Welcome To Riau Info Sawit

Kepada pengunjung Blog ini jika ingin bergabung menjadi penulis, silahkan kirim alamat email serta pekerjaan anda ke : anaknegeri.andalas@gmail.com

Jumat, 31 Oktober 2008

Saatnya Pemprov Jambi dan Perbankan Bernegosiasi

Friday, 31 October 2008

Segera Selamatkan Petani Sawit

JAMBI – Pasca anjloknya harga, kelapa sawit telah menjadi bencana bagi petani kelapa sawit di Jambi .

Sudah saatnya pemerintah melonggarkan kesengsaraan mereka dengan melakukan beberapa langkah. Diantaranya melakukan pertemuan dengan pihak perbankan untuk bernegosiasi tentang pemberian kelonggaran waktu bagi para petani membayar kredit kepada pihak pebankan.

Beberapa masukan lainnya, pemerintah juga harus melahirkan Perpu tentang jaminan dan perlindungan bagi petani terutama petani kelapa sawit dan ini harus dimulai dari Propinsi Jambi. Pemerintah Provinsi Jambi dalam jangka panjang tidak lagi bertopang pada ekonomi kelapa sawit, tapi memberikan ruang bagi pertanian-pertanian lokal lainnya. Hentikan ekspansi perkebunan kelapa sawit, dan atur tata niaga kelapa sawit. Jangan utamakan pasar ekspor. Dorong produk kelapa sawit di Provinsi Jambi habis dikonsumsi di pasar dan masyarakat Jambi, artinya pemerintah harus mendorong industri hilir seperti sabun, minyak goreng, mentega dan lainnya.

Demikian rekomendasi yang terangkum dari hasil diskusi di Aula IAIN Sultan Thaha Telanaipura kemarin (30/10). Diskusi ini menghadirkan langsung para petani sawit, Yayasan SETARA, Komite Kerja Perjuangan Buruh (KKPB) Jambi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) Jambi, Yayasan CAPPA, para mahasiswa, anggota BEM dari berbagai universitas dan organiasi mahasiswa, kalangan pers dan organisasi masyarakat lainnya.

Keuntungan yang berlipat ditingkat petani kelapa sawit pada masa jayanya (2006-2008) telah melahirkan budaya konsumtif ditingkat petani. “ Jika dulu petani kelapa sawit hanya memiliki 1 kavling kebun sawit karena dianggap menjanjikan, petani pun memperluas kebunnya dengan dukungan dari perbankan, petani yang dulu bertani pangan lokal, kini berubah profesi menjadi petani sawit, petani sawit yang dulu hanya bisa jalan kaki, kini sudah punya sepeda motor, dan bahkan sangat jarang petani kelapa sawit yang tidak membeli kendaraan roda dua. Ini adalah akibat booming kelapa sawit,” Rukaiyah Rofiq, Direktur Yayasan SETARA Jambi.

“Kondisi saat ini telah pula menyebabkan kami petani terpukul, penyebabnya adalah hutang di bank yang menumpuk dan tidak mampu lagi mampu membayarnya karena harga TBS yang rendah. Para petani bahkan kini harus mengembalikan motor dan mobil yang kami beli melalui leasing karena tak lagi mampu bayar, ” ujar Rusli, salah satu petani sawit asal Merangin, kemarin.

Tahun 2006-2008 kelapa sawit dan petaninya mengalami masa keemasan, penghujung tahun 2008, krisis di Amerika telah mengubahnya menjadi bencana yang menghancurkan. Harga Tandan Buah Segar (TBS) yang turun akibat rendahnya permintaan pasar ekspor telah memporak-porandakan perekonomian petani kelapa sawit. Harga Tandan Buah Segar (TBS) yang sempat menyentuh level Rp 2.100/Kg kini hanya bertahan pada kisaran harga Rp 200 – Rp 300/Kg, bahkan ada yang melorot hingga Rp 80/Kg.

