Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Rabu, 24 Desember 2008

Ratusan petani tuntut Bupati Cabut izin PT. GMP

Ratusan masyarakat yang tergabung dalam kelompok tani plasma tanjung pangkal tahap II Kenagarian Lingkuang Aua Kecamatan Pasaman Kabupaten Pasaman Barat Propinsi Sumatera Barat melakukan aksi demonstrasi ke kantor Bupati pada hari Rabu / 17 Desember 2008.
Mereka menuntut agar Bupati Pasbar segera mencabut izin usaha perkebunan PT. Gersindo Minang Plantation (PT. GMP) yang tergabung dalam wilmar group karena mereka dinilai telah merampas tanah ulayat masyarakat dan tidak merealisasikan tanah plasma bagi para pemilik tanah ulayat dan mengacuhkan keberadaan ninik mamak diwilayah mereka.

Mereka juga meminta Pemkab Pasaman Barat meninjau ulang sertifikat Hak Guna Usaha (HGU) PT. GMP yang menyebabkan tanah ulayat ninik mamak lingkuang Aua diambil oleh PT. GMP.
Setelah demo di kantor Bupati Pasbar, Keltan Plasm Tanjung Pangkal Tahap II mereka langsung ke Lahan PT. GMP. Petani menuntut PT.GMP membawa masalah ini ke jalur Hukum dengan perjanjian sebagai berikut:

1. Sepakat untuk menyelesaikan masalah tersebut melalui jalur hukum
2.Yang melakukan gugatan ke pengadilan adalah kelompok 16 terhadap objek sengketa kebun seluas 200 Ha yang terletak di Phase IV
3. Gugatan akan dilaksanakan paling lambat 45 (empat Puluh Lima) hari setelah surat berita acara ini ditanda tangani.
4. Apabila Pihak Pertama (PT. GMP) tidak menjalankan point tiga diatas maka kebun kelapa sawit yang terletak di phase IV yang menjadi objek sengketa antara pihak kedua dengan kelompom 16 dikuasi oleh pihak Kedua.  

Sektor Pertanian Tak Mampu Bersaing

Sektor Pertanian Tak Mampu Bersaing
Rabu, 24 Desember 2008 | 02:42 WIB 

Medan, Kompas - Struktur perekonomian di Sumatera Utara selama 10 tahun terakhir telah bergeser dari pertanian ke sektor pengolahan dan perdagangan. Ini terjadi karena tak mampunya nilai tambah sektor pertanian mengimbangi peningkatan nilai tambah sektor lainnya.

Sektor pertanian juga semakin tidak diminati untuk bekerja. Sektor ini menjadi pilihan terakhir saat tidak ada sektor lain yang bisa menampung untuk bekerja.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut Alimuddin Sidabalok dalam Sosialisasi Pendataan Usaha Tani 2009 di Medan, Selasa (23/12), mengatakan, kontribusi sektor pertanian pada produk domestik regional bruto (PDRB) mengalami penurunan. Pada 2007, BPS melaporkan, kontribusi sektor pertanian dalam PDRB Sumut sebesar 22,56 persen, turun dari tahun 1998 yang mencapai 25,44 persen.

Persentase jumlah pekerja di sektor pertanian naik 2,85 persen saat krisis ekonomi terjadi pada tahun 1998. Waktu itu perekonomian Sumut minus 10,90 persen.

Namun, seiring dengan waktu, sektor pertanian semakin kehilangan daya tariknya. Jumlah pekerja di sektor ini menurun ketika perekonomian membaik. BPS mencatat jumlah tenaga kerja di sektor ini turun 4,11 persen pada tahun 2007 jika dibandingkan dengan tahun 1998.

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Zulkifli Nasution, bercerita dalam sebuah pertemuan yang dihadiri sekitar 100 sarjana pertanian baik S-1 maupun S-2. Ia pernah bertanya, siapa yang mau jadi petani. Hanya empat orang yang mengatakan bersedia menjadi petani.

Namun, para sarjana pertanian itu menyatakan bahwa pertanian Indonesia masih prospektif dan tidak setuju jika pertanian menjadi industri.

”Bila melihat kesejahteraan petani selama satu dasawarsa terakhir, yakni tahun 1998 hingga 2007, (angka-angka yang muncul) belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan,” kata Alimuddin.

Nilai tukar petani (NTP) 10 tahun terakhir selalu di bawah angka 100, kecuali pada tahun 2004 yang mencapai 104,9. Ini berarti indeks harga atas hasil produksi pertanian lebih kecil dibandingkan dengan indeks harga kebutuhan rumah tangga petani, baik untuk konsumsi rumah tangga petani maupun untuk proses produksi pertanian. (WSI)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/24/02421181/sektor.pertanian.tak.mampu.bersaing

Kebun Berskala Besar Perlu Izin Perkebunan

Rabu, 24 Desember 2008 16:55
Membangun perkebunan dengan skala besar, dengan luas lebih 1.000 hektarm, memerlukan izin resmi. Baik izin Pemkab/Pemko maupun Pemprov.

Riauterkini-PEKANBARU-Ketua Gapki Riau, Wisnu Oriza Suharto kepada Riauterkini rabu (24/12) menegaskan bahwa untuk membangun sebuah area perkebunan berskala besar memerlukan ijin dari instansi terkait (Dinas Perkebunan-BPN). Untuk mendapatkan izin itu, dana yang dibutuhkan tidak sedikit.

“Lahan harus diBPN-kan sebagai salah satu prasyarat mendapatkan ijin dari Dinas Perkebunan Riau. Itupun lahan sudah harus bebas dari kawasan konservasi (Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Hutan Lindung, Kawaan Lindung Gambut dan lainnya). Jika persyaratan dan status lahan sudah jelas dan memang untuk kawasan pengembangan pertanian/perkebunan sesuai dengan RTRWP, izin perkebunan baru bisa dikantongi. Untuk itu, diperlukan dana yang tidak sedikit,” terangnya.

