Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Sabtu, 29 November 2008

Industri Hilir Hanya Serap 10 Persen CPO di Jambi

Sabtu, 29 November 2008 | 01:10 WIB

Jambi, Kompas - Produksi minyak mentah sawit atau CPO di Jambi telah mencapai 1,1 juta ton. Namun, 90 persen dari produksi tersebut belum dimanfaatkan oleh industri hilir.

Hal ini dikemukakan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi Ali Lubis di Kota Jambi, Jumat (28/11). ”Produksi CPO terus meningkat setiap tahun, tetapi baru satu pabrik di Jambi yang telah mengolahnya menjadi produk jadi, berupa minyak curah,” tuturnya.

Berdasarkan data Dinas Perkebunan, produksi CPO tahun 2007 mencapai 1,15 juta ton. Volume produksi naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai 970.000 ton. Areal penanaman sawit juga rata-rata meluas 30.000 hektar per tahun. Tahun ini sudah 458.000 hektar lahan ditanami sawit. Sebanyak empat juta kecambah juga telah dipersiapkan untuk penanaman tahun 2009.

Satu perusahaan yang telah mengolah CPO menjadi minyak curah adalah PT Agro Indah Persada di Kabupaten Merangin. Kapasitas produksi pabrik tersebut 35 ton CPO dengan menghasilkan 20 ton minyak curah. Ini berarti, baru sekitar 10 persen dari total produksi Jambi yang dimanfaatkan industri hilir. Sementara 90 persen produksi CPO lainnya langsung dijual ke luar Jambi dan diekspor.

Menurut Ali, dengan anjloknya harga CPO belakangan ini, industri hilir perlu dikembangkan agar komoditas tersebut memiliki nilai tambah.

Selain itu, para petani diimbau dapat melaksanakan diversifikasi pertanian. Mereka jangan menanam satu jenis komoditas saja, tetapi sedapat mungkin lebih variatif. Ini supaya apabila terjadi penurunan nilai jual pada salah satu komoditas, petani tidak akan terempas ekonominya karena masih dapat bergantung pada hasil panen komoditas lainnya.

Ali menambahkan, jatuhnya harga TBS tak terlalu memukul petani plasma, tetapi petani swadaya paling terpukul. Oleh karena itu, pihaknya berharap adanya penguatan lembaga tani atau kelompok tani. (ITA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/29/01100595/industri.hilir.hanya.serap.10.persen.cpo.di.jambi

Jumat, 28 November 2008

Petani Sawit Tuntut Lahan Perkebunan


Jumat, 28 November 2008 | 02:02 WIB

Jambi, Kompas - Petani sawit pada sejumlah desa di Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, mengadu ke Kantor Wilayah Badan Pertanahan Negara atau BPN Jambi, Kamis (27/11). Mereka menuntut status kepemilikan lahan perkebunan yang tengah disengketakan dengan PT Jambi Sawit Lestari.

Kepala Desa Simpang Rantau Gedang, Kecamatan Mersam, M. Tarmizi AB mengatakan, kedatangan mereka ke BPN mewakili 480 keluarga petani setempat. Mereka menuntut hak menggunakan 2.480 hektar areal perkebunan sawit PT JSL. Areal ini telah mereka duduki secara bertahap sejak 1995 hingga 2003.

”Kami memanfaatkan dan mengelola lahan karena perusahaan meninggalkan areal tersebut dari tahun 1995. Sejak itu, kamilah yang merawat perkebunan,” tutur Tarmizi.

Ia melanjutkan, belakangan perusahaan kembali masuk ke areal perkebunan untuk memanen hasil sawit yang telah dikelola warga. Hal ini mengakibatkan masyarakat resah.

”Kalau lahan tidak dirawat dan ditelantarkan cukup lama, izin hak guna usaha pada perusahaan semestinya dicabut. Kamilah yang kemudian merawatnya, semestinya memperoleh izin pemerintah,” lanjut Tarmizi.

Hal senada diutarakan Ali Damra, warga setempat. Lahan dikelola sejak perusahaan mengabaikan areal tersebut. (ITA)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/28/02023014/petani.sawit.tuntut.lahan.perkebunan

Kamis, 27 November 2008

Pengusaha Tagih Uang Pungutan

Nilainya Rp 21 Triliun sejak 2001
Kamis, 27 November 2008 | 00:10 WIB

Medan, Kompas - Pengusaha kelapa sawit di Sumatera Utara kembali menagih imbal balik pungutan ekspor atau PE yang dibebankan kepada mereka. Selama ini, pungutan tersebut belum pernah dirasakan dampaknya oleh pengusaha di daerah. Mereka menuntut PE dihapuskan karena tidak memiliki dasar hukum yang kuat.

”Untuk apa saja PE selama ini dipakai, kami tidak tahu. Padahal, nilainya sangat besar,” tutur Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Timbas Prasad Ginting, Rabu (26/11) di Medan.

Timbas menginginkan PE dikembalikan untuk perbaikan infrastruktur perkebunan. ”Selama ini, kami harus menanggung beban tudingan kerusakan infrastruktur,” katanya.

Infrastruktur perkebunan penting artinya untuk memperlancar transportasi dari kebun menuju daerah pemasaran. ”Namun, selama ini tidak terjadi,” kata Timbas.

Selain harus membayar PE, tuturnya, pengusaha harus menanggung biaya pungutan dari setiap daerah. Hal ini, kata Timbas, yang menjadi penyebab biaya produksi kelapa sawit menjadi tinggi.

Pungutan semacam ini berlaku bagi pengusaha kelapa sawit sejak akhir Januari 1984 melalui Surat Keputusan Menteri Perdagangan. Tujuan pungutan ini semata-mata sebagai stabilisator suplai kebutuhan dalam negeri.

Pada awalnya, PE dibebankan 37,18 persen dari harga patokan ekspor (HPE) meski saat ini nilai PE sebesar nol persen dari HPE. Kendati demikian, pengusaha belum merasa tenang karena sewaktu-waktu bisa berlaku lagi.

”Keputusan ini (nilai PE nol persen) bisa berubah jika harga sawit kembali bagus,” katanya.

Nilai PE pernah mencapai 60 persen dari HPE pada 1994 yang ditetapkan oleh SK Menteri Keuangan. Untuk memperbaiki tata niaga kelapa sawit dan produk turunannya, tutur Timbas, perlu komitmen serius pemerintah.

Eksportir minyak sawit mentah (CPO) membayar PE langsung ke rekening bendahara umum negara. Pembayaran dilakukan ke rekening nomor 502000000 Bank Indonesia.

Tidak kuat

Pemberlakuan PE, kata Timbas, tidak berdasarkan dasar hukum yang kuat. Mestinya sebuah pungutan atau pajak dan sejenisnya ditetapkan melalui undang-undang. Anehnya, hasil pungutan ini baru masuk ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sejak 1988. ”Lalu sebelumnya mengalir ke mana?” ujarnya.

Sekretaris Eksekutif Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Elfenda Ananda mengatakan, pemberlakuan pajak harus melalui ketetapan hukum tetap. Pemberlakuan pajak ini tidak bisa hanya melalui surat keputusan menteri.

Berdasarkan hierarki perundang-undangan Indonesia, yang memungkinkan mengatur pajak ini melalui undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan pemerintah, dan peraturan daerah.

”Misalnya di tingkat daerah, keputusan bupati atau gubernur tidak bisa diberlakukan hanya melalui surat keputusan mereka. Keputusan pemberlakuan pajak atau sejenisnya harus melalui persetujuan legislatif,” katanya.

Surat keputusan pejabat, katanya, hanya bisa berlaku di internal lembaga. Aturan ini bisa memicu persoalan hukum. (NDY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/0010473/pengusaha.tagih.uang.pungutan

Disiapkan OP Pupuk Bersubsidi

DPR Minta Pemerintah Kaji Subsidi Langsung
KOMPAS/LUCKY PRANSISKA / Kompas Images
Ketua DPR Agung Laksono (kanan) menyapa (dari kanan) Menteri Pertanian Anton Apriyantono, Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu sebelum memulai rapat kerja yang membahas masalah kelangkaan pupuk di Gedung DPR, Jakarta, Rabu (26/11).
Kamis, 27 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah akan menghitung kembali kebutuhan pupuk bersubsidi untuk musim tanam bulan November dan Desember 2008. Pemerintah juga akan menggelar operasi pasar pupuk bersubsidi.

Akan tetapi, belum dipastikan berapa besar pupuk yang dialokasikan untuk operasi pasar tersebut. Demikian dikatakan Menteri Pertanian Anton Apriyantono dalam Rapat Pimpinan DPR dan pemerintah di Jakarta, Rabu (26/11).

”Tambahan pupuk urea bersubsidi 200.000 ton mungkin kurang. Ini akan dihitung lagi dan segera dicarikan solusi, tapi saya yakin tambahannya sampai Desember 2008 tidak akan terlalu besar,” kata Anton.

Rapat yang dipimpin Ketua DPR Agung Laksono juga dihadiri Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil.

Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Departemen Perdagangan Ardiansyah Parman mengatakan, aturan tentang operasi pasar untuk kebutuhan pupuk bersubsidi sudah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 34 Tahun 2008.

”Sebenarnya produsen bisa langsung menugaskan distributor menyalurkan pupuk ke petani jika terjadi kelangkaan asal ada kepastian dibayar. Tetapi, begitu menyangkut anggaran, pemerintah tidak bisa menyelesaikan sendiri. Perlu selalu dicek juga apakah realisasi penyaluran yang melampaui rencana alokasi itu karena bocor,” ujar Ardiansyah.

Bukan penyelewengan

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menambahkan, kepala daerah juga mempunyai hak merealokasikan keperluan pupuk antarkawasan di wilayahnya, sejauh dilakukan sesuai aturan.

”Perpindahan alokasi yang wajar tidak dianggap penyelewengan, tetapi belum jalan di lapangan,” ujar Mari.

Pada kesempatan itu, DPR mendesak pemerintah membuat langkah darurat penanganan kelangkaan pupuk. Untuk itu, antara lain, akan digelar operasi pasar pupuk bersubsidi di kawasan yang mengalami kelangkaan. Sistem pelaporan cepat juga perlu lebih diefektifkan.

Sekretaris Fraksi PDI-P Ganjar Pranowo mengatakan, kelangkaan pupuk seharusnya bisa dihindari jika kepala desa diposisikan sebagai pengawas penyaluran pupuk dan memegang kontak hotline ke produsen pupuk jika terjadi kelangkaan.

Jika sistem hotline efektif, laporan kelangkaan bisa langsung direspons oleh produsen dengan membawa pupuk bersama tim gabungan, termasuk polisi.

Ketua Komisi VI DPR Totok Daryanto mengatakan, selain menyiapkan langkah darurat untuk mengatasi kelangkaan pupuk, pemerintah juga perlu membuat perubahan mendasar dalam kebijakan pupuk.