Tapi siapa sangka, jika krisis di Amerika yang dimulai dari kredit macet perumahan dampaknya sampai di indonesia? sampai di propinsi Jambi? Siapa sangka krisis di Amerika itu telah merontokkan harga TBS milik petani di Propinsi Jambi?

Tak hanya itu, informasi dari aktivis Yayasan SETARA Jambi yang menjadi pendamping petani kelapa sawit, di wilayah Hitam Ulu, Kabupaten Merangin, 1 orang petani kelapa sawit bunuh diri karena tidak mampu lagi membayar hutang di bank.

Sementara para petani terpuruk, pemerintah malah ramai-ramai menyelamatkan kalangan berduit atau orang kaya. Pada saat yang sama pemerintah memberikan insentif bagi kelompok berduit. Petani kelapa sawit di minta untuk terus bersabar jika bangkrut, disaat yang sama, pemerintah Indonesia memberikan jaminan dan perlindungan perbankan bagi kelompok berduit tidak bangkrut. “Ini jelas tidak Adil, dimana posisi pemerintah ketika petani kelapa sawit bangkrut?,” lanjut peserta diskusi lainnya, Baya. Jika pemerintah berani memberi jaminan kepada para pengusaha dan kelompok berduit, pemerintah juga harus bertanggung jawab untuk memberikan subsidi harga TBS untuk petani, lanjut Baya. (dpc)

Senin, 27 Oktober 2008

Press Release Yayasan SETARA Jambi Terhadap krisis Amerika dan harga TBS

Mari selamatkan petani kelapa sawit di Jambi dari kebangkrutan

Beberapa waktu lalu, naiknya harga CPO dipasar international mendorong naiknya harga TBS dikalangan petani kelapa sawit, hampir satu tahun petani kelapa sawit menikmati indahnya bertani kelapa sawit, tak mengherankan jika kelapa sawit menjadi incaran, tidak hanya petani yang semula bertanam pangan lokal, tapi juga pihak perbankan lebih memberikan kemudahan dalam mengucurkan kredit pada sektor kelapa sawit. Perusahaan perusahaan lokal dan international ramai-ramai berburu lahan untuk ditanami kelapa sawit. Di propinsi Jambi luas perkebunan bertambah sekitar 50.000 Ha dalam setahun. Sungguh pantastis! Padahal pada tahun-tahun sebelumnya kenaikan luas perkebunan kelapa sawit di propinsi Jambi merambat pelan.

Naiknya harga CPO dipasar dunia, akibat permintaan akan CPO yang tinggi bagi pemenuhan bahan pangan, kosmetik hingga bahan baku Biofuel (Bahan bakar pengganti minyak bumi) telah mendorong pengusaha-pengusaha menjual CPOnya dipasar dunia, ketimbang menjualnya dalam negeri dalam bentuk minyak goreng yang kemudian tidak hanya berakibat pada tingginya harga minyak goreng dalam negeri tapi juga membuat minyak goreng menjadi langka. Lalu karena kelangkaan dan harga yang tinggi, masyarakat miskin lebih memiliki mengkosumsi minyak jelantah sebagai penganti minyak goreng.

Tak ada yang menyangka bahwa keindahan itu hanya sesaat, bahwa kenikmatan itu hanya semalam, ketika badai tsunami krisis Amerika menghantam hingga kepelosok desa dan meremukkan keuangan petani kelapa sawit di propinsi Jambi. Krisis keuangan di Amerika telah merontokkan harga TBS dari kisaran Rp 1.900/kg menjadi hanya Rp 200-500/kg. Kondisi ini membuat petani kelapa sawit menjerit, Bagaimana tidak, harga penentuan dari pemerintah tidak pernah menjadi acuan bagi perusahaan untuk membeli prouduk TBS dari petani, sehingga kondisi buruk ini diperparah dengan kelakuan para perusahaan. Dibeberapa wilayah misalnya, ada perusahaan yang membeli TBS petani sawit dengan harga berkisar Rp 200-250/kg. Bayangkan berapa kerugian yang harus diterima oleh petani dengan harga tersebut, sementara input dalam mengelola perkebunan seperti pupuk, biaya mendodos, biaya perawatan yang tinggi. Dalam banyak kasus petani kelapa sawit malah harus menombok biaya-biaya lainnya yang tidak ikut turun ketika harga TBS turun.