Disinggung mengenai harga kebun sawit, Wisnu menyatakan bahwa kendati harga TBS sawit sempat anjlok beberapa waktu lalu, namun harga lahan berkebunan sawit cukup stabil. Yaitu di kisaran Rp 40-50 juta perhektarnya. Menurutnya, harga tersebut adalah untuk kebun sudah jadi. Harga tersebut dengan pertimbangan harga lahan kosong, biaya administrasi perijinan dan biaya pembangunan (land clearing, pengadaan bibit sawit dan penanaman serta pemeliharaan).

Sementara itu, Kasubdin Sawit Disbun Riau, Sofyan Harahap menyatakan bahwa masalah perijinan tidak tersentral di Disbun Riau. Karena saat ini Pemkab/Pemko sudah memiliki wewenang untuk menerbitkan perijinan perkebunan di wilayah pemerintahannya masing-masing.

“Saat ini pemkab/pemko sudah memiliki wewenang untuk menerbitkan perijinan perkebunan di wilayah kerja masing-masing. Namun, jika sebuah kawasan dengan hamparan yang berada di dua wilayah kabupaten/kota (lintas kabupaten/kota), maka perijinannya ada di Dina Perkebunan Provinsi. Jadi untuk mencari keberadaan perijinan sebuah kawasan perkebunan memang perlu dilihat ke wilayah kabupaten/kota.,” terangnya.***(H-we)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22221

Rabu, 17 Desember 2008

Harga TBS Sawit dan Getah Karet Kembai Anjlok

Rabu, 17 Desember 2008 07:5

Kenaikan harga TBS kelapa sawit dan getah karet ternyata tak bertahan lama. Pada pekan ini harga kedua komoditas unggulan perkebunan Riau tersebut kembali melemah.

Riauterkini-PEKANBARU- Petani kelapa sawit dan karet di Riau harus kembali kecewa, pasalnya pekan ini harga kedua komoditas unggulan perkebunan Riau tersebut kembali melemah. Padahal, pekan kemarin harga tandan buah segar (TBS) sawit sempat sangat menjanjikan, melampui Rp 1.000/kilogram untuk TBS dari tanaman bibit unggul dengan usia di atas 10 tahun.

Berdasarkan hasil rapat tim penentuan harga TBS kelapa sawit Dinas Perkebunan Riau, Selasa (16/12) kemarin, harga TBS sawit mengalami penurunan dibandingkan pekan lalu. Sebelumnya harga TBS dari tanaman sawit bibit unggul usia 3 tahun dihargai Rp 756,24/kilogram, untuk pekan ini turun menjadi Rp 670,57/kilogram. Sedangkan untuk TBS dari tanaman bibit unggul berusia di atas 10 tahun kini harganya Rp 937,46/kilogram. Padahal sebelumnya Rp 1.057,32/kilogram. Untuk TBS dari tanaman berusia 8 tahun seharga Rp 883,73/kilogram.

"Pekan ini harga CPO di pasar dunia kembali turun. Imbasnya penetapan harga TBS juga turun," ujar Kasubdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Riau Fery kepada riauterkini di Pekanbaru, kemarin.

Kondisi lebih buruh dialami harga getah karet. Setelah kemarin turun dratis dari Rp 15.000/kilgoram menjadi hanya Rp 11.000/kilogram, harga pekan ini getah karet kembali melorot. Berdasarkan data dari Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Riau, pekan ini harga getah karet dengan kadar di atas 95 persen di pintu pabrik hanya Rp 10.000/kilogram.***(mad)
http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22094

Eks HGU PTPN II Harus Diselesaikan

Selasa, 16 Desember 2008 | 03:00 WIB 

Medan, kompas - Persoalan kejelasan lahan milik PTPN II yang sudah dikeluarkan dari hak guna usaha atau HGU seluas 5.873,06 hektar harus diselesaikan secepatnya. Ketidakjelasan lokasi lahan membuat luas lahan PTPN II yang dikuasai masyarakat maupun pihak ketiga lainnya mencapai dua kali lipat dari luas lahan yang sudah dikeluarkan dari HGU.

Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Sofyan A Djalil di Medan, Senin (15/12), mengatakan, persoalan kejelasan status lahan PTPN II yang sudah dikeluarkan dari HGU sebaiknya diselesaikan dengan cara hukum. ”Undang juga pihak-pihak yang berkepentingan seperti gubernur, bupati, wali kota, dan BPN (Badan Pertanahan Nasional),” ujar Sofyan.

Lahan seluas 5.873,96 hektar milik PTPN II yang dikeluarkan dari HGU sebenarnya bakal dimanfaatkan untuk empat kepentingan, yakni masyarakat, perluasan wilayah administratif daerah, ruang terbuka hijau, dan sumber resapan air. Namun selama ini baik PTPN II maupun BPN belum menegaskan batas lahan seluas 5.873,06 hektar tersebut. Akibatnya, di lapangan, masyarakat dan pihak ketiga lainnya main serobot lahan milik PTPN II.

”Karena tidak diselesaikan secepatnya, fakta di lapangan malah menunjukkan jumlah lahan yang dikuasai masyarakat dan pihak ketiga sudah lebih dari 10.000 hektar atau dua kali lipat dari yang seharusnya dilepaskan,” ujar Sekretaris Komisi A DPRD Sumut Edison Sianturi.

Sebelumnya Sofyan yang datang ke Medan dalam acara penyerahan aset milik PTPN II, berupa pertapakan dan bangunan kompleks Kantor Gubernur Sumut kepada Pemprov Sumut, mengungkapkan, hendaknya penyelesaian tanah milik perkebunan negara bisa secara baik-baik. Dia mencontohkan, aset milik PTPN II berupa bangunan dan pertapakan, yang sekarang menjadi kompleks Kantor Gubernur Sumut, bisa diserahkan kepada Pemprov Sumut dengan ganti rugi hanya Rp 1.000.