Komisi VI mengusulkan, subsidi untuk pupuk disalurkan secara langsung pada petani. ”Subsidi langsung ke petani itu merupakan upaya untuk menyederhanakan persoalan,” ujar Totok.

Sementara itu, Ketua Dewan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia Siswono Yudo Husodo mengatakan, pemerintah harus segera menyempurnakan sistem Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok Tani (RDKK).

Penyempurnaan sistem RDKK harus diikuti penegakan hukum terhadap segala bentuk penyimpangan distribusi. ”Selama ini tidak pernah ada sanksi yang jelas dan menjerakan terhadap pelaku penyimpangan distribusi pupuk,” ujar Siswono. (day/mas/ham)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/27/00522335/disiapkan.op.pupuk.bersubsidi

Restribusi TBS di Pelalawan Jalan Terus

Rabu, 26 Nopember 2008 19:55
Perda Dicabut Mendagri,
Mendagri telah mencabut Perda Nomor 56/2004 milik Pemkab Pelalwan, namun pemungutan restribusi TBS kelapa sawit tetap jalan terus.

Riauterkini-PEKANBARU-Sekretaris Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Riau, Zulbahri kepada Riauterkini Rabu (26/11) mempertanyakan kebijakan Pemerintah Daerah Pelalawan yang masih memungut retribusi kelapa sawit sebesar Rp 0,3 per kilogram. Pasalnya Zulbahri yang mewakili kalangan pengusaha meyakini bahwa perda retribusi TBS tersebut telah dicabut oleh Menteri Dalam Negeri, termasuk perda retribusi TBS di beberapa daerah lainnya. Artinya, saat ini Kabupaten Pelalawan merupakan satu-satunya kabupaten atau kota yang masih tetap memungut retribusi terhadap TBS. "Padahal Menteri Dalam Negeri telah mencabut peraturan daerah Nomor 56/2004, dan daerah-daerah lain tidak lagi melakukan penarikan retribusi berdasarkan perda tersebut," ungkap Zulbahri.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pelalawan, hingga kemarin telah berhasil memungut retribusi TBS sebesar Rp612 juta dari Rp750 juta yang ditargetkan tahun ini. Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan Teguh Budi Prasetyo kepada Riauterkini pada acara pertemuan pengusaha kelapa sawit Kabupaten Pelalawan di hotel Ibis Pekanbaru Rabu (26/11) mengatakan, pendapatan dari pungutan retribusi TBS sawit ini belum memenuhi target yang ditetapkan sebesar Rp 750 juta.

"Pemkab memungut retribusi Rp0,3/kg TBS dari perusahaan yang memiliki pabrik kelapa sawit. Pungutan ini sesuai dengan Peraturan Daerah nomor 56 tahun 2004. Tahun 2007 lalu realisasi pendapatan melebihi target dengan pencapaian realisasi Rp770 juta, padahal target tahun itu hanya Rp650 juta," katanya.

Disinggung mengenai permendagri no. 56/2005 yang sudah dicabut, Kepala Dinas Perkebunan Pelalawan, Teguh Budi Prasetyo mengatakan, bahwa sampai saat ini pihaknya belum mengetahui ataupun menerima surat pencabutan Perda Pelalawan Nomor 56 tahun 2004 oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). " Kita belum menerima surat pencabutan atas perda tersebut. Jadi kami masih tetap menjalankan Perda tersebut. Namun jika surat tersebut sudah sampai, tentu kebijakannya akan lain. Kita harus terima dulu surat itu, jika memang benar," ujarnya.

Terlepas dari polemik mengenai keberadaan perda no.56 tahun 2004 tersebut, Tegus menyatakan bahwa dari 30 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan kelapa sawit yang terdapat di Kabupaten Pelalawan baru tiga perusahaan yang memberikan kontribusinya kepada pemerintah. Yakni PT Adei, PT Sari Lembah Subur dan PT Musim Mas. Selebihnya masih tertunggak atau belum membayar sama sekali.

Ia berharap perusahaan perkebunan yang ada di Kabupaten Pelalawan dapat mengerti dan memahami mengenai keberadaan Perda tersebut dan belum sampainya surat pencabutannya. Sehingga dengan ikhlas memberikan kontribusinya kepada Pemkab melalui kas daerah, untuk pembangunan di Kabupaten Pelalawan. Sebab, sampai saat ini baru tiga perusahaan yang menunaikan kewajibannya.***(H-we)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=21841

Pembangunan Industri Hilir CPO Harus Ditopang Regulasi Pusat

Kamis, 27 Nopember 2008 12:05
Wacana pembangunan industri hilir di Riau untuk stabilitas harga TBS terus mendapat dukungan, namun sulit direalisasikan tanpa regulasi pusat yang menjamin ketersediaan bahan baku.

Riauterkini-PEKANBARU- Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Riau Tiolina Panggaribuan mengatakan, keinginan sejumlah pihak untuk pembangunan industri hilir crude palm oil (CPO) sebagai upaya menjaga stabilitas harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit harus terlebih dahulu ada regulasi dari pemerintah pusat. Regulasi tersebut berupa aturan pembatasan ekspor CPO demi ketersediaan bahan baku industri hilir.

“Intinya kita mendukung pembangunan industri hilir CPO, tetapi kita harus menggesa lahirnya regulasi dari pemerintah pusat untuk membatasi ekspor CPO agar ketersediaan bahan baku industri hilir CPO,” ujarnya menjawab riauterkini di Pekanbaru, Kamis (27/11).

Regulasi tersebut, menurut Tiolina harus ada, sebab jika espor CPO tidak dibatasi, maka pengusaha ekan lebih memilih ekspor karena lebih menguntungkan. Jika itu terjadi maka kelangsungan industri hilir CPO bisa terancam.

Tiolina lantas mengemukakan contoh pelarangan ekspor kayu gelondongan. Semula ekspor hasil hutan Indonesia hanya berupa kayu gelondongan, namun kemudian keluar aturan yang mewajibkan ekspor harus berupa kayu olahan.Regulasi seperti itulah yang harus dikeluarkan pemerintah. Untuk CPO, ke depan akan sangat bagus jika ada larangan eskspor CPO, namun eskpor yang dibolehkan ada hasil industri hilir CPO, berupa biodiesel atau lainnya.

Lebih lanjut Tiolina mengatakan, bahwa berdasarkan informasi dari Menteri Perindustrian, regulasi tersebut masih dalam pembahasan. “Kemarin saya tanya sama menteri, katanya masih dibahas,” demikian penjelasannya.***(mad)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=21844

Rabu, 26 November 2008

Iklim Usaha Tak Dukung Industri Hilir Perluasan Lahan Sawit Ditunda

Rabu, 26 November 2008 | 02:13 WIB

Medan, Kompas - Iklim usaha industri hilir kelapa sawit dan pemerintah belum mendukung pengusaha untuk menjamin industri pengolahan minyak sawit mentah. Sekretaris Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Sumatera Utara Laksamana Adiyaksa mengatakan itu di Medan, Selasa (25/11).

Menurut Laksamana, dalam industri pengolahan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO), margin keuntungan bisnis ini tipis meski investasinya besar. Pengembalian investasi pun lama.

”Kalau membangun pabrik kelapa sawit, misalnya, butuh Rp 30 miliar, membangun industri hilir butuh 10 kali lipat,” katanya. Laksamana menyebutkan, hingga kini masih banyak dana siluman yang harus dikeluarkan pengusaha agar investasi bisa berjalan.

Senior Manager PT Sinar Oleochemical International (SOCI) Medan Johan Brien menyebutkan pula, belum ada upaya duduk bersama untuk menyelamatkan industri sawit, khususnya di tingkat daerah. Ia mengusulkan pemerintah menjembatani usaha-usaha itu untuk mencari solusi dan membangun sistem informasi bersama.

”Malaysia lebih punya kesempatan karena mereka mempunyai lobi internasional yang bagus, sementara lobi kita lemah,” tutur Johan.

Selama ini PT SOCI memasok produknya ke Amerika Serikat. Oleochemical itu digunakan untuk bahan kosmetika, pasta gigi, cokelat, hingga ban. Krisis ekonomi telah menyebabkan produksi PT SOCI turun 50 persen.

Ketua Gabungan Perusahaan Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumatera Selatan, kemarin, mengatakan, kendala pengembangan industri hilir sawit di Sumsel karena tidak ada kebijakan pemerintah yang mendukungnya. Faktor suku bunga perbankan yang tinggi juga menyebabkan investor enggan mengembangkan industri hilir.

Perluasan tertunda

Krisis yang melanda sektor perkebunan sawit juga menghentikan program perluasan lahan. Bahkan, semua perusahaan perkebunan mengurangi frekuensi dan volume pemupukan, serta menunda peremajaan pohon.

Menurut Sumarjono, kegiatan yang masih berjalan dengan normal saat ini hanyalah aktivitas panen. Namun, hasil panen tandan buah segar (TBS) masih menumpuk di lahan atau pabrik karena permintaan konsumen menurun.

Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib optimistis, investor tetap melaksanakan revitalisasi perkebunan sawit meski harga CPO rendah.

Kepala Dinas Perkebunan Sumut Washington Siregar, kemarin, mengatakan, masih ada perluasan pada 2009. Itu terlihat dari permintaan kecambah (bibit) terus meningkat. Ia mengingatkan, perluasan perkebunan sawit hendaknya dilakukan dengan perencanaan. Pembukaan usaha yang berkembang belakangan umumnya pelaku usaha ini tidak menyiapkan industri hilir dan jaringan pemasaran yang baik. (ONI/WAD/WSI/NDY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/26/02133769/iklim.usaha.tak.dukung.industri.hilir

Jumat, 21 November 2008

FKPMR Nilai Wan Tidak Tanggap Atasi Masalah Sawit

PEKANBARU (Rakyat Riau)- Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR) menyorot kepemimpinan Gubernur Wan Abu Bakar. Wan dinilai tak cepat tanggap dalam mencarikan solusi terhadap kondisi yang menimpa petani sawit saat ini. Hal ini disampaikan Ketua Harian FKPMR Al-Azhar kepada sejumlah wartawan dalam keterangan persnya Senin (17/11) di gedung FKPMR. Ia menyebutkan, seharusnya Gubernur Wan dan jajaran pemerintahannya bisa cepat mencarikan solusi dengan membuat kebijakan terhadap anjloknya harga sawit yang terjadi saat ini.

"Seharusnya pemerintah provinsi cepat dan tanggap dalam menykapi persoalan ini, ada ribuan petani sawit di Riau ini yang terancam penghidupannya," kata Al-Azhar.

Ketidak tanggapan Wan terhadap nasib petani sawit ini juga didasari FKPMR atas sikap yang ditunjukkan Wan ketika FKPMR ingin beraudiensi guna menyampaikan masukan berupa solusi yang bisa dilakukan Pemprov Riau terhadap permasalahan sawit ini.