Pada diskusi yang dilaksanakan oleh SETARA di Cafe Telanai Berseri pada tgl 21 Oktober lalu dengan menghadirkan nara sumber dari Dinas Perkebunan yang dihadiri oleh Kepala Dinas Perkebunan propinsi Jambi Ir Ali Lubis, HKTI Propinsi Jambi yang dihadiri oleh ketua DPP Ir. H. AR.Sutan Adil Hendra, MM dan Direktur Yayasan SETARA Jambi Rukaiyah Rofiq, seolah ingin membuktikan bahwa masalah turunnya harga terletak pada lambatnya antisipasi pemerintah dan juga petani ketika krisis ini terjadi. Kepercayaan terhadap pasar global terlalu tinggi, sehingga ketika global mengalami krisis tanpa ampun turut menyapu petani kelapa sawit.

Kepala Dinas Perkebunan menyampaikan, hendaknya pihak perusahaan pembeli TBS dari petani kelapa sawit (Plasma dan Mandiri) tidak mengambil keuntungan dari turunnya harga, dan wajib mentaati harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah melalui rapat penetapan harga. Saat ini penetapan harga terendah TBS dari Dinas Perkebunan Propinsi Jambi untuk bulan Oktober 2008 sebesar 1.017,89/Kg untuk usia tanaman 10 tahun, sementara tanaman usia 3 tahun penetapan harga sebesar Rp 720,75/Kg. jika ada perusahaan yang membeli harga TBS dari petani dengan harga lebih rendah dari itu, maka pemerintah akan melakukan evaluasi terhadap kinerja perusahaan tersebut di propinsi Jambi. Kelapa Dinas Perkebunan juga menghimbau kepada seluruh perusahaan untuk membeli TBS dari petani, baik dari petani plasma maupun dari petani mandiri dengan harga yang layak. artinya dari harga itu, petani masih bisa mendapatkan keuntungan jika perusahaan membeli dengan harga Rp 500/kg.

Selanjutnya ketua DPP HKTI menyampaikan bahwa, turunnya harga TBS telah membuat petani menderita, betapa tidak penderitaan itu diperparah dengan banyaknya perusahaan tidak mentaati penetapan harga dari pemerintah. Petani mandiri adalah petani yang paling menderita dengan kondisi saat ini, dimana perusahaan pengolah seperti tidak punya kewajiban untuk membeli TBS dari petani mandiri, padahal jumlah petani mandiri mencapai ratusan orang. Hendaknya pemerintah tidak hanya mengingatkan perusahaan untuk membeli TBS dari petani dengan harga baik, tapi juga mengingatkan perusahaan untuk juga tetap menerima TBS dari petani mandiri. Monitoring oleh pemerintah bersama berbagai pihak juga perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana perusahaan mentaati himbauan pemerintah.