Tanah pertapakan dan bangunan tua di kompleks Kantor Gubernur Sumut dulunya merupakan bekas kantor Deli Maschapij yang setelah kemerdekaan dikuasai perusahaan perkebunan negara. Namun, sejak 60 tahun lalu, bekas gedung Deli Maschapij itu jadi tempat berkantor Gubernur Sumut. Baru Senin, pertapakan dan bangunan di atasnya diserahkan kepada Pemprov Sumut oleh Menneg BUMN.

Anggota Komisi A DPRD Sumut, Abdul Hakim Siagian, mengungkapkan, cara Menneg BUMN dalam menyelesaikan aset PTPN II berupa tanah pertapakan dan bangunan di kompleks Kantor Gubernur Sumut seharusnya bisa diterapkan dalam kasus lahan eks HGU PTPN II.

”Kalau Pemprov Sumut saja hanya membayar ganti rugi Rp 1.000 dari yang seharusnya Rp 21 miliar, mengapa rakyat yang nyata-nyata membutuhkan lahan untuk menopang kehidupannya justru dipersulit,” katanya. (BIL)


http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/16/00055660/eks.hgu.ptpn.ii.harus.diselesaikan

PT. Inhutani IV Kembangkan Batang Sawit untuk Kayu Lapis



(Gambar ini di ambil pada Ekspo/Alih Teknologi 2008 Balitbang Dephut di Balai Dang Merdu Pekanbaru Riau)
Selasa, 16 Desember 2008 15:26
Kebun kelapa sawit akan bertambah dinilai ekonomisnya setelah melewati usia produktif. Saat ini PT. Inhutani IV tengah mengembangkan batang sawit untuk kayu lapis. 

Riauterkini-PEKANBARU- Industri kayu lapis (plywood) mendapat alternatif bahan baku potensial dari batang kelapa sawit yang melewati usia produktif. Jika selama ini batang-batang sawit yang sudah berusia 25 tahun ke atas ditumbang begitu saja kemudian diremajakan, maka ke depan akan dijadikan bahan baku kayu lapis. 

Potensi batang sawit menjadi bahan baku industri kayu lapis terungkap merupakan hasil penelitian Bagian Penilitan dan Pengembangan (Litbang) Departemen Kehutanan yang dipamerkan pada Ekspose/Alih Teknologi Badan Litbang Kehutanan 2008 yang digelar di Balai Dang Merdu Pekanbaru, Selasa (16/12). Pameran tersebut dibuka pelaksana tugas (Plt) Setdaprov Riau Herliyan Saleh mewakili Gubernur Riau M Rusli Zainal. Turut membuka Kepala Penilitian dan Pengembangan (Litbang) Kehutanan Wahjudi Hardojo. 

“Saat ini kita telah menunjuk PT. Inhutani IV untuk mengembangkan batang sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis. Hasilnya sangat menjanjikan,” ujarnya menjawab riauterkini usai meninjau sejumlah stand yang mengikuti pameran. 

Dipaparkan Wahjudi, penggunaan batang sawit sebagai bahan baku industri kayu lapis memiliki keuntungan ganda. Pertama bisa memanfaatkan limbah menjadi komoditas bernilai ekonomis tinggi. “Pasar kayu lapis sangat besar. Tidak hanya dalam negeri, tetapi juga untuk pasar ekspor,” tukasnya. 

Keuntungan kedua, lanjut Wahjudi berupa sosuli mencegah terus berlanjutnya degradasi hutan alam. Dengan adanya bahan baku dari non hutan, otomatis penebangan kayu di hutan alam akan berkurang. 

Provinsi Riau, lanjut Wahjudi, dengan potensi perkebunan seluas 1,6 juta hektar sangat tepat jika mengembangkan industri kayu lapis berbasis bahan baku batang sawit. “Di Riau kabarnya setiap bulan ada sekitar 5.000 hektar kebun sawit yang harus diremajakan. Ada berapa juta meterkubik bahan baku kayu lapis dari batan sawit,” tegasnya. 

Penjelasan Wahjudi dikuatkan keterangan Bagian Penerangan PT. Inhutani IV Haimar saat ditemui riauterkini di stand tempatnya bekerja. Sambil menunjukkan sejumlah hasil kayu lapis dari batang sawit, Haimar memastikan batang sawit terbukti bisa dijadikan plywood dan solidwood. “Ini buktinya. Sangat bagus. Setara, bahkan lebih kuat dari kayu biasa,” pujinya sambil menunjukkan selembar kayu lapis dari batang sawit. 

Diejalaskan Haimar, untuk saat ini PT. Inhutani IV baru sebatas melakukan penelitian dan pengembangan, direncanakan pada 2009 kayu lapis batang sawit akan diproduksi untuk pasar umum.***(mad)
http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22081

Senin, 15 Desember 2008

Pemulihan Bukit Suligi Berlanjut,


HADANG PEMBONGKARAN: Sejumlah warga menyandera alat berat yang digunakan BKSDA Riau dan Pemkab Rohul membongkar tanaman sawit di hutan lindung Bukit Suligi, Sabtu (13/12). Tak ingin bentrok, pembongkaran dihentikan sementara.
Senin, 15 Desember 2008 17:54
4.810 Tanaman Kelapa Sawit Dibongkar

Setelah sempat dihadang warga pada Sabtu lalu, tim terpadu melanjutkan tugas membongkar perkebunan kelapa sawit di hutan lindung Bukit Suligi. Sebanyak 4.810 batang kelapa sawit dirobohkan.

Riauterkini-PEKANBARU- Tim terpadu yang terdiri dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau dan Pemerintah Kabupaten Rokan Hulu (Rohul) melanjutkan upaya pemulihan kembali kawasan hutan lindung Bukit Suligi di Kecamatan Tandun, Kabupaten Rohul, Senin (15/12). Sebelumnya upaya tim terpadu yang didampingi aparat TNI dan Polri terpaksa terhenti karena sejumlah warga peladang liar megnhalang-halang, Sabtu (13/12).