"Kita ingin audiensi dengan beliau guna menyampaikan pokok pikiran solusi jangka pendek yg bisa dilakukan Pemprov Riau, guna meningkatkan lebih tinggi lagi harga sawit dari keturunan harga yang terjadi. Akan tetapi jawaban untuk audiensi itu baru diterima tiga minggu setelah itu, dan itupun hanya melalui telepon. Dan kita memutuskan untuk jadi beraudiensi dengan Wan Abubakar," tegas Al Azhar.

Menurut Al-Azhar yang pada saat memberi keterangan tersebut juga dihadiri oleh Ketua Umum FKPMR Kol (Purn) Abbas Jamil, ada tiga solusi jangka pendek yang ditawarkan FKPMR agar tidak terjadi lagi petani sawit yang stres sampai-sampai ada yang mau bunuh diri.

Solusi pertama adalah mengusulkan penambahan jangka waktu kredit perbankan bagi petani.Pemprov Riau diharapkan bisa melakukan pertemuan dengan pihak perbankan guna merumuskan masalah tersebut, mereka para petani yang berhutang kredit agar bisa diberi jangka waktu yang lebih panjang lagi untuk menyelesaikan hutangnya.

Solusi yang kedua adalah memberi subsidi harga, bukan subsidi pupuk dan sebagainya. Sebab, kalau pupuk yang disubsidi, harga juga bisa dipermainkan.

"Dan yang ketiga adalah dengan mengalihkan biaya ekspor ke asosiasi petani sawit. Ini dilakukan guna mengatasi jika terjadinya krisis seperti yang terjadi saat ini," ungkapnya. (nik)

http://rakyatriau.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1469&Itemid=1

Harga TBS Sawit Naik Tipis, Getah Karet Terus Menguat

Rabu, 19 Nopember 2008 09:07
Setelah pekan lalu sempat naik signifikan, pekan ini harga TBS kelapa sawit naik tipis. Sedangkan untuk getah karet kenaikannya lebih baik.

Riauterkini-PEKANBARU- Rapat tim penentuan harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit yang digelar di Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Selasa (19/11) kemarin menghasilkan keputusan yang menunjukkan trand harga TBS kelapa sawit masih terus naik, meskipun untuk herga sepekan ke depan terjadi kenaikan berkisar hanya Rp 3 setiap kilogramnya.

"Harga TBS sawit sepekan ke depan hanya naik tiga rupiah setiap kilonya. Naiknya tipis sekali," ujar Kasubdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Riau Fery kepada riauterkini di Pekanbaru, Rabu (19/11).

Dijeaskan Ferym, jika harga TBS dari tanaman sawit bibit unggul berusia 10 tahun ke atas mengalami pekan lalu Rp 865.95/Kg, maka menjadi Rp 868.95/Kg. Sedangkan untuk harga TBS dari tanaman sawit bibit unggul dengan usia 3 tahun ke atas juga naik dari Rp 619,27/Kg. maka menjadi Rp 622.27/Kg.

Jika TBS sawit hanya naik rata-rata tiga rupiah setiap kilonya, tidak demikian dengan harga getah karet. Berdasarkan data yang didapat riauterkini dari Gabungan Pengusaha Karet Indonesai (Gapkindo) Riau, harga getah terhitung Senin (17/11) hingga sepekan ke depan terjadi penaikan yang cukup kuat, yakni berkisar Rp 500/kilogram. Dari sebelumnya Rp 15.500/kilogram menjadi Rp 16.000/kilogram sampai pintu pabrik untuk getah dengan kadar di atas 95 persen.***(mad)

http://www.riauterkini.com/usaha.php?arr=21736

120.000 Hektar Hutan Beralih Fungsi Jadi Perkebunan

Jumat, 21 November 2008 | 01:11 WIB

Medan, Kompas - Sekitar 120.000 hektar hutan di Sumatera Utara beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit dalam lima tahun terakhir. Alih fungsi hutan itu belum mendapatkan izin resmi dari Departemen Kehutanan. Perusahaan yang terlibat dalam alih fungsi lahan hanya mengantongi izin lokasi dari bupati setempat.

Menurut Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sumut JB Siringoringo, Kamis (20/11) di Medan, alih fungsi hutan menjadi perkebunan antara lain terjadi di Kabupaten Labuhan Batu dan Kabupaten Tapanuli Selatan yang kini menjadi Kabupaten Padang Lawas, pemekaran dari Tapanuli Selatan.

”Perusahaan belum mengantongi izin dari Menteri Kehutanan, tetapi hanya izin lokasi dari bupati setempat,” ujarnya.

Menurut dia, pengalihfungsian kawasan hutan menjadi perkebunan tidak boleh dilakukan tanpa izin dari Departemen Kehutanan. Bupati yang mengeluarkan izin lokasi untuk alih fungsi hutan menjadi perkebunan sudah dilaporkan Dinas Kehutanan Sumut ke penegak hukum. Namun, menurut Siringoringo, sampai saat ini belum ada tindakan tegas.

Kepala Bidang Humas Polda Sumut Komisaris Besar Baharudin Jafar saat dikonfirmasi menyatakan, sampai saat ini Polda Sumut masih memeriksa kasus- kasus alih fungsi hutan itu. Salah satunya adalah kasus PT Graha Dura Leidong Prima dan Sawita Leidong Jaya di Labuhan Batu.

Labuhan Batu dan Tapanuli Selatan, kata Siringoringo, paling parah tingkat degradasi hutannya.

Menurut dia, salah satu kasus alih fungsi hutan menjadi perkebunan yang paling luas di Sumut terjadi di hutan Register 40 Padang Lawas yang dulu masuk wilayah Kabupaten Tapanuli Selatan.

Sementara itu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Joyo Winoto seusai acara penyerahan sertifikat massal di Desa Giring Menang, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, Kamis, menyatakan, lahan telantar di Indonesia sangat luas. Salah satu penyebabnya adalah lahan tidak dimanfaatkan sesuai peruntukan.

Sebagian besar lahan digunakan sebagai agunan bank oleh pemegang izin kelola lahan. Menurut Joyo, hal itu berpotensi menimbulkan sengketa tanah. Kini tercatat ada 7.491 kasus. Penyebab lain adalah ketidakjelasan batas tanah dan hak waris. Dari kasus sengketa, ada 11 juta hektar lahan telantar.

”Dari pemegang hak guna usaha saja ada 1,93 juta hektar lahan telantar atau 30 kali luas wilayah Singapura,” katanya. Peruntukan lahan telantar umumnya untuk budidaya perkebunan, pertanian, dan peternakan.

”Ada pemegang izin kelola yang hanya memanfaatkan sebagian kecil dari luas lahan yang dikelola,” kata Gubernur NTB Zainul Majdi, menunjuk kondisi riil di sejumlah kabupaten di Pulau Sumbawa.

Di kabupaten-kabupaten tersebut, lebih dari 10 tahun lalu ada 48 izin pertambangan yang dikeluarkan para bupati, tetapi tidak satu pun usaha pertambangan diwujudkan.

Untuk itu, BPN memberi sanksi kepada pemegang izin kelola dan menertibkan. Pemegang hak kelola lahan diberi waktu tiga tahun untuk mengolah lahan. Jika ketentuan itu tidak diindahkan, pemerintah memberi peringatan tiap bulan selama tiga kali. Jika tidak digubris, pemerintah mencabut izin kelola. Sebelumnya, pemerintah memberi peringatan setelah lahan telantar selama lima tahun. (BIL/RUL)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/21/01115621/120.000.hektar.hutan.beralih.fungsi.jadi.perkebunan

Sabtu, 15 November 2008

Kecambah Sawit Palsu dari Galang, Deli Serdang

Alamat Pengirim Fiktif
Sabtu, 15 November 2008 | 00:07 WIB

Medan, Kompas - Alamat pengirim kecambah sawit palsu melalui kargo PT Pos Indonesia fiktif. Pengirim, PT Damai Jaya Lestari, di Jalan Abdullah Lubis Nomor 26, Medan, merupakan kantor perusahaan perkebunan lain. Nama perusahaan pengirim kecambah sesuai dokumen tidak terlihat di gedung ini.

”Tidak ada nama PT Damai Jaya Lestari. Ini kantor PT Tor Ganda,” kata petugas satuan pengaman (satpam) PT Torganda, R Sipahutar, Jumat (14/11) sore saat ditemui.

PT Tor Ganda merupakan perusahaan perkebunan milik DL Sitorus. Salah satu kebun perusahaan ini berada di kawasan Register 40 yang kini dalam proses pengalihan pengelolaan ke pemerintah. Kompas menanyakan orang yang disebut-sebut sebagai pemilik bermarga Pulungan. Namun, R Sipahutar tidak mengenal orang tersebut. Setahu dia, tidak ada orang bermarga Pulungan di kantor itu.

Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia sebelumnya menyita 30.000 kecambah kelapa sawit tujuan Kendari, Sulawesi Tenggara. Kecambah yang dikirim melalui kargo PT Pos Indonesia ini tidak dilengkapi dokumen sah. Dalam dokumen, kecambah senilai Rp 285 juta ini disebut produksi PT Socfindo. Setelah dicek dan konfirmasi ke PT Socfindo, kecambah itu palsu.

Dari Galang

Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Karantina Tumbuhan Kelas I Polonia Medan, Susana Bangun, menyatakan bahwa asal barang dari Galang, Kabupaten Deli Serdang. Dia menyatakan benih berasal dari perkebunan milik petani yang ingin menangguk untung dengan mencantumkan PT Socfindo. Produk tiruan kecambah sawit bukan hal baru di Sumatera Utara.

Awal Agustus lalu, PPKS melalui Kepala Pusat Perbenihan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Razak Purba menyatakan, pusat peredaran kecambah tak bersertifikat ada di Marihat, Kabupaten Simalungun, 130 kilometer dari Medan. Di sekitar tempat itu muncul sentra produsen kecambah tanpa sertifikat.

Mereka mendompleng nama Marihat sebagai tempat produksi benih PT Perkebunan Nusantara (PTPN) IV, yaitu Marihat. Produksi kecambah sawit dari kawasan itu dikenal dengan nama Marihat Ulu, Marihat Lanbow, Marihat Sentral, dan Marihat Baris. (NDY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/15/00071249/alamat.pengirim.fiktif

Rabu, 12 November 2008

Stres, Istri Toke Pupuk Sawit Tewas Bakar Diri

Rabu, 12 Nopember 2008 11:29
Anjloknya harga kelapa sawit mulai makan korban jiwa. Seorang istri toke pupuk sawit terguncang jiwanya dan akhirnya tewas bakar diri.