Antisipasi krisis di propinsi Jambi harus segera dilakukan, karena bisa jadi krisis akan berlansung hingga satu sampai dua tahun kedepan. krisis saat ini berbeda dengan dengan krisis 1998, dimana krisis 1998 hanya terjadi di Asia, dan juga lembaga keuangan tidak kolaps, sementara saat ini krisis global juga menumbangkan korporasi dan lembaga keuangan besar di Amerika. tentu proses pemulihannya akan memakan waktu lama. Belajar dari sini pemerintah propinsi Jambi kedepan harus moratorium ekpansi perkebunan kelapa sawit, melakukan kajian akan kemungkinan mendorong industri hilir, menggalakkan kembali budaya bercocok tanam palawija dan padi, membangun kebijakan tentang keharus perusahaan kelapa sawit dari hulu kehilir untuk lebih dulu memenuhi kebutuhan pasar domestik (Jambi) lalu menjualnya kepasar dunia. Ini untuk menjamin ketersediaan bahan pokok berbahan minyak sawit didalam negeri seperti minyak goreng dll dengan harga layak, juga untuk tetap menjamin harga TBS ditingkat petani, karena pasar produk minyak sawit tidak hanya bergantung pada pasar dunia tapi juga mampu diserap di pasar domestik.

Petani Pilih Stop Memupuk

Penurunan Harga TBS tak Terkendali
Monday, 27 October 2008

MUARABULIAN - Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit yang anjlok sekitar 80 persen saat ini sangat berdampak terhadap para petani. Seperti yang dialami para petani kelapa sawit di Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari, semenjak harga TBS anjlok mereka memilih menyetopkan pemupukan tanaman kelapa sawit mereka, akibatnya ratusan kilo pupuk urea yang sudah mereka tebus pun, dibiarkan menumpuk di gudang Koperasi Unit Desa (KUD) Kembang Paseban di Mersam.

Hal ini dibenarkan oleh Hasbi Ansori SE MM, Ketua KUD Kembang Paseban. Menurutnya, dampak dari anjloknya harga TBS saat ini sangat banyak dirasakan para petani, “Ya, semenjak harga TBS anjlok sekitar 80 persen dari harga Rp 2.000 an, pupuk menumpuk di gudang KUD Kambang Paseban ini, karena para petani memilih menyetopkan pemupukan,” ungkap Hasbi Ansori saat di temui di Kantor KUD Kambang Paseban, Sabtu (25/10).

Tak hanya itu, semenjak harga TBS anjlok ini juga Kantor KUD Kambang Paseban menjadi legang (sepi, red) dari kedatangan para petani, “Keaktifan para petani datang ke Kantor KUD Kembang Paseban ini juga berkurang. Biasanya KUD ini menjadi tempat silaturahmi para petani, tempat membahas segala permasalahan perkebunan mereka ataupun yang berkaitan dengan KUD ini, tapi semenjak harga anjlok ini menjadi sepi,”terangnya.

Sebagai bentuk antisipasi anjolknya harga TBS akibat krisis global ini, Hasbi mengatakan KUD Kembang Paseban terus membantu para petani dengan memantau perkembangan harga TBS, “Dimana harga TBS yang lebih mahal kita arahkan para petani menjual kesana,”ujarnya.

Para petani kelapa sawit di Mersam mengharapkan, terkait masalah pupuk ini agar pemerintah meningkatkan bantuannya. Dimana saat ini di sektor perkebunan rakyat pemerintah hanya menyalurkan bantuan subsidi untuk pupuk urea. Sedangkan untuk penyuburan tanaman kelapa sawit tak hanya cukup dengan pupuk urea itu, namun juga dibutuhkan seperti pupuk KCL (MOP), TSP/SP 36 ataupun pupuk Mikro seperti Kiesrit (Mg), Dolomit (Ca), Borate (B) atau pupuk majemuk yang mengandung semua atau sebagian besar unsur-unsur tersebut seperti Phonska. Akibatnya para petani terpaksa membeli pupuk non subsidi yang harganya membumbung tinggi.