Kepala BBKSDA Riau Rachman Siddik kepada wartawan di Pekanbaru, Senin, (15/12) mengatakan hingga siang ini pihaknya sudah berhasil memusnahkan sekitar 7 hektare tanaman kelapa sawit atau sebanyak 4.810 batang kelapa sawit milik warga yang berada di dalam hutan lindung.

“Perkebunan kelapa sawit yang berada di dalam kawasan lindung sudah menyalahi aturan dan harus dibersihkan. Tidak ada kompromi dan kompensasi. Hutan lindung harus bersih dari perkebunan kelapa sawit,” kata Rachman.

Pemusnahan kali ini merupakan kelanjutan dari dua tindakan pemusnahan sebelumnya. Pemusnahan tahap pertama pada Agustus lalu berhasil menumbangkan sekitar empat hektare tanaman kelapa sawit. Kemudian pada November, pemerintah memusnahkan sekitar 12 hektare tanaman kelapa sawit.

Sejak Sabtu (13/12) hingga Senin (15/12) siang, sudah sekitar 21 hektare tanaman kelapa sawit yang dimusnahkan dengan cara ditumbang dan dibongkar. Setiap hektarenya terdapat sekitar 130 batang tanaman kelapa sawit. Pemusnahan ini melibatkan tiga unit alat berat yang dikawal seratusan lebih aparat gabungan dari Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC), Kepolisian dan Kejaksaan. “Rencananya besok kami akan menambah satu lagi alat berat agar semakin lekas tuntas pembersihan tanaman kelapa sawit di dalam kawasan lindung ini,” ujarnya.

Pemerintah berupaya mengembalikan fungi kawasan Bukit Suligi sebagai hutan lindung. Dari sekitar 30 ribu luas kawasan lindung ini, hanya 500 hektare saja yang memiliki tutupan hutan. Selebihnya beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit.

Pemulihan fungsi kawasan ini mendesak karena Bukit Suligi merupakan area tangkapan air di bagian hulu sejumlah sungai besar di Riau. Seperti Sungai Rokan, Tapung dan Siak. Kemampuannya menjadi area tangkapan air semakin berkurang karena beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit warga. “Tindakan ini untuk meminimalkan bencana banjir yang kerap terjadi di sejumlah daerah di Riau. Terutama daerah-daerah di hilir sejumlah sungai tadi. Setelah sawitnya dimusnahkan, kawasan ini akan direobisasi,” jelas Rachman.***(mad)
http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=22070

HGU Tumpang Tindih

Koordinasi Belum Lancar
Senin, 15 Desember 2008 | 03:00 WIB 

Banda Aceh, Kompas - Petani sawit menilai koordinasi antara Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan pemerintah kabupaten/kota dalam pengembangan perekonomian rakyat, terutama perkebunan kelapa sawit, tidak berjalan.

Hal ini terlihat dari sering tumpang tindihnya perizinan yang merugikan semua pihak.

Zainuddin Aji, Ketua Lembaga Perkebunan Sawit Rakyat Aceh Timur, ditemui di sela-sela lokakarya sawit berkelanjutan di Banda Aceh, Sabtu (13/12), mengaku dirinya sering kali mengurus perizinan bagi para petani plasma ke beberapa dinas terkait, tetapi tidak berhasil.

”Belasan kali mencoba, tetapi tidak pernah mendapat tanggapan apa pun dari dinas terkait, baik di daerah maupun di provinsi,” katanya.

Aji mengatakan, beberapa kali dirinya mencoba mengurus perizinan dan sertifikasi lahan bagi para calon petani plasma perkebunan kelapa sawit di Aceh Timur. Usaha yang dilakukannya adalah mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional di tingkat kabupaten dan provinsi. Namun, akunya, sampai sekarang belum berhasil.

Lebih lanjut dia mengatakan, saat ini lebih dari 10.000 hektar lahan perkebunan telantar yang sebenarnya bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk perkebunan kelapa sawit. Lahan-lahan tersebut merupakan lahan pemerintah dan lahan milik para transmigran asal berbagai daerah di Indonesia. Aji mengakui, saat ini sedang mulai mengusahakan sekitar 5.000-an hektar lahan tidur untuk diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Sekitar 1.000 keluarga, kata Aji, saat ini sedang menjalani pelatihan secara bertahap untuk memperdalam pengetahuan mereka mengenai tata cara menanam kelapa sawit.

Permasalahan yang dihadapi, kata Aji, adalah para calon petani plasma menginginkan kepastian hukum calon lahan yang ingin digarapnya. Para petani, katanya, tidak ingin lahannya diambil alih oleh pihak mana pun ketika sedang diusahakan.

Selain itu, kata Aji, pemerintah setempat juga tidak memiliki database mengenai lahan-lahan tidur yang akan digarap. ”Itu menjadi masalah tersendiri bagi kami,” katanya.

Hal tersebut diakui oleh T Yacob Ishadamy, anggota tim asistensi bidang perekonomian Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut Yacob, tidak mudah bagi timnya untuk memperoleh data-data serta peta-peta hak guna usaha milik para pengusaha perkebunan yang mengusahakan lahannya di Aceh ini.

”Akhirnya kami sering kali harus turun ke lapangan sendiri untuk memastikan peta-peta yang sudah dimiliki,” katanya.

Tim, kata Yacob, sering kali menemukan peta-peta HGU milik para pengusaha yang tumpang tindih dengan lahan lain yang juga diusahakan, baik oleh pengusaha lain maupun rakyat. Tidak jarang, katanya, lahan yang diusahakan keluar dari peta yang telah ditetapkan. ”Banyak,” katanya ketika ditanya mengenai jumlah kebun kelapa sawit yang keluar dari peta HGU.