Riauterkini-PEKANBARU- Anjloknya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit tak sekedar memukul ekonomi masyarakat, namun banyak orang terguncang jiwanya, akibat memburuknya ekonomi keluarga. Bahkan seorang istri pengusaha pupuk sawit yang tak sanggup menjalani takdir buruk atas ekonomi keluarganya gelap hati dan akhirnya nekad mengakhiri hidup dengan cara paling tragis: membakar diri sendiri!

Akhirnya hidup tragis itu dipilih Nur Jani (43). Sekitar pukul 10.00 WIB Rabu (12/11) jenazahnya ditemukan warga dan anak korban dalam kondisi sangat menggenaskan. Membusuk dan gosong hampir seluruhnya. Ibu tiga anak tersebut mengakhiri hidupnya dengan tangan sendiri diduga akibat stres setelah usaha suaminya Muhammad Hudi di bidang distribusi dan penjualan pupuk kelapa sawit mengalami masa paling sulit, dampak dari anjloknya harga TBS sawit beberapa bulan terakhir.

Menurut salah seorang tetangga korban, keluarga Nur Jani baru sebulan mendiami rumah di Blok B No.4 Perumahan Mutiara Hati Jalan Karyawan, Kecamatan Tampan Pekanbaru. Sebelumnya keluarga ini tinggal di Pandau Permai.

Selama sebulan di rumah baru, yang diduga lebih kecil dan sederhana dari rumah sebelumnya, Nur Jani sudah tiga kali mencoba bunuh diri. Kali ketiga baru berhasil tewas. Sebelumnya ia pernah mencoba gantung diri dan meminum racun serangga.

Menurut anak tertua korban, Safa Sadli atau yang biasa dipanggil Erin (14) ibunya menghilang sejak Senin (10/11). “Saat saya pulang sekolah, Mama sudah tidak ada. Saya cari-cari tidak ketemu. Saya hubungi handphonenya tak hidup,” tutur gadis belia kelas III SMP tersebut kepada wartawan.

Karena ibunya hilang Erin lantas menghubungi ayahnya yang sedang di Jakarta dan juga lapor RT setempat. Warga kemudian mencari korban. Baru tadi pagi, sekitar pukul 10.00 WIB jenazah Nur Jani ditemukan dalam semak-belukar, sekitar 200 meter di belakang rumahnya. Kondisinya mayatnya sangat menggenaskan. Mulai membusuk dan hanggus. Di samping mayatnya ditemukan ember bekas minyak tanah. Ia diduga menyiram tubuhnya dengan minyak tanah kemudian membakar diri sendiri hingga tewas.

Hingga saat ini mayat korban masih disemayamkan di rumah duka. Polisi masih melakukan penyelidikan atas kasus tersebut.***(mad)

http://www.riauterkini.com/hukum.php?arr=21640

PTPN Tak Sanggup Memenuhi Harga Petani

Jumlah Petani yang Terlibat dengan PTPN VII Sebanyak 10.000 Orang
KOMPAS/WISNU AJI DEWABRATA / Kompas Images
Dirut PTPN VII Andi Punoko menjelaskan kondisi PTPN VII dalam menghadapi krisis keuangan global, Selasa (11/11) di Hotel Horison, Palembang. PTPN VII tetap berupaya menampung kelapa sawit dari petani plasma meski harga CPO belum stabil.
Rabu, 12 November 2008 | 03:00 WIB

Palembang, Kompas - PT Perkebunan Nusantara atau PTPN VII tak sanggup membeli kelapa sawit plasma dengan harga lebih tinggi seperti yang diharapkan petani. Harga CPO yang berfluktuasi membuat PTPN VII kesulitan menaikkan harga pembelian kelapa sawit plasma.

Direktur Utama PTPN VII Andi Punoko, didampingi para direksi PTPN VII dalam jumpa pers, Selasa (11/11) di Palembang, mengatakan, pihaknya hanya sanggup membeli sawit plasma dengan harga murah sebagai dampak krisis keuangan global. PTPN VII tidak sanggup membeli dengan harga sesuai tuntutan petani karena harga tersebut tidak bisa menutup biaya produksi.

Menurut Andi, petani meminta PTPN VII membeli sawit plasma dengan harga berdasarkan kesepakatan bersama Dinas Perkebunan yang ditetapkan dua minggu sekali. PTPN VII tidak bisa mematok harga pembelian sawit plasma dalam waktu lama karena harga CPO berubah dalam 1-2 hari.

Harga kelapa sawit plasma sesuai kesepakatan dengan Dinas Perkebunan untuk pertengahan November Rp 736 per kilogram. Namun, PTPN VII membeli dengan harga Rp 831 pada periode 7-11 November per kilogram karena ada kenaikan harga CPO.

”Kami mohon pengertian petani. Kami akan menaikkan harga pembelian kelapa sawit kalau ada kenaikan harga CPO. Dulu waktu harga CPO tinggi, kami membeli kelapa sawit dengan harga tinggi. Ketika harga jatuh, kami pun berusaha membeli di atas harga yang ditetapkan,” kata Andi.

Meragukan data

Luas perkebunan kelapa sawit plasma milik PTPN VII sebesar 20.000 hektar dengan jumlah petani sekitar 10.000 orang. Namun, Andi meragukan angka tersebut karena banyak lahan kelapa sawit plasma yang telah beralih kepemilikan dan ditelantarkan.

Andi menambahkan, krisis keuangan global juga menyebabkan target perolehan laba PTPN VII meleset. Sebelumnya, PTPN VII pada tahun 2008 ditargetkan mendapat laba Rp 500 miliar, tetapi dampak krisis keuangan global menyebabkan target direvisi menjadi Rp 300 miliar. Jumlah itu masih lebih tinggi dibandingkan target laba yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 295 miliar.

Anjloknya harga CPO menyebabkan rencana manajemen PTPN VII melakukan penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) pada Desember 2008 terpaksa ditunda. (WAD)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/11/12/0027076/ptpn.tak.sanggup.memenuhi.harga.petani

Selasa, 11 November 2008

Ribuan Petani Sawit Unjuk Rasa

Selasa, 11 November 2008 | 00:06 WIB

Jambi, Kompas - Ribuan petani perkebunan kelapa sawit dari empat kabupaten di Provinsi Jambi berunjuk rasa di Gedung DPRD Jambi, Senin (10/11). Mereka menuntut agar pemerintah daerah bertanggung jawab atas menurunnya harga tandan buah segar kelapa sawit di pasaran setempat.

Mereka mendesak pemerintah mencari jalan untuk menaikkan kembali harga sawit dan menurunkan harga pupuk secepatnya. Selain itu, pemerintah diminta menghapus utang petani sawit dalam pola kemitraan yang masih menjadi beban mereka dengan pihak perusahaan setempat.

Koordinator unjuk rasa, Musri Nauli, dalam orasinya mengatakan, turunnya harga tandan buah segar (TBS) telah mengancam kehidupan para petani sawit dalam beberapa bulan terakhir. Menurut dia, persoalan yang dihadapi petani saat ini bukan hanya masalah dampak dari krisis ekonomi global, tetapi juga masalah kesemrawutan tata kelola perkebunan, seperti masalah penguasaan, kedaulatan, dan kemandirian petani sawit.

Kebijakan pemerintah yang tidak adil, menurut mereka, mengakibatkan monopoli perusahaan perkebunan skala besar menguasai seluruh hajat hidup petani.

”Petani perkebunan kelapa sawit di Jambi saat ini memandang persoalan turunnya harga TBS lebih disebabkan oleh masalah dalam negeri sendiri, bukan karena krisis ekonomi global yang terjadi sekarang,” ujar Musri.

Kerajinan ukir

Ekspor kerajinan ukir limbah kayu atau bongkahan batang bekas tebangan kayu yang diusahakan belasan warga Desa Pulau Betung, Kabupaten Batanghari, ke Jepang dan sejumlah negara di Eropa terus menurun akibat kian langkanya bahan baku.

Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Jambi Hasan Basri, di Jambi, Senin, mengatakan, belasan kepala keluarga warga Desa Pulau Betung yang bekerja sebagai perajin ukiran limbah kayu yang dijadikan aneka ragam perabot dan hiasan rumah tangga kini berkurang.

Kerajinan ukiran limbah kayu Desa Pulau Betung yang berada di sisi jalan penghubung Lintas Sumatera itu tidak saja diminati warga lokal, tetapi juga wisatawan karena punya daya tarik dan kualitasnya cukup memikat.

Sebelumnya, tiap bulan, puluhan set perabot rumah tangga dan ratusan jenis perhiasan rumah tangga diekspor lewat Singapura. Namun, sejak dua tahun terakhir, hal itu terus berkurang.

Berkurangnya aktivitas penebangan kayu di hutan menyebabkan bahan baku yang berasal dari akar kayu sulit didapatkan sehingga permintaan pasar, baik dalam maupun luar negeri, tak terpenuhi.

Lukman (43), warga Desa Pulau Betung, yang juga perajin ukir limbah kayu, menyebutkan, selama dua tahun terakhir, tingkat produksinya menurun.

Limbah kayu yang diukir menjadi perabot dan perhiasan, antara lain asbak rokok, duplikat ikan arwana, kursi dan meja tamu, tempat telepon, meja sudut, dan tempat bunga.

Untuk ukiran kecil, seperti asbak rokok, ia bisa menghasilkan 20 hingga 40 buah per bulan dengan harga jual Rp 15.000 hingga Rp 50.000 per buah, tergantung ukuran dan variasi ukirannya. Satu set kursi dan meja tamu, yang masa penyelesaiannya bisa mencapai satu bulan, dijual dengan harga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung ukuran, jenis kayu, dan variasi. (Antara/BOY

Terobosan Sumsel Menghadapi Krisis Keuangan Global

Padat Karya untuk Petani
KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY / Kompas Images
Sarbeni (60), petani sawit di Tiku, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, membersihkan rumput di sekitar pohon sawit, Selasa (4/10). Harga sawit yang anjlok sampai Rp 350 per kilogram membuat petani berhemat dengan mengerjakan sendiri perawatan pohon. Petani juga kesulitan membeli pupuk karena pendapatan dari penjualan sawit tidak sepadan dengan harga pupuk yang mahal. Sebagian petani akhirnya tidak memupuk pohon sawit sehingga buah yang dihasilkan juga berkurang. Harga sawit anjlok sejak September lalu.
Selasa, 11 November 2008 | 03:00 WIB

Palembang, Kompas - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menggagas program padat karya bagi petani yang terimbas rontoknya harga sejumlah komoditas perkebunan akibat krisis keuangan global. Program tersebut disinergikan dengan proyek di tingkat kabupaten dan kota.

Gagasan tersebut dikemukakan Gubernur Sumsel Alex Noerdin dalam pertemuan dengan seluruh pejabat dan pengusaha di wilayah Sumsel, Senin (10/11) di Palembang.