Tapi, semenjak harga anjlok ini, para petani tidak ada lagi yang beli. Kepada pemerintah para petani mengharapkan agar juga mensubsidikan pupuk-pupuk yang dibutuhkan itu, jangan hanya pupuk urea saja,”tandas Edi Nuryanto, Sekretaris KUD Kambang Paseban menambahkan. (bim)

Setuju Pembukaan Lahan Rawa Tripa Dihentikan

Senin, 27 Oktober 2008 | 00:20 WIB

Suka Makmue, Kompas - Pemerintah Kabupaten Nagan Raya menyetujui penghentian pembukaan lahan di Kawasan Rawa Tripa untuk perkebunan kelapa sawit. Namun, penghentian itu bisa dilaksanakan dengan syarat pembangunan tapal batas yang jelas antara Kawasan Rawa Tripa, Taman Nasional Gunung Leuser, dan kawasan yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berkebun ataupun aktivitas pertanian lainnya.

Bupati Nagan Raya T Zulkarnaini, ketika ditemui wartawan di rumah dinasnya di Jeuram, Nagan Raya, akhir pekan lalu, menyatakan, pihaknya akan mendukung kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam apabila memang serius akan menghentikan proyek pengembangan perkebunan kelapa sawit di wilayah tersebut.

”Tidak masalah. Kami tentu akan mendukung,” ujarnya.

Dia mengatakan, selama ini pengembangan Kawasan Rawa Tripa didasarkan pada sertifikat hak guna usaha yang dimiliki beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit, seperti PT Kalista Alam dan PT Astra Agro Lestari. Hak guna usaha itu, menurut Zulkarnaini, sudah dimiliki perusahaan-perusahaan tersebut sejak beberapa tahun lalu.

”Bahkan belasan tahun lalu sudah dimiliki. Berhubung masa konflik, hak guna usaha itu tidak dimanfaatkan. Ada yang usianya 25 sampai 30 tahun,” katanya.

Dia mengatakan, selama ini pembukaan lahan perkebunan yang dilakukan oleh beberapa perusahaan tersebut didasarkan atas izin HGU yang dikeluarkan oleh pemerintah. Pembangunan perkebunan kelapa sawit, menurut Zulkarnaini, selain merupakan program pengembangan satu juta hektar yang dicanangkan pemerintahannya, juga dinilai akan membantu pengembangan perekonomian rakyat miskin di wilayah kabupaten itu.

Data yang diperoleh dari Yayasan Eko Lestari, pada akhir November 2007, luas lahan Rawa Tripa hanya tinggal 31.000 hektar, terdiri dari 24.000 hektar hutan primer dan sekitar 7.000 hektar hutan sekunder.

”Menyusut drastis. Perhitungan kami, sekitar 30 hektar lahan setiap bulannya berkurang karena pembukaan lahan,” kata Direktur YEL Dr Sofyan Tan, beberapa waktu lalu.

Data itu menunjukkan, sekitar 15 perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit melakukan pengeringan lahan gambut secara besar-besaran. Pembangunan drainase menuju ke Samudera Hindia di pantai barat Aceh oleh beberapa perusahaan, mengakibatkan penyusutan permukaan air di lahan gambut tersebut sampai satu meter dari kedalaman tiga hingga lima meter.

Beberapa perusahaan besar yang beroperasi untuk mengalihfungsikan lahan di Rawa Tripa tersebut, di antaranya PT Astra Agro Lestari (13.000 hektar), PT GSM (8000 hektar), PT Kalista Alam, PT Cemerlang Abadi, dan PT Patriot Guna Sakti Abadi.

Zulkarnaini juga mengakui, pengembangan lahan perkebunan kelapa sawit tersebut tidak disertai dengan adanya dokumen analisis mengenai dampak lingkungan yang memadai. Selain itu, Pemkab Nagan Raya sama sekali tidak memiliki rencana tata ruang dan rencana wilayah untuk keseluruhan program pengembangan serta pembangunan di wilayah tersebut.

Dia menyatakan, selama ini pihaknya tidak memiliki peta kawasan yang jelas sehingga pihaknya tidak mungkin melakukan penghentian. (MHD)

Limbah PKS PT RAU Cemari Sungai?