Ketua Tim Penyusun Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh Bhakti Siahaan juga mengakui hal itu. Menurut dia, bila hal ini tidak diselesaikan, tahun-tahun mendatang


http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/15/00025452/hgu.tumpang.tindih

Minggu, 14 Desember 2008

Awal 2009, Harga TBS Normal

Kamis, 11 Desember 2008 | 08:08 WIB 
PEKANBARU--Dinas Perkebunan (Disbun) Riau memprediksi awal tahun 2009 mendatang, harga jual Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit akan kembali normal. Hal ini dikarenakan kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga jual TBS sudah terlaksana. Saat ini harga jual TBS di kisaran Rp1.057.
 
Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Riau Susilo SE yang ditemui di Kantor Gubernur Riau, Rabu (10/12) mengatakan, jika pekan lalu harga sawit mencapai Rp975,99 per kilogram, maka berdasarkan hasil rapat Tim Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Provinsi Riau, Rabu (10/12), harga sawit mencapai Rp1.057 per kilogram.

“Kita optimis harga sawit awal tahun depan akan kembali normal. Jika kita lihat perkembangan harga sawit saat ini, sudah mulai mengalami peningkatan. Dan kita tetap berupaya untuk meningkatnya,” tuturnya.

Dikatakannya, hasil keputusan rapat Tim Penetapan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Provinsi Riau pada Rabu (10/12) melalui pembahasan dan diskusi yang dilakukan oleh anggota tim terhadap informasi dan data yang disampaikan oleh empat perusahaan sumber data 10 perusahaan yang ditetapkan, telah dinyatakan layak untuk diolah yakni, harga CPO rerata tertimbang priode penjualan 1-7 Desember 2008 Rp5.213,00. 

Harga kernel rerata tertimbang priode penjualan 1-7 Desember 2008 Rp2.216,49, indek “K” (persen) 84,37 persen dengan menggunakan rumus HTBS = K{(HCPOxRCPO)+(hisxRis)}. 

Berdasarkan keputusan tersebut, dapat dirinci harga sawit priode Senin hingga Minggu tanggal 8 sampai 14 Desember 2008 sebagai berikut untuk harga sawit umur 3 tahun Rp756,24 per kilogram. Sawit umur 4 tahun Rp845,47 per kilogram, umur 5 tahun Rp905,13 per kilogram, umur 6 tahun Rp930,86 per kilogram, umur 7 tahun Rp966,65 per kilogram, umur 8 tahun, Rp996,73 per kilogram, umur 9 tahun Rp1.028,18 per kilogram dan umur 10 tahun ke atas Rp1.075,32 per kilogram. ‘’Kita berharap harga TBS ini terus mengalami kenaikan sehingga petani tidak disulitkan karena penurunan harga TBS ini dan kita optimistis awal tahun mendatang harga TBS akan kembali normal,’’ tuturnya.(uli)
http://www.riautoday.com/

Warga Gagalkan Pembongkaran Kebun Sawit di Bukit Suligi

Ahad, 14 Desember 2008 17:20
Sandra Alat Berat,
Upaya BKSDA Riau membebaskan kawasan hutan lindung Bukit Suligi dari kebun kelapa sawit tak berjalan mulus. Puluhan warga menyandera alat berat untuk menggagalkan pemulihan kawasan penyanggah tersebut.

Riauterkini-TANDUN- Untuk ketiga kalinya Departemen Kehutanan, melalui Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Riau bekerjasama dengan Pemkab Rokan Hulu (Rohul) melakukan pembongkaran tanaman kelapa sawit ilegal di kawasan hutan lindung Bukit Suligi di Desa Sungai Kemuning, Kecamatan Tandung, Sabtu (13/12). Namun upaya tersebut tak berjalan mulus. baru sekitar satu hektar tanaman kelapa sawit dirobohkan dengan menggunakan dua unit eskafator muncul puluhan warga yang mengaku pemilik tanaman tersebut.

Warga yang terdiri dari pria dan wanita tersebut menghadang alat berat yang sedang bekerja. Bahkan kaum hawa merebahkan diri dihadapan alat berat sambil menangis dan meronta. Ulah ini membuat puluhan warga lainnya mendekati alat berat. Perlawanan dari warga tidak mampu dicegah seratusan lebih aparat gabungan dari Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat (SPORC), Kepolisian dan Kejaksaan yang mengawal pemusnahan. Aparat berupaya menghidari bentrokan dengan warga. Dan terpaksa menghentikan sementara upaya pemusnahan. Warga mengaku tidak ada pemberitahuan sebelumnya soal pembongkaran ini. Mereka juga menganggap perkebunan ini merupakan tanah ulayat dan berada di luar kawasan lindung Bukit Suligi.

Yurnatis, 50, salah seorang pemilik kebun meminta pemerintah menghentikan pemusnahan kebun hingga ada jalan keluar yang terbaik bagi mereka. Pria yang mengaku memiliki 13 hektare tanaman sawit berumur 10 tahun ini meminta pemerintah memberi kesempatan pada warga menyelesaikan satu rotasi masa tanaman. “Kami minta tamanan ini ini dibiarkan hidup hingga berumur 20 tahun. Karena kami sudah mengeluarkan biaya cukup besar untuk menanam dan memelihara tanaman ini,” pinta Yurnatis.

Menurut Kepala BKSDA Riau Rachman Siddik, upaya pemusnahan kemarin merupakan langkah ketiga setelah sebelumnya pada Agustus dan November lalu pemerintah melakukan hal yang sama. Sekitar 16 hektare tanaman kelapa sawit dibongkar pada dua pemusnahan tersebut. Targetnya Bukit Suligi akan terus dibersihkan dari tanaman kelapa sawit hingga 100 hektare sampai 23 desember mendatang.

"Dengan pembongkaran tanaman kelapa sawit pemerintah berupaya mengembalikan fungi kawasan Bukit Suligi sebagai hutan lindung. Dari sekitar 30 ribu luas kawasan lindung ini, hanya 500 hektare saja yang memiliki tutupan hutan. Selebihnya beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit," ujarnya kepada wartawan.