Kegiatan padat karya merupakan program jangka pendek untuk membantu petani yang mengalami kesulitan ekonomi karena penurunan harga sejumlah komoditas, seperti sawit dan karet.

”Saya sudah meminta kepada seluruh bupati/wali kota untuk menjalankan program padat karya demi membantu petani saat ini. Hal itu yang dapat kita lakukan secepatnya karena daya tahan petani hanya dua bulan. Setelah itu tak bisa membeli beras karena pendapatan berkurang,” ujar Alex.

Alex juga mengemukakan, dia akan membantu dengan mengusahakan adanya penyaluran beras murah untuk rakyat miskin, terutama di kabupaten yang petaninya dilanda krisis.

Sementara itu, untuk jangka panjang mengatasi krisis yang terkait harga komoditas, Alex mengatakan akan mencanangkan pembangunan pabrik biodiesel di Sumsel. Namun, proyek tersebut tidak akan dapat mengatasi persoalan yang dialami petani saat ini karena investasinya membutuhkan waktu tiga tahun.

Menurut dia, Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur sudah membangun pabrik biodiesel, tetapi Sumsel masih butuh lagi investasi baru. Jika Sumsel memiliki banyak pabrik biodiesel, kelapa sawit petani bisa terserap dengan harga relatif tinggi di saat harga dunia sedang jatuh.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumsel Sumarjono Saragih mengatakan, saat ini sudah dua dari 50 pabrik kelapa sawit di Sumsel yang sudah tidak beroperasi. Pabrik-pabrik itu berhenti beroperasi karena tidak mendapat pembeli, sementara tangki penimbun stok masih penuh. Sementara itu, beberapa pabrik juga sudah mengurangi kegiatan produksi. Di hulu, pengusaha juga sudah mengurangi kegiatan perawatan yang bisa ditunda karena pasar lesu.

Kapasitas pabrik kelapa sawit di Sumsel mencapai 2.200 ton per jam. Tenaga kerja yang terlibat mencapai 11.000 orang. Jika dua pabrik dengan total produksi 180 ton per jam terhenti berproduksi, diperkirakan sebanyak 1.800 orang terpaksa dirumahkan.

Sumarjono Saragih menambahkan, pengusaha sawit berharap Pemprov Sumsel segera memperkuat industri hilir dengan memacu investasi industri yang dapat memanfaatkan CPO dalam negeri. Hal tersebut akan mencegah anjloknya harga sawit saat kondisi pasar di luar negeri sedang lesu.

Infrastruktur

Pengusaha juga berharap pemerintah dapat membangun infrastruktur jalan yang layak di sentra-sentra perkebunan sawit. Itu bertujuan meningkatkan efisiensi sehingga harga sawit petani bisa tinggi.

”Selama ini biaya transportasi mencapai Rp 150 per kilogram karena jalan menuju ke perkebunan relatif buruk. Jika jalannya lebih mulus, mungkin biaya transportasi lebih murah,” ujar Sumarjono.

Kepala Dinas Perkebunan Sumsel Syamuil Chatib mengatakan, krisis yang melanda sektor perkebunan sawit dan karet di Sumsel akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi Sumsel karena lebih dari 4.000 pekerja terlibat di dalamnya. (WAD/BOY)

Senin, 10 November 2008

Jangan Gegabah Jual Lahan, Harga Tandan Buah Segar Rp400/Kg

Minggu, 09 November 2008
Padang, Padek—Harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit terus merosot, dari harga awalnya seharga Rp1.800 per kg, kini hanya Rp400 per kg. Kondisi itu membuat ribuan petani sawit di Sumbar pun menjerit. Tak terlintas dalam benak merekam bila krisis keuangan yang dialami Negara Amerika menghentakan nilai jual TBS petani. “Jangankan untuk mengambil keuntungan dari hasil panen, untuk membayar upah buruh memanen saja kami sudah tidak sanggup.

Kami tidak tahu persoalan apa sebenarnya yang terjadi saat ini sehingga harga sawit begitu anjlok,” keluh Sri Noval Mulyadi (37) petani sawit di Kabupaten Pasaman Barat (Pasbar) kepada Padang Ekspres, Sabtu (8/11). Noval menceritakan, selama ini dengan lahan sawit 2 hektare dan harga sawit Rp 1.800 per kg, maka setiap bulannya mampu menghasilkan uang minimal Rp5 juta per bulan. Namun dengan kondisi harga saat ini, setiap bulan hanya mampu menghasilkan Rp1,2 juta.

“Harga Rp1,2 juta itu belum dipotong upah memanen dan mengangkut. Dua bulan bulan ini kita hanya mampu terima bersih maksimal Rp500 ribu. Kalau sudah begini kami mau makan apa lagi,” keluh Noval lagi. Bahkan dirinya juga mengaku, sudah mulai banyak petani sawit di daerahnya itu yang ingin menjual lahan sawitnya, lantaran anjloknya nilai jual TBS.

Jangan Dijual

S Budi Syukur, pengusaha Sumbar yang juga bergerak di bidang sawit, menilai aksi penjualan lahan yang dilakukan petani di Sumbar hendaknya jangan dilakukan. Petani jangan cepat terpengaruh atau gegabah untuk menjual lahan sawitnya, hanya gara-gara mendengarkan pasar dunia tidak lagi membeli sawit Indonesia.

Menurut pengamatan Budi Syukur, krisis ekonomi global yang terjadi kini kemungkinan besar hanya berlangsung sesaat, tidak seperti krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 lalu. “Diperkirakan krisis kali ini berlangsung sekitar 1 hingga 2 bulan saja. Setelah itu akan normal kembali dan daya beli pasar dunia berjalan seperti biasa,” katanya.

Budi Syukur juga menyebutkan, kondisi sulit yang dirasakan petani sawit Indonesia khususnya Sumbar, juga disebabkan tidak adanya pabrik pengolahan untuk turunan buah sawit di negara kita. Kebanyakan yang ada berupa pabrik pembuat minyak sawit. Padahal, lanjutnya, untuk turunan sawit lainnya seperti cangkang, kulit dan batang sawit juga memiliki nilai ekonomi. Dengan begitu krisis yang terjadi tidak begitu mempengaruhi hasil panen sawit masyarakat. (*)


Ekspor Lampung September 2008 Turun 7,18 Persen

Senin, 10 November 2008 | 00:07 WIB

Bandar Lampung, Kompas - Nilai ekspor Lampung pada September 2008 turun 7,18 persen dibandingkan pada Agustus 2008. Penurunan lebih banyak terjadi pada ekspor komoditas perkebunan olahan crude palm oil atau minyak sawit mentah, bubur kertas, dan karet atau barang dari karet.

Kepala Bidang Statistik Distribusi Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Dody Gunawan Yusuf, Minggu (9/11), mengatakan, penurunan ekspor terbesar pada September 2008 terjadi pada produk perkebunan.

Komoditas minyak nabati pada September 2008 turun sebesar 24,78 juta dollar AS, dari 51,775 juta dollar AS pada Agustus 2008 menjadi 26,990 juta dollar AS pada September 2008.

Komoditas bubur kertas tercatat turun sebesar 12,08 juta dollar AS, dari 30,850 juta dollar AS pada Agustus 2008 menjadi 18,762 juta dollar AS pada September 2008. Adapun komoditas karet atau barang dari karet turun sebesar 2,66 juta dollar AS, dari 7,04 juta dollar AS pada Agustus 2008 menjadi 4,385 juta dollar AS pada September 2008.

Dody mengatakan, penurunan nilai ekspor komoditas perkebunan tersebut kemungkinan terjadi akibat timbulnya krisis keuangan dunia. Akan tetapi, sampai September 2008, BPS Lampung juga mencatat, masih ada beberapa komoditas perkebunan yang justru mengalami kenaikan nilai ekspor. Di antaranya komoditas kopi, cokelat, dan kayu atau barang dari kayu.

Nilai ekspor kopi naik 9,229 juta dollar AS, dari nilai ekspor Agustus 2008 sebesar 82,054 juta dollar AS menjadi 91,284 juta dollar AS pada September 2008. Cokelat naik 1,314 juta dollar AS, dari 6,252 juta dollar AS pada Agustus 2008 menjadi 7,567 juta dollar AS pada September 2008. Sementara itu, komoditas kayu naik 1,298 juta dollar AS, dari 722.500 dollar jadi 2,02 juta dollar AS.

Catatan BPS Lampung menunjukkan, total ekspor Lampung periode Januari-September 2008 sebesar 2,091 miliar dollar AS. Komoditas kopi, crude palm oil (CPO), ikan dan udang, serta bubur kertas memberikan kontribusi cukup besar pada ekspor.

Ekspor kopi memberi kontribusi sebesar 27,70 persen, CPO 21,9 persen, ikan dan udang sebesar 9,02 persen, dan bubur kertas sebesar 8,87 persen. (hln)

Aktifis Greenpeace Hadang Keberangaktan Kapal Pengekspor CPO

Senin, 10 Nopember 2008 16:06
Protes Perusakan Hutan,
Aktifis Greenpeace melakukan protes perusakan hutan di Riau. Protes tersebut dilakukan dalam bentuk menghadap salah satu kapan pemuat CPO yang akan diekspor dari Dumai.

Riauterkini-DUMAI-Aktifis Greenpeace pagi tadi, Senin (10/11) melakukan aksi untuk menyoroti sejumlah kapal tanker ekspor yang memuat CPO sebelum meninggalkan Dumai, yang merupakan pelabuhan utama bagi ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia, dan mencegah salah satunya sebelum berangkat menuju Eropa.

Para aktivis juga mengecat sebuah tongkang yang penuh dengan kayu bulat di pelabuhan. Mereka menuliskan kata-kata "Forest Crime" atau "Kejahatan Hutan" pada lambung tiga kapal bermuatan minyak kelapa sawit dan tongkang kayu tersebut sebagai protes terus berlangsungnya pengrusakan hutan Indonesia. Salah satu aktivis Greenpeace mengunci dirinya pada rantai jangkar dari kapal Gran Couva untuk mencegahnya meninggalkan Indonesia. Muatan minyak kelapa sawit di atas Gran Couva adalah milik Grup Wilmar.

"Hari ini Greenpeace melakukan aksi untuk menyoroti buruknya dampak yang ditimbulkan oleh industri kelapa sawit dan industri penebangan terhadap ekosistem lahan gambut dan hutan Indonesia serta terhadap iklim global," kata Bustar Maitar, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara. "Memenuhi permintaan minyak kelapa sawit dan komoditi lain bisa tetap berlangsung tanpa merusak hutan dan perusahaan seperti Wilmar harus mendukung seruan industri dan pemerintah daerah untuk penghentian sementara penebangan."