Sabtu, 25/10/2008
http://infojambi.com

MUARATEBO - Warga Dusun Tuo Sumay, Kabupaten Tebo saat musim penghujan tiba, dilanda kecemasan. Dengan tidak tertampungnya pembuangan limbah di kolam Paprik Kelapa Sawit PT Regunas Agri Utama (RAU), saat ini air limbah perusahaan itu dibuang ke areal perkebunan Inti di sekitar pabrik, karena beberapa kolam penampungan sudah penuh. Dikhawatirkan warga saat musim hujan, air limbah ini merembes ke Sungai Blangkai yang selama ini menjadi sumber kehidupan warga sekitar.

Kepala Desa Tuo Sumay, Razali, mengatakan, pencemaran limbah tersebut mengancam warga apabila musim penghujan, karena limbah tersebut bisa merembes ke sungai Blangkai yang melewati desa tersebut. ‘’Padahal Sungai Blangkai sebagai sumber pendapatan untuk mencari ikan serta untuk Mandi Cuci Kakus (MCK) bagi warga desa,’’ ujarnya.

Pencemaran kolam limbah pengolahan kelapa sawit milik PT RAU pernah terjadi sekitar bulan Februari 2008 lalu, air limbah itu merembes ke Sungai Blangkai. Akibatnya, warga menderita gatal-gatal dan bintik-bintik merah pada kulit serta ratusan ikan juga banyak yang mati. Lokasi kolam limbah PT RAU agak jauh dari desa.

Namun posisi PT RAU agak ketingggian dari desa, saat musim penghujan limbahnya mengalir terbawa arus dan mencemari sungai. PT RAU awalnya membuang limbah dengan pipa yang diarahkan ke Sungai Blangkai, setelah warga protes maka kini pipa dialihkan ke kebun inti. ‘’Kalau musim penghujan limbah ini merembes ke mana-mana,’’ tambah Razali. Penduduk Desa Tuo Sumay sekitar 500 KK 85 persen MCK di sungai.

Dirinya bersama warga juga sudah lama mengadu pada pihak PT RAU, dinas intansi terkait, namun tidak ada tanggapan. Dan baru 1 pekan ini terkabulkan setelah warga desa meminta bantuan pihak Kecamatan, tim dari Pemkab Tebo dan Propinsi Jambi pun turun melakukan pengecekan dan mengambil sample air. Dan memang kalau saat ini sudah tidak tercemar lagi dan air sungai aman dikonsumsi.

Sugianto SE MM, Wakil Ketua DPRD Tebo mengatakan, kendati tim dari Pemkab Tebo dan Pemprov Jambi sudah turun melakukan pengecekan, namun itu bukan solusi kongkrit. Karena warga terancam terkena pencemaran limbah saat musim hujan tiba. ‘’Pemkab Tebo harus mendesak PT RAU untuk membuat kolam pengolahan limbah itu sebelum dibuang. Idealnya ada 7 kolam penyaringan sebelum dibuang, pada kolam terakhir di budidayakan ikan untuk menguji bahwa limbah tersebut benar-benar sudah steril,’’ tukas Sugianto. (ij-12)

Tetap Meleles meski Harga CPO Masih Terpuruk

KOMPAS/ANDY RIZA HIDAYAT / Kompas Images
Bonar Simanjuntak (43) menunggu proses pengisian minyak sawit mentah di Dermaga Ujung Baru, Pelabuhan Belawan, Medan, Rabu (22/10). Tetesan minyak sawit mentah ini dijual ke penampung yang membeli dengan mengikuti harga CPO di pasar. Seiring menurunnya harga CPO, Bonar ikut menelan kenyataan pahit. Bapak dua anak ini pun tetap mencari tetesan CPO meski harganya anjlok di pasaran.
Senin, 27 Oktober 2008 | 03:00 WIB

Oleh ANDY RIZA HIDAYAT

Angin barat berarak ke Laut China Selatan. Menerpa wajah Bonar Simanjuntak (43) dan Hendrik Sinaga (41) di Terminal Curah Cair, Dermaga Ujung Baru, Pelabuhan Belawan, Medan. Sudah dua tahun keduanya meleles—mencari barang sisa—minyak sawit mentah atau CPO.