Lebih lanjut Rachman Siddik mengatakan, pemulihan fungsi kawasan ini mendesak karena Bukit Suligi merupakan area tangkapan air di bagian hulu sejumlah sungai besar di Riau. Seperti Sungai Rokan, Tapung dan Siak. Kemampuannya menjadi area tangkapan air semakin berkurang karena beralihfungsi menjadi perkebunan kelapa sawit warga. “Tindakan ini untuk meminimalkan bencana banjir yang kerap terjadi di sejumlah daerah di Riau. Terutama daerah-daerah di hilir sejumlah sungai tadi. Setelah sawitnya dimusnahkan, kawasan ini akan direobisasi,” jelasnya.

Sementara Kepala Dinas Kehutanan Rohul Asril Astaman mengatakan pemerintah tidak memberikan toleransi dan kompensasi apapun terhadap perkebunan di dalam kawasan lindung Bukit Suligi. “Warga boleh mengatakan dalih apa saja untuk pembenaran tindakan mereka. Tapi kami tetap pada keputusan untuk mengembalikan fungsi kawasan ini sebagai hutan lindung. Ini untuk kepentingan masyarakat yang lebih besar,” jelas Asril.

Menurutnya, warga menduduki hutan lindung ini sekitar 10 tahun lalu ketika era reformasi mulai bergulir. Saat itu kontrolnya memang lemah karena daerah ini dulunya jadi bagian Kabupaten Kampar. Hingga juah dari pengawasan. “Kebijakan ini tidak hanya penyelamatan lingkungan hidup. Tapi juga untuk menyelamatkan komoditas sawit Indonesia yang citranya buruk di mata Internasional karena ditanam di kawasan lindung. Jadi kami harus konsisten melaksanakan kebijakan ini,” ujarnya.***(mad)


http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=22058

Sabtu, 13 Desember 2008

Pemprov NAD Tahun 2009 Lakukan Uji Coba Sistem Zonasi Pertanian

Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:18 WIB 

Banda Aceh, Kompas - Tahun 2009, Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berencana melakukan uji coba pembagian wilayah tanam untuk zona-zona wilayah tertentu di daerah penyangga pertanian. Keseragaman ini diharapkan bisa menjaga kualitas hasil tanam dan harga jual di tingkat petani.

Kepala Badan Ketahanan Pangan NAD Silman Haridy, ditemui di kantornya di Banda Aceh, awal pekan ini, mengatakan, rencana ini sedang dalam tahap pembahasan dengan instansi teknis terkait, seperti dinas pertanian tanaman pangan dan hortikultura, dinas perindustrian dan perdagangan, serta sekretariat daerah.

Silman mengatakan, selama ini harga di tingkat petani masih sangat rendah karena gabah mereka langsung dibeli pengepul.

”Para pengepul inilah yang selama ini menentukan harga. Meski dalam kondisi bagus, para petani ditekan untuk menjual hasil produksinya dengan harga rendah,” kata Silman.

Tak diuntungkan

Silman menjelaskan, para petani sama sekali tidak diuntungkan dengan banyaknya varietas tanaman padi yang ditanam di lahan sawah mereka. Beragamnya jenis varietas padi yang ada di dalam satu wilayah sama sekali tidak menjamin tingginya harga di tingkat petani.

”Kalau varietasnya sama, pengelolanya sama, yaitu para petani, mereka yang akan menentukan harga di tingkat produsen. Bukan para pengepul,” katanya.

Rencananya, kata Silman, penyeragaman ini akan dilakukan pada tingkat kemukiman. Tiap kemukiman akan ditentukan varietas unggulan yang akan ditanam di wilayah tersebut.

”Hasilnya akan dikelola oleh semacam koperasi pertanian bentukan kelompok tani. Mereka yang akan menentukan harga jual kepada pengepul. Tentunya harga akan berada di atas harga pembelian petani yang sudah ditentukan oleh pemerintah,” katanya.

Silman mengatakan, selain mengurangi kemungkinan terjangkitnya hama penyakit karena waktu tanam yang bersamaan, adanya penyeragaman varietas dalam satu musim juga akan meningkatkan produksi satu jenis varietas unggul di satu wilayah tertentu.

”Begitu juga dengan kebutuhan-kebutuhan lainnya. Semua bisa terpantau. Termasuk kebutuhan penggunaan pupuk di satu wilayah dalam satu kali masa tanam,” katanya.

Beberapa ahli ekonomi menyatakan pemerintah Aceh dan warganya harus berinisiatif membangun industri pertanian yang kreatif agar memberi nilai tambah bagi keluarga-keluarga mereka. (MHD)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/13/0118237/pemprov.nad.tahun.2009.lakukan.uji.coba.sistem.zonasi.pertanian

Ekstensifikasi Lahan Sawit Ditolak

Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:18 WIB 

Banda Aceh, Kompas - Tim Penyusun Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh tidak merekomendasikan rencana Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di sejumlah wilayah. Peningkatan produktivitas hasil perkebunan kelapa sawit dengan luasan lahan perkebunan yang ada harus menjadi pilihan dibandingkan ekstensifikasi lahan.

Graham Usher, anggota TPRSPHA-Pemprov NAD, dalam paparannya saat Lokakarya Multi-pihak Pengembangan Kelapa Sawit Berkelanjutan di Banda Aceh, Jumat (12/12), mengatakan, kondisi lingkungan tidak memungkinkan adanya ekstensifikasi perkebunan sawit di wilayah ini.

”Tidak direkomendasikan adanya ekstensifikasi atau perluasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit,” katanya.

Graham menjelaskan, hasil kajian tim TPRSPHA, kondisi geologi lingkungan Aceh sudah tidak memungkinkan adanya pembukaan lahan baru perkebunan sawit. Meskipun ada rawa gambut yang bisa ditanami dengan kelapa sawit, hal itu sama sekali tidak direkomendasikan untuk dilakukan lagi.