Dalam pelayaran "Hutan untuk Iklim" kapal Esperanza di Indonesia, Greenpeace telah mengumpulkan bukti-bukti baru konversi hutan besar-besaran di Propinsi Papua untuk perkebunan kelapa sawit di konsesi Sinar Mas dekat Jayapura. Greenpeace juga menemukan pembukaan hutan baru pada hutan gambut di Riau.

Konversi hutan dan lahan gambut yang demikian pesat untuk perkebunan kelapa sawit dan bahan bubur kertas merupakan pendorong deforestasi terbesar di Indonesia. Karbon yang dilepaskan oleh kegiatan ini membuat Indonesia menjadi pengemisi gas rumahkaca ketiga terbesar di dunia. Sebagian besar ekspor minyak kelapa sawit dari Indonesia bertujuan ke Cina, Eropa dan India.

"Hutan Indonesia lebih bernilai bila dibiarkan pada tempatnya daripada diekspor sebagai kayu bulat dan minyak kelapa sawit," kata Bustar. "Sangat penting untuk melindungi hutan Indonesia dari perluasan perkebunan kelapa sawit dan industri kertas untuk memerangi dampak perubahan iklim, mengentikan hilangnya keanekaragaman hayati dan melindungi kehidupan masyarakat yang bergantung pada hutan. Ini berarti harus segera diberlakukan jeda tebang dan dimulainya pendanaan internasional melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melindungi hutan."

Kapal Esperanza, memulai bagian Indonesia dari pelayaran "Hutan untuk Iklim" pada tanggal 6 Oktober di Jayapura, untuk menyoroti kerusakan yang berlangsung terus menerus di hutan terakhir yang tersisa di Asia Tenggara. Greenpeace menyerukan pemberlakuan sesegera mungkin penghentian sementara (moratorium) terhadap semua bentuk konversi hutan, termasuk untuk perluasan perkebunan kelapa sawit, industri penebangan dan sebab-sebab deforestasi lain.

Greenpeace adalah organisasi kampanye global yang independen yang bertindak untuk mengubah sikap dan perilaku masyarakat guna melindungi dan melestarikan lingkungan hidup serta mengusung perdamaian.***(rls)

Negeriku Sedang Dilanda Bahaya Rawan Pangan


(Kebun kelapa sawit di antara tanaman padi)

Irsyadul Halim

(Eksekutif Direktur Kaliptra Sumatera)

Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Riau menyatakan, produk si padi tahun 2008 berdasarkan angka ramalan III, diperkirakan sebesar 476.994 ton gabah kering giling (GKG). Ini berarti terjadi penurunan sebesar 2,67 persen, dibandingkan produksi padi tahun 2007.

Kepala BPS Riau, Irland Indrocahyo, Minggu (9/11) mengatakan, penurunan produksi disebabkan berkurangnya luas area tanam padi di Riau. Luas panen padi tercatat sebesar 143 ribu hektar, atau turun 2,83 persen di bandingkan tahun 2007.

Akibatnya, realisasi panen pada Januari-April 2008 turun 7,08 persen. Dan pada Mei-Agustus juga turun sebesar 4,09 persen, dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. “ Areal sawah kini berkurang. Kemungkinan karena banyak petani beralih menanam kelapa sawit,” kata Irland.

Meski luas produksi turun, namun menurut irland, tingkat produktivitas padi tahun 2008 tercatat sebesar 33,36 kuintal perhektar, atau naik 0,18 persen.

Penurunan ini akan terjadi setiap tahunnya jika tidak ada antisipasi pemerintah terhadap kerawanan pangan ini. Perkembangan perkebunan kelapa sawit memang beberapa bulan belakangan mengalami penurunan karena harga tandan buah segar mengalami penurunan signifikan sehingga petani merugi. Namun tidak tertutup kemungkinan perkembangan perkebunan kelapa sawit ini akan semakin meningkat apabila harga buah kembali stabil.

Perkebunan kelapa sawit di propinsi Riau saat ini terhitung sudah 2,1 juta ha yang tersebar di seluruh kabupaten. Jumlah ini terbesar dari seluruh nusantara, maka wajar pemerintah Indonesia akhirnya mengimpor beras dari negara tetangga, Vietnam, Thailand dan Lainnya. Jika ini terus dibiarkan bukan tidak mungkin harga beras yang saat ini sekitar Rp. 7000 perkilogramnya akan menjadi lebih mahal karena saat ini negara penghasil beras juga sedang mengembangkan tanaman sawit. Sehingga akhirnya tidak mampu lagi mengekspor karena kebutuhan didalam negeri mereka sendiri produksi beras berkurang. Bayangkan nantinya Negara Indonesia yang 70% rakyatnya adalah petani akhirnya akan membeli beras dengan harga yang mahal. Sungguh akan menjadi ironi hidup di tanah yang subur, gemah ripah loh jinawi ini.

Jumat, 07 November 2008

Tanah Adat Warga Dijadikan Kebun Sawit

Jumat, 7 November 2008 | 01:02 WIB

Suka Makmue, Kompas - Sekitar 100 hektar lahan tempat tinggal milik warga Desa Kuala Seumayam, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, telah beralih fungsi menjadi kebun kelapa sawit. Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandi Yusuf telah memerintahkan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya untuk meninjau ulang hak guna usaha beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit itu.

Keuchik Kuala Seumayam Muhammad, ketika ditemui di rumahnya, Selasa (4/11), mengatakan, dirinya sudah beberapa kali menemui Pemkab Nagan Raya dan Pemprov NAD untuk menyelesaikan persoalan ini. ”Hasilnya belum ada,” kata Muhammad.

Dia menuturkan, lahan seluas 100 hektar yang semula dimiliki oleh warga sudah dialihfungsikan oleh PT Kallista Alam menjadi perkebunan kelapa sawit. Begitu juga dengan lahan yang sebelumnya diberikan oleh Pemkab Nagan Raya seluas 60 hektar untuk digunakan sebagai kawasan tempat tinggal, sekarang telah dialihfungsikan untuk tujuan yang sama.

”Rencananya, di dua lahan tersebut, kami akan bangun rumah dan usaha perkebunan sendiri. Namun, sekarang sudah tidak bisa karena sudah digarap oleh perusahaan tersebut,” katanya.

Tanah ulayat seluas 100 hektar itu sudah ditinggalkan oleh warga sejak tahun 1960-an karena sering kali terjadi konflik antara manusia dan satwa liar. Pemerintah pada waktu itu, menurut Muhammad, memindahkan ratusan kepala keluarga dan keluarganya ke lokasi baru yang berjarak sekitar 7 kilometer ke arah selatan. ”Persis di tepi pantai. Namun, warga sering kali kembali dan mengusahakan lahan yang sudah mereka miliki selain mencari ikan di laut,” katanya.

Pada masa konflik militer antara RI dan Gerakan Aceh Merdeka, menurut Muhammad, hampir semua rumah dan bangunan yang mereka tempati di tepi pantai dibakar. Hanya bangunan sekolah dan masjid yang selamat dari pembakaran. Akibatnya, ratusan keluarga terpaksa mencari lokasi tempat tinggal lain di luar wilayah tersebut. (MHD)

RI-Malaysia Sepakat Remajakan Kelapa Sawit Seluas 250.000 Hektar

Suplai CPO Dipangkas

KOMPAS/RIZA FATHONI / Kompas Images
Menteri Perladangan dan Komoditi Malaysia Datuk Peter Chin Fah Kui (kiri) bersama Menteri Pertanian Anton Apriyantono di Jakarta, Kamis (6/11), melakukan konperensi pers seusai membuat kesepakatan untuk mengelola stok minyak sawit dan karet alam kedua negara guna meningkatkan harga dua komoditas itu.
Jumat, 7 November 2008 | 03:00 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia dan Malaysia sepakat mengurangi produksi dan menaikkan konsumsi minyak kelapa sawit mentah serta karet. Kesepakatan ini diharapkan dapat meningkatkan harga dua komoditas itu di pasar internasional. Minyak sawit mentah dan karet adalah produk andalan kedua negara.

Kesepakatan itu dibuat oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono dan Menteri Perusahaan Perladangan dan Komoditi Malaysia Datuk Peter Chin Fah Kui, Kamis (6/11) di Jakarta. Indonesia dan Malaysia memasok 85 persen dari minyak sawit mentah (CPO) dunia. Sekitar 45 persen karet alam dunia dipasok Indonesia dan Malaysia.

Langkah kedua negara mengelola stok CPO dan karet alam secara bersama-sama itu, menurut Anton, diharapkan dapat mengendalikan harga dua komoditas itu agar tidak terus anjlok.

”Pengelolaan stok dengan mengurangi produksi kedua komoditas itu agar tidak berlebih sehingga dapat mendorong kenaikan harga,” katanya.

Menurut Direktur Jenderal Perkebunan Achmad Mangga Barani, Indonesia akan meremajakan 50.000 hektar tanaman sawit. Dengan asumsi produktivitas 1,5 ton CPO per hektar per tahun, Indonesia bakal mengurangi pasokan sekitar 75.000 ton CPO. Diperkirakan produksi CPO Indonesia tahun 2008 mencapai 18,8 juta ton. Produksi Malaysia sekitar 17 juta ton.

Malaysia, kata Fah Kui, akan meremajakan tanaman sawit seluas 200.000 hektar. Langkah ini bakal mengurangi produksi sampai 500.000 ton.

Saat ini total stok CPO Indonesia dan Malaysia 4 juta ton per bulan. Biasanya hanya 2,5 juta-3 juta ton. Padahal, sejak Maret 2008, siring terjadinya krisis keuangan global, permintaan CPO di pasar dunia turun 70 persen.

Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun menanggapi positif kerja sama mengelola stok CPO ini. Dijelaskan, selama ini pekebun menunda peremajaan karena harga CPO tinggi. Kini, pemerintah dapat mendorong peremajaan dengan memberi insentif. ”Ini pernah dilakukan Malaysia selama 27 bulan, 1999- 2001, dan berhasil menaikkan harga,” kata Derom.

Biodiesel

Upaya lain agar harga CPO meningkat adalah dengan menaikkan permintaan lewat wajib pakai biodiesel. Anton menjelaskan, Indonesia dan Malaysia sepakat meningkatkan konsumsi biodiesel mulai tahun 2009.

Indonesia menerapkan minimum 1 persen untuk substitusi BBM pada transportasi umum dan 2,5 persen untuk industri yang dimulai Januari 2009.

Adapun implementasi program biodiesel sebagai substitusi BBM dengan komposisi maksimal 5 persen mulai diterapkan pada Februari 2009. (MAS/HAM)

Kamis, 06 November 2008

Konflik Lahan Tanpa Penyelesaian

Kamis, 6 November 2008 | 01:17 WIB

Palembang, Kompas - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi Sumatera Selatan menyatakan, konflik lahan pertanian-perkebunan antara petani dan investor serta institusi pemerintahan masih terus terjadi. Bahkan, jumlahnya sudah mencapai lebih dari 220 kasus konflik. Walhi menilai peran serta pemerintah dalam menyelesaikan konflik struktural ini masih minim, bahkan pemerintah daerah dinilai membiarkan konflik terus berlangsung tanpa ada intervensi penyelesaian masalah.

