasional Indonesia, Dian S Soeminta, di Medan, Sabtu (30/1), mengatakan, empat perusahaan di Sumut yang masih menunggu turunnya sertifikat dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang menjadi dampingan mereka adalah PTPN III Unit Pabrik Kelapa Sawit (PKS) Sei Mangke, PT BSP Tbk Kisaran, PT Perkebunan Milano, dan yang terakhir adalah PT First Mujur Plantation & Industry. Sementara di Kalimantan adalah PT Mustika Sembuluh (Wilmar Group).

Dian mengatakan, pihaknya diminta menjadi konsultan PT First Mujur Plantation sejak tahun lalu. Saat itu konsultan menemukan baru 60 persen dari 139 indikator sertifikasi RSPO. Namun, belakangan perusahaan terus melakukan perbaikan sehingga 39 indikator utama yang bisa menghambat penerimaan sertifikasi tak ditemukan lagi oleh pihak konsultan. ”Ada temuan minor, tetapi bisa diperbaiki,” tutur Dian.

Sebagai salah satu lembaga sertifikasi di Indonesia, kata Dian, pihaknya hanya bisa memberikan rekomendasi kepada Board of RSPO. PT TUV sendiri sampai saat ini sudah memberikan rekomendasi pada lima perusahaan, tetapi belum ada jawaban dari Board of RSPO. Sementara yang masih dalam penanganan ada tujuh perusahaan.

Dian mengatakan, sertifikat itu sewaktu-waktu bisa dicabut jika ditemukan ada penyelewengan dari 139 indikator yang sudah ditentukan. Menurut Dian, kebanyakan perusahaan yang ia nilai secara ekonomi memenuhi kriteria, tetapi terhambat dalam aspek-aspek sosial. (WSI)