Dia menjelaskan, dari total luas hutan di Aceh sekitar 3,5 juta hektar, yang berada dalam kondisi cukup baik hanya 58-60 persen. Sisanya, katanya, sudah dalam kondisi yang rusak parah. ”Sebaiknya tidak ada pengurangan luasan hutan kembali,” katanya.

Perluasan

Pemprov NAD sendiri berencana memperluas perkebunan kelapa sawit dalam beberapa tahun mendatang. Rencananya, program pengembangan kelapa sawit yang termasuk dalam program Aceh Green tersebut akan mengembangkan sekitar 200.000 hektar lagi perkebunan kelapa sawit.

Graham mengakui tidak adanya kesamaan persepsi antara perencanaan di tingkat makro (pemerintah provinsi) dan dinas-dinas teknis serta pemerintah kabupaten/kota lainnya. ”Persepsi mereka, membuka lahan baru. Bukan memberdayakan lahan tidur,” katanya.

Rendah

Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan Perkebunan Daerah NAD Sabri Basyah mengakui, saat ini tingkat produktivitas perkebunan di Aceh masih sangat rendah dibandingkan dengan rata-rata nasional. Tingkat produktivitas lahan perkebunan kelapa sawit di tingkat nasional, katanya, sudah mencapai lebih dari 3 ton minyak kelapa sawit mentah per hektar. ”Sedangkan di Aceh masih kurang dari 1 ton per hektar. Sangat rendah,” katanya. (MHD)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/13/01184490/ekstensifikasi.lahan.sawit.ditolak

Sawit Ilegal Tak Terusut

Sejak 2005 Belum Tuntas Proses Hukumnya
Sabtu, 13 Desember 2008 | 01:18 WIB 

Medan, Kompas - Kasus perdagangan sawit ilegal atau tanpa dokumen terhenti sejak 2005. Penyidikan kasus ini tidak transparan dan belum ada pelaku yang terkena sanksi hukum. Kasus terakhir, perdagangan 30.000 benih sawit ilegal dari Medan ke Kendari, Sulawesi Tenggara, belum jelas hasilnya.

”Saya belum mendapat kabar hasil penyelidikan kasus ini. Sebagai pelapor, kami mestinya mendapatkan informasi hasil pemeriksaan. Namun sejak 2005, semua kasus penggagalan perdagangan benih sawit ilegal belum ada hasil,” tutur Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Karantina Pertanian Kelas II Medan Susana Bangun, Jumat (12/12).

Susana mengatakan, sejak tahun 2005, Balai Karantina telah menyerahkan enam kasus serupa hasil penggagalan petugas. Sayangnya, sejak itu pula tidak pernah ada hasil pemeriksaan petugas. Sepenuhnya, kata Susana, proses pemeriksaan ini ada di tangan PPNS.

Susana mengaku kecewa terhadap lambannya proses penyidikan petugas. Dia berharap PPNS Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) transparan dalam hal pemeriksaan perdagangan benih sawit ilegal.

Orang kuat

Berlarutnya proses penyidikan perdagangan benih sawit ilegal ini dia duga melibatkan orang kuat. Salah satunya mereka yang kedapatan langsung sebagai pelaku perdagangan. Sejumlah kasus yang melibatkan orang kuat ini salah satunya anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Asahan akhir tahun lalu. Adapun kasus terakhir diduga kuat melibatkan petugas pengiriman barang di Bandara Polonia dan PT Pos Indonesia.

Dugaan keterlibatan jaringan terorganisasi sempat disampaikan Susana bulan lalu. Indikasinya, kasus terakhir lolos dari pantauan petugas sebanyak tiga kali pengiriman. Hal yang sama disampaikan perwakilan PT Damai Jaya Lestari (DJL) Asmansyah. Pengiriman ini sama sekali tidak sepengetahuan perusahaannya. Hanya saja pengiriman benih sawit tersebut mengatasnamakan PT DJL dengan memakai dokumen palsu.

Kepala BBP2TP Sumut Rismansyah mengatakan, kasus ini masih dalam penanganan PPNS. Belum ada laporan, tuturnya, yang sampai kepadanya terkait dengan pemeriksaan ini. ”Sejauh ini kami masih meminta keterangan saksi-saksi. Ada enam kasus yang kami periksa bekerja sama dengan Polda (Kepolisian Daerah) Sumut,” tuturnya.

Dia mengatakan, pemeriksaan perdagangan benih sawit ilegal ini perlu kehati-hatian. Ada fakta yang terpaksa tidak bisa disampaikan ke publik demi kepentingan penyelidikan. (NDY)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/12/13/01180085/sawit.ilegal.tak.terusut

Jumat, 12 Desember 2008

Luas Kebun K2i Bertambah Jadi 11.619 Hektar

Rabu, 10 Desember 2008 15:18
Meski banyak dibelit masalah, namun program kebun K2i berlanjut. Bahkan perubahan kotrak menyebabkan luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

Riauterkini-PEKANBARU- Berdasarkan kontrak awal antara Pemprov Riau dengan PT. Gerbang Eka Palmina (GEP), luas kebun kelapa sawit yang akan dibangun dalam rangka mengentaskan kemiskinan adalah 10.200 hektar, namun setelah dilakukan perubahan kontrak luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

“Setelah dilakukan perubahan kontrak dengan PT.GEP terjadi penambahan luas kebun menjadi 11.619 hektar,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo kepada riauterkini di ruang kerjanya, Rabu (10/12). 

Perubahan kontrak yang dimaksud Susilo terjadi pada batas kewajiban PT.GEP dalam membangun kebun. Jika semula anggaran Rp 217 miliar (termasuk pajak) GEP harus membuka lahan, menanam dan memelihara kebun kelapa sawit seluas 10.200 hektar, kini kewajibannya hanya sebetas sampai menanam. Sementara untuk memelihara akan menggunakan anggaran lain. 

Karena batas kewajibannya dikurangi, maka terjadi penurunan nilai kontrak setiap hektarnya. Jika sebelumnya satu hektar Rp 19,5 juta menjadi Rp 15 juta sampai penanaman pohon kelapa sawit. 