Menurut Anwar Sadad dari Walhi Sumsel, beberapa waktu lalu, konflik lahan di Provinsi Sumatera Selatan ini tergolong cukup mengkhawatirkan, mengingat ada lebih dari 220 kasus konflik yang terjadi selama kurun waktu tahun 2008. Dari tahun ke tahun, konflik lahan ini menjadi perhatian dari aktivis Walhi, selain juga kasus alih fungsi hutan.

”Secara umum, konflik ini terjadi antara masyarakat petani dengan pemodal. Ada juga pemerintah yang berlindung di balik investor untuk menekan para petani tersebut,” ucap Anwar Sadad. Dia juga sangat menyayangkan minimnya peran aktif dan intervensi pemerintah daerah (kabupaten/kota) di Sumatera Selatan dalam menyelesaikan konflik tersebut.

”Dari pengamatan Walhi selama ini, yang terjadi justru tekanan represif dari pemerintah dan pemodal terhadap petani sehingga penyelesaian persoalan tersebut cenderung diabaikan,” kata Anwar.

Jika dihubungkan dengan program revitalisasi pembangunan ekonomi masyarakat pedesaan, Anwar menilai persoalan ini justru kontraproduktif. Artinya, jika konflik pertanian itu terus-menerus terjadi dan dibiarkan tanpa ada penyelesaian secara win-win (kemenangan untuk kedua belah pihak), jelas akan menghambat pembangunan ekonomi masyarakat, khususnya di sektor pertanian dan perkebunan kawasan pedesaan.

Meski secara hukum sebagian petani itu hanya memiliki lahan garapan dan bukan lahan kepemilikan pribadi, dari situlah mereka bisa bertani dan memenuhi kebutuhan hidup sehingga kecil kemungkinan bagi masyarakat desa untuk bisa meningkatkan akses kehidupan perekonomian jika lahan pertanian semakin sempit.

”Dari pengamatan kami, kondisi ini sudah berdampak pada terjadinya proses pemiskinan masyarakat desa. Bagaimana tidak? Kenyataannya mereka tidak bisa lagi bercocok tanam untuk hidup karena lahan garapan diserobot pemodal besar untuk keperluan perkebunan karet atau kelapa sawit,” kata Anwar.

Kerusakan hutan

Selain persoalan konflik lahan, Anwar juga mengatakan bahwa kerusakan hutan akibat pembukaan dan alih fungsi lahan juga tergolong cukup memprihatinkan. Berdasarkan data Walhi Sumsel, hingga 2008 ini, sebanyak 63 persen dari total 3 juta hektar hutan di Sumsel dikategorikan rusak.

”Di masa mendatang, pemerintah perlu memberi perhatian lebih bagi program rehabilitasi lingkungan hidup. Reklamasi lahan pertambangan juga harus jadi perhatian,” katanya. (ONI)

Selasa, 04 November 2008

TBS Anjlok, Tanam Jagung

Sabtu, 01 November 2008
Manfaatkan Lahan Tidur di Pessel
Painan, Padek—Lahan tidur dan pengangguran tidak semestinya ada di Pesisir Selatan (Pessel). Ketua DPRD Pessel Alirman Sori mengatakan, banyak hal yang bisa dilakukan agar lahan tersebut bisa digarap dan produktif.

“Sebetulnya istilah lahan tidur itu tidak ada di kabupaten ini, hanya saja ada orangnya yang tidur. Jika orangnya giat, maka angka pengangguran dan lahan tidur itu tidak akan ada. Semua lahan itu berpotensi untuk menghidupkan perekonomian masyarakat,” tegas Ketua DPRD Pessel, Alirman Sori.

Hal itu disampaikannya pada Pioner Expo dan Panen Perdana Demplot jagung Hibrida Pioneer PT DuPont dan temu wicara dengan petani jagung di Kampung Embacanglimus, Kenagarian Inderapura, Kecamatan Pancung Soal, kemarin.

“Banyak yang bisa ditanam masyarakat pada lahan-lahan atau areal pertanian itu untuk lahan itu tidak terlantar. Jangan hanya mengandalkan satu jenis tanaman saja yang ditanam dilahan yang luas itu. Masih banyak tanaman alternatif lainnya yang bisa dikembangkan sebagai pertanian seperti tanaman jagung,” jelasnya.

Tanaman jagung, katanya, sangat potensial dikembang di Pessel. Dari Demplot jagung Hibrida Pioneer PT DuPont yang dilakukan saat itu saja, dalam satu hektar lahan bisa menghasilkan 12,3 ton pipilan jagung.

Pada saat anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit saat ini, akan menjadi hal penting bagi masyarakat untuk menghidupkan perekonomiannya. Masyarakat tidak akan keputusan mata pencaharian dengan menggunakan lahan yang ada untuk areal pertanian. Harga jagung kering saat ini Rp2.500. Dengan menanam 1 hektar lahan dengan jagung, petani akan bisa berpenghasilan minimal Rp6 juta sekali panen setelah dikeluarkan modal.

Sementara Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Pesisir Selatan, Afrizon Nazar di kesempatan yang sama mengatakan, kabupaten ini memiliki lahan terlantar yang cukup luas, baik lahan kering maupun basah (sawah). Khusus lahan kering didapat areal terlantar seluas 20.844 hektar. Lahan seperti itu hampir terlihat hampir di seluruh kecamatan yang ada.
Terjadinya lahan terlantar tersebut disebabkan tidak tersedianya drainase, belum memadainya irigasi, kurangnya modal kerja sehingga tidak adanya kepatian usaha yang berakibat kurangnya gairah petani mengusahakan lahan tersebut. Upaya untuk mengoptimalkan lahan tersebut memerlukan teknologi yang terpadu dan tidak kalah pentingnya diperlukan dana yang besar untuk lahan itu tersebut dapat optimal. (yunisman)


Harga Sawit Kembali Turun, Karet Mulai Naik

Selasa, 4 Nopember 2008 17:09

Harga dua komoditas perkebunan unggulan Riau mengalami perubahan berbeda. Jika harga TBS sawit kembali turun, justru harga getah karet mulai menguat.

Riauterkini-PEKANBARU- Harapan para petani kelapa sawit di Riau agar harga tandan buah segar (TBS) membaik nampaknya masih jauh dari terwujud. Justru yang terjadi sebaliknya, harga TBS kembali mengalami penurunan, meskipun sangat sedikit. Kepastian penurunan harga TBS sawit berdasarkan hasil rapat Tim Penetapan Harga TBS Provisi Riau, Selasa (4/11). Diumumkan harga TBS turun Rp 1,68 perkilogramnya untuk TBS dari kelapa sawit dengan faritas unggul berusia 10 tahun ke atas.

"Pekan lalu harga TBS dari faritas unggul berusia sepuluh tahun ke atas Rp 766,88 perkilogram, sekarang turun tipis menjadi Rp 765,20 perkilogram," ujar Kasubdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Riau yang juga Ketua Harian Tim Penetapan Harga TBS Provinsi Riau Fery kepada riauterkini.

Secara rinci kemudian dijelaskan dalam lembar hasil rapat, bahwa harga TBS sawit paling murah, yakni dari kelapa sawit faritas unggul dengan usia 3-4 tahun adalah Rp 547,35 perkilogram.

Sementara itu kondisi sebaliknya justru dialami harga getah karet. Jika harga TBS sawit kembali turun, harga getah karet mulai menguat. Hal itu seiring terus naiknya harga getah karet di pasar dunia.

Berdasarkan data yang didapat riauterkini dari Dinas Perkebunan Riau, harga getah karet pekan ini berkisar pada Rp 14.000 perkilo di tingkat pabrik dengan kadar getah di atas 90 persen. Padahal harga kemarin berkisar Rp 13.000/Kg.

Secara rinci kemudian dijelaskan bahwa harga getak di PT. Ricky PekanbaruRp 14.000/Kg sebelumnya Rp 13.500/Kg. PT.Tirta Sari, Rengat Rp 13.800/Kg sebelumnya Rp 13.300/Kg dan PT.Andalas Rp 13.700/Kg sebelumnya Rp 13.200/Kg.***(mad)

Nilai Tukar Petani Melorot

Selasa, 4 November 2008 | 00:12 WIB

Medan, Kompas - Krisis keuangan global diduga menjadi penyebab turunnya nilai tukar petani di Sumatera Utara, khususnya di subsektor perkebunan rakyat. Nilai tukar petani di sektor ini turun 4,36 persen. Meski demikian, nilai tukar petani subsektor itu masih di atas 100 persen, yakni turun dari 132,25 persen menjadi 126,51 persen.

Secara kumulatif, nilai tukar petani di Sumatera Utara turun 1,77 persen dari 103,03 persen menjadi 101,21 persen, sedangkan nilai tukar petani subsektor padi dan palawija turun 0,28 persen.

Kepala Badan Pusat Statistik Sumatera Utara Alimuddin Sidabalok, Senin (3/11), mengatakan, angka yang dilaporkan Badan Pusat Statistik masih angka bulan September dibandingkan bulan Agustus. Adapun angka bulan Oktober belum dihitung.

Di lapangan, harga tandan buah segar di tingkat petani bulan Oktober ini sudah merosot tajam hingga hanya Rp 150 per kilogram.

”Kami belum melakukan penghitungan untuk bulan Oktober. Penghitungan bulan Oktober baru bulan depan akan kami laporkan,” tutur Alumuddin.

Sementara itu, ekspor Sumatera Utara mengalami peningkatan 12,88 persen.

Peningkatan itu terjadi antara bulan Agustus dan bulan September, dari 829,12 juta dollar AS menjadi 936,92 juta dollar AS. Ekspor golongan lemak dan minyak nabati dilaporkan masih merupakan ekspor paling tinggi di Sumatera Utara.

”Kami belum bisa melaporkan ekspor bulan Oktober karena memang ada jeda waktu satu bulan untuk laporan ekspor. Kami harus mengambil data dari bea cukai. Mungkin kalau sistem data sudah terintegrasi, akan mudah bagi kami untuk melaporkan secepatnya,” tutur Alimuddin.

Sementara itu, inflasi di Sumatera Utara bulan ini mencapai 1,19 persen. Inflasi di Kota Medan sebesar 1,36 persen, di Pematang Siantar 0,63 persen, di Padangsidimpuan 0,34 persen. Khusus Sibolga, kota ini mengalami deflasi sebesar 0,04 persen. Dengan demikian, inflasi tahun kalender di Sumatera Utara mencapai 9,70 persen, di Medan 9,66 persen, di Pematang Siantar 9,39 persen, di Sibolga 9,88 persen, dan di Padangsidimpuan 10,99 persen.