Dijelaskan Susilo, untuk pemeliharan PT.GEP akan menggandeng pihak perbankan dalam mendanainya. “Sudah ada pembicaraan dengan sejumlah bank untuk mendanai proses pemeliharaan kebun sampai masa panen dan diserahkan kepada petani,” paparnya. 

Lebih lanjut Susilo mengatakan, bahwa sampai akhir 2008 penanaman kelapa sawit oleh PT.GEP ditargetkan mencapai 2.000 hektar. Sedangkan untuk tahun depan ditargetkan bisa menanam hingga 8.000 hektar. Ia yakin target selesai 2010 sebagaimana diamanahkan Perda bisa tercapai. “Sekarang tidak ada masalah. Tinggal Kuansing dan Rokan Hulu yang lahannya belum tuntas penyediaannya. Selebihnya sudah tersedia dan siap ditanam,” demikian penjelasannya.***(mad)


Rabu, 10 Desember 2008 15:18
Luas Kebun K2i Bertambah Jadi 11.619 Hektar 

Meski banyak dibelit masalah, namun program kebun K2i berlanjut. Bahkan perubahan kotrak menyebabkan luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

Riauterkini-PEKANBARU- Berdasarkan kontrak awal antara Pemprov Riau dengan PT. Gerbang Eka Palmina (GEP), luas kebun kelapa sawit yang akan dibangun dalam rangka mengentaskan kemiskinan adalah 10.200 hektar, namun setelah dilakukan perubahan kontrak luas kebun bertambah menjadi 11.619 hektar. 

“Setelah dilakukan perubahan kontrak dengan PT.GEP terjadi penambahan luas kebun menjadi 11.619 hektar,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo kepada riauterkini di ruang kerjanya, Rabu (10/12). 

Perubahan kontrak yang dimaksud Susilo terjadi pada batas kewajiban PT.GEP dalam membangun kebun. Jika semula anggaran Rp 217 miliar (termasuk pajak) GEP harus membuka lahan, menanam dan memelihara kebun kelapa sawit seluas 10.200 hektar, kini kewajibannya hanya sebetas sampai menanam. Sementara untuk memelihara akan menggunakan anggaran lain. 

Karena batas kewajibannya dikurangi, maka terjadi penurunan nilai kontrak setiap hektarnya. Jika sebelumnya satu hektar Rp 19,5 juta menjadi Rp 15 juta sampai penanaman pohon kelapa sawit. 

Dijelaskan Susilo, untuk pemeliharan PT.GEP akan menggandeng pihak perbankan dalam mendanainya. “Sudah ada pembicaraan dengan sejumlah bank untuk mendanai proses pemeliharaan kebun sampai masa panen dan diserahkan kepada petani,” paparnya. 

Lebih lanjut Susilo mengatakan, bahwa sampai akhir 2008 penanaman kelapa sawit oleh PT.GEP ditargetkan mencapai 2.000 hektar. Sedangkan untuk tahun depan ditargetkan bisa menanam hingga 8.000 hektar. Ia yakin target selesai 2010 sebagaimana diamanahkan Perda bisa tercapai. “Sekarang tidak ada masalah. Tinggal Kuansing dan Rokan Hulu yang lahannya belum tuntas penyediaannya. Selebihnya sudah tersedia dan siap ditanam,” demikian penjelasannya.***(mad)
http://www.riauterkini.com/sosial.php?arr=22004

Sejak Oktober, Kesejahteraan Petani Menurun

Jum’at, 12 Desember 2008 16:27
Dibandingkan dengan bulan sebelumnya, kesejahteraan petani pada bulan Oktober ini turun. Penurunannya mencapai 9,33 persen.

Riauterkini-PEKANBARU-Kepala Biro Pusat Statistik (BPS) Riau, Irland Indrocahyo kepada Riauterkini Jum’at (12/12) menyatakan bahwa pada bulan Oktober 2008 lalu, kesejahteraan petani sedikit menurun dibandingkan dengan bulan September. Penurunannya relative kecil. Yaitu hanya sebesar 9,33 %.

Jika pada bulan September 2008 lalu tingkat kesejahteraan petani mencapai 104,35%, pada bulan Oktober hanya sebesar 94,62%. Penurunan tersebut disebabkan karena indeks yang diterima petani turun sebesar 8,97%. Sebaliknya indeks yang dibayar petani naik 0,4%.

“Untuk kesejahteraan petani tanaman pangan tercatat sebesar 103,21%. Untuk kesejahteraan petani holtikultura tercatat sebesar 107,93%. Kesejahteraan petani perkebunan rakyat hanya sebesar 80,27%, kesejahteraan petani peternakan sebesar 97,63% dan tingkat kesejahteraan petani nelayan sebesar 95,91%,” terangnya.
br> Kata Irland, komoditas yang memiliki andil terjadinya penurunan indeks yang diterima petani tertinggi terjadi pada subsektor tanaman perkebunan rakyat yang disebabkan turunnya harga sub kelompok tanaman perkebunan rakyat. Antara lain komoditas karet, kelapa sawit dan kelapa. Andil masing-masing komoditas sebesar -19,28%, -6,39% dan -0,63%.

Sementara, katanya, andil komoditas yang menyebabkan kenaikan indeks yang dibayar petani tertinggi pada subsektor peternakan yang disebabkan adanya kenaikan harga komoditas cabe rawit, beras, ikan emas dengan andil masing-masing sebesar 1,69%, 0,37%, dan 0,1%. Serta minyak tanah dan kerang dengan besaran andil masing-masing 0,08%.

“Untuk daging sapid an makanan ringan anak-anak dengan andil masing-masing 0,05%, emas perhiasan dengan andil 0,04%, sabun colek andilnya 0,03%, daster dan ongkos angkut menyumbang andil masing-masing sebesar 0,02%,” terangnya.***(H-we)
http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=22041