Inflasi year to year di Sumatera Utara sudah mencapai 11,13 persen, di Medan 11,07 persen, Pematang Siantar 11,04 persen, Sibolga 10,97 persen, dan di Padangsidimpuan 12,41 persen.

Kepala Bidang Integrasi Pengolahan dan Diseminasi Statistik Badan Pusat Statistik Sumatera Utara Panusunan Siregar mengatakan, butuh terobosan baru dari instansi terkait melihat nilai tukar petani yang sudah melorot, sementara ekspornya masih tinggi.

Sejak bulan Juni lalu, Badan Pusat Statistik memutakhirkan penghitungan nilai tukar petani. Indikator pengukuran daya beli petani ini sebelumnya dihitung dengan kondisi pembanding tahun 1993. Padahal, kondisi saat ini sudah sangat jauh berbeda sehingga peningkatan dan penurunan daya beli petani tidak cukup tecermin.

Nilai tukar petani dihitung dengan membandingkan indeks harga yang diterima petani dan indeks harga yang dibayar petani untuk keperluan konsumsi rumah tangga serta keperluan produksi pertanian.

Diagram timbang nilai tukar petani dengan tahun dasar 1993 yang digunakan selama 14 tahun terakhir, diakui Ali, sudah tidak peka untuk mengukur peningkatan atau penurunan kesejahteraan petani yang tecermin pada perbandingan indeks tersebut.

Kondisi pola produksi, struktur biaya, pola konsumsi rumah tangga petani, dan struktur geografis saat ini dengan kondisi pada tahun dasar sudah sangat jauh berbeda. Penggantian tahun dasar idealnya dilakukan lima tahun sekali. (WSI)

Ekspor Sumsel Turun

Produksi Pertanian Dipastikan Meningkat
Selasa, 4 November 2008 | 00:19 WIB

Palembang, Kompas - Ekspor dari Provinsi Sumatera Selatan bulan Juli 2008 menurun sebesar 5,64 persen bila dibandingkan bulan Juni 2008. Penurunan terbesar terjadi pada minyak kelapa sawit mentah atau CPO dan batu bara.

Demikian diutarakan Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Selatan, Haslani Haris, saat jumpa pers di Kantor BPS Sumsel, Senin (3/11). Data ekspor bulan Juli merupakan data terbaru yang dimiliki BPS.

Menurut dia, nilai ekspor Sumatera Selatan bulan Juli 312,08 juta dollar AS, sedangkan nilai ekspor bulan Juni 330,71 juta dollar AS. Ekspor tersebut terdiri dari ekspor migas 86,32 juta dollar AS dan ekspor komoditas nonmigas 225,71 juta dollar AS.

Penurunan nilai ekspor terjadi pada komoditas nonmigas, terutama CPO dan batu bara. Nilai ekspor CPO bulan Juli turun sebesar 13,51 juta dollar AS bila dibandingkan bulan Juni, sedangkan ekspor batu bara turun sebesar 2,22 juta dollar AS. ”Komoditas dominan lain masih meningkat,” ujarnya.

Haslani mengatakan, ekspor berperan penting dalam perekonomian negara karena merupakan sumber terbesar penerimaan devisa. Selama Januari hingga Juli 2008, nilai ekspor Sumsel fluktuatif.

Nilai ekspor Sumsel selama kurun waktu tersebut mencapai 2,12 miliar dollar AS atau meningkat sebesar 38,02 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. ”Pasar terbesar terdapat di Singapura, Amerika Serikat, dan Cina,” ujarnya.

Berbeda dengan ekspor, nilai impor Sumsel bulan Juli 2008 justru meningkat sebesar 42,96 persen bila dibandingkan bulan Juni. Nilai impor bulan Juli 21,26 juta dollar AS, sedangkan nilai impor bulan Juni 14,87 juta dollar AS. ”Kenaikan impor terbesar terjadi pada golongan mesin atau pesawat mekanik,” katanya.

Produksi pertanian

Dalam kesempatan tersebut, Haslani juga menyampaikan perkiraan produksi padi, jagung, dan kedelai Sumsel berdasarkan angka ramalan III. Produksi ketiga komoditas tersebut pada tahun 2008 diperkirakan meningkat bila dibandingkan tahun 2007.

Produksi padi tahun 2008 diperkirakan mencapai 2,91 juta ton gabah kering giling (GKG), naik sekitar 5,67 persen bila dibandingkan tahun 2007. Produksi jagung tahun 2008 diperkirakan mencapai 106.470 ton pipilan kering, naik sekitar 26,68 persen bila dibandingkan tahun sebelumnya. Sementara produksi kedelai tahun 2008 diperkirakan mencapai 7.920 ton biji kering, naik sebesar 175,74 persen bila dibandingkan tahun 2007.

Menurut Haslani, peningkatan produksi pertanian disebabkan peningkatan luas panen dan peningkatan produktivitas tanaman. Selain itu juga adanya bantuan benih dari pemerintah dan program kemitraan dengan perusahaan penyedia sarana produksi tanaman. (WIE)

Senin, 03 November 2008

Pengusaha Sawit Ramai-ramai Lari ke Pekanbaru

Senin, 03 November 2008 | 08:38 WIB
Nekat Jadi Kuli Bangunan untuk Bayar Utang
PEKANBARU--Merosotnya harga sawit cukup membuat terpukul para pengusaha dan petani sawit. Mereka pun mencoba mengadu nasib di Kota Bertuah Pekanbaru untuk menghidupi keluarga dan membayar utang. Meski harus menjadi kuli bangunan.

Sambil duduk bersila di kursi kayu, Jakiman (43) terus bercerita tentang nasib keluarganya. Sesekali, Jakiman menarik nafas panjang dengan asap rokok yang mengepul dari mulut dan hidungnya. Matanya menerawang jauh ke atas.

‘’Ya, mau bagaimana lagi. Harga sawit perkilogramnya hanya Rp150. Sebelumnya mencapai Rp1.500. Tak bisa lagi saya bertahan di kampung. Anak empat orang sekolah semua. Belum lagi hutang sana hutang sini yang harus dibayar. Akhirnya saya memilih lari ke Pekanbaru meski hanya menjadi kuli bangunan. Lumayan, per hari gaji saya Rp40.000,’’ beber Jakiman kepada RPG, Ahad (2/11) saat berkunjung ke bedeng tempat kerjanya di Jalan Riau.

Mata pria paruh baya ini berkca-kaca. Rambutnya yang ikal, berantakan, seolah tak pernah disisir. Kuku kaki dan tangannya hitam semua. begitu juga dengan kulitnya yang hitam memerah karena terik matahari yang harus dilawannya selama 10 jam setiap hari. Apalagi Jakiman juga terpaksa harus lembur hingga pukul 22.00 WIB karena proyek yang dikerjakannya harus segera selesai.

Tidak ada yang menduga kalau Jakiman dulunya adalah seorang toke sawit di Desa Sadar Jaya, Kecamatan Siak Kecik, Kabupaten Bengkalis. Apalagi saat melihat keadaannya saat ini. Dengan baju seadanya, makan seadanya, Jakiman harus tidur di bedeng kayu yang hanya berukuran 5x5 meter. Sementara di lahan persis sebelah bedeng itu, bakal tumbuh bangunan rumah mewah berlantai dua.

Di bedeng inilah, Jakiman harus pandai-pandai mencari tempat tidur karena harus berdesakan dengan 13 temannya yang lain. Makan dengan lauk apa adanya, tidur dengan irama suara nyamuk malam, hal baru yang harus dijalani Jakiman.

Belum lagi perlengkapan masak dan pribadi yang juga menumpuk di bedeng itu. Mulai dari baju kotor, baju bersih, tas-tas, sendal, handuk dan sebagainya, semua ada di ruang sempit itu. Sedangkan bagian belakang bedeng ada ruang kecil yang digunakan untuk tempat memasak.

Pemilik kebun sawit 12 hektare ini tidak datang sendiri ke Pekanbaru, melainkan dengan empat rekannya yang lain, yang juga memiliki kebun sawit di kampungnya. Untuk menutupi utang dan keperluan keluarganya, Jakiman menjual sebagian kebun sawitnya itu dengan harga yang murah.

‘’Modal untuk mendapatkan tandan sawit segar tidak sepadan lagi dengan hasil yang kita peroleh. Untuk upah, angkut, upah dodos (memetik sawit, red), pupuk dan sebagainya. Pokoknya tidak bisalah. Apalagi utang kita banyak karena kita tidak menyangkaharga sawit akan turun separah ini,’’ papar Jakiman lagi.

Tidak pernah dibayangkan Jakiman sebelumnya, kalau akan mengalami nasib seperti ini. Apalagi hidup merantau di Pekanbaru sebagai kuli bangunan. Tiga minggu yang baru dilaluinya, terasa tidak menyenangkan. Keluarga, kampung halaman, dan masa depan kebun sawitnya terus menghatui pikiran.

‘’Kalau tidak sabar, saya sudah stres. Mungkin sudah gila. Untung isteri saya selalu mengingatkan. Ya, harus lebih sabarlah,’’ kata Jakiman sambil menarik nafas panjang.

Hari Ahad merupakan hari istirahat bagi Jakiman dan teman-temannya. Begitu juga dengan Ucon (38) yang berasal dari Medan. Ucok yang juga pengusaha sawit ini datang ke Pekanbaru seminggu lebih awal dibandingkan Jakiman. Mengadu nasib di kota seperti Pekabaru, sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.

‘’Kalau tidak ada yang membawa dan tidak ada lowongan kerja yang pasti, kita juga tidak berani datang ke Pekanbaru. Lagipula tidak ada saudara di sini. Salah-salah bisa jadi gelandangan,’’ kata Ucok pula.(kun/yls)

Harga TBS Terendah Rp548,74 per Kg

Harga TBS Terendah Rp548,74 per Kg
Kamis, 30 Oktober 2008 | 11:53 WIB
Laporan Idris Ahmad - redaksi@riautoday.comAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
PEKANBARU - Harga pembelian buah sawit (TBS) kelapa sawit terendah di Riau hingga 2 November mendatang Rp348,74 per Kg.

Demikian data resmi yang dikeluarkan Kasubdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan Dinas Perkebunan Riau Ir Ferry HC Ernaputa MSi.

Harga TBS Rp548,74 per Kg tersebut khusus untuk umur tanaman tiga tahun, sementara untuk umur tanaman empat tahun harga per Kg Rp613,10, umur lima tahun Rp656,20, umur enam tahun Rp675,21, umur tujuh tahun Rp701,07, umur delapan tahun Rp722,90, umur sembilan tahun Rp745,93 dan umur sepuluh tahun ke atas Rp766,88 per Kg.***