Siang itu, Rabu (22/10), para pencari barang sisa di pelabuhan ikut merasakan gejolak harga CPO. April lalu, saat harga CPO melambung tinggi menembus angka Rp 10.000 per kilogram (kg), mereka menikmati manisnya. Kali ini saat CPO jatuh pada kisaran Rp 4.000 per kg, mereka merasakan pahitnya.

Meski tanpa modal, mencari barang lelesan ternyata menjadi sumber pendapatan utama. Terutama bagi Bonar dan Hendrik. Bukan hanya warga Kampung Kurnia, Simpang Sicanang, Belawan, itu saja yang mencari lelesan. Ada sekitar 20 orang hidup dari CPO lelesan. Mereka berada di dermaga, di titik paling steril sebuah pelabuhan internasional. Tanpa pengenal, tanpa permisi.

Aktivitas ini sudah dianggap biasa bagi siapa saja di pelabuhan. Toh petugas sendiri juga membawa kendaraan pribadi masuk ke area dermaga. Batas antara dermaga dan area umum hanya berdiri pagar kawat. Tak terkecuali Bonar yang memancal sepeda kayuhnya keliling dermaga, hampir setiap hari.

Meleles CPO hanya butuh modal tempat. Para peleles minyak biasa mencari itu dengan menjungkirkan saluran pipa pengisian CPO yang terbuat dari karet keras. Pipa berdiameter 15 centimeter (cm) itu hampir pasti masih menyimpan endapan minyak yang diisi dari tangki timbun ke kapal tanker. ”Cukup dengan ini, kami bisa dapat minyak,” kata Hendrik sambil menunjukkan karung plastik atau jeriken isi 10 kilogram.

Hasil pencarian minyak lelesan itu selanjutnya mereka jual ke seorang penadah di Belawan. Baik Hendrik maupun Bonar tak bersedia menyebut nama penadahnya. Di Belawan dia bisa jual Rp 4.000 per kg. Namun, saat ini dia hanya bisa jual antara Rp 400 dan Rp 500 per kg jika kualitas CPO kotor. ”Kalau bersih bisa jual Rp 1.000 per kg,” katanya.

Pekerjaan ini sudah mereka lakukan dua tahun belakangan. Hendrik bertetangga dengan Bonar, mantan buruh pabrik pengolahan kayu di Belawan. Perusahaan memecatnya tiga tahun silam. Dia lantas mencari nafkah dengan menarik betor (becak motor). Sayangnya penghasilan sebagai penarik betor ini, dirasakan tidak mencukupi untuk memberi makan satu istri dan lima anaknya.

”Cemana, tak cukup saya hidup dari betor. Ya kesinilah, cari sisa minyak,” katanya. Siang itu di dermaga, kapal tanker berbendera Liberia, Marshal Island, Balize, dan Vietnam sedang mengisi CPO dari tangki timbun. Bonar dan Hendrik menunggu pengisian ke kapal-kapal itu selesai.

Sabtu, 25 Oktober 2008

Harga Sawit Anjlok, Para Petani Jual Kebun

Sabtu, 25 Oktober 2008 | 08:45 WIB
PANGKALAN KERINCI--Efek domino krisis ekonomi global terus merambah ke bawah, diantaranya tekanan pada sektor usaha perkebunan kelapa sawit dan karet di tingkat produsen hulu, menyusul anjloknya harga. Di kalangan masyarakat, khususnya kalangan petani dan pekebun, dampak terbesar dipicu oleh penurunan jumlah uang beredar dan turunnya daya beli. Mau tidak mau, untuk tetap bertahan warga terpaksa menjual kebun dan barag berharga lain.

Kepala Desa Bagan Laguh, Kecamatan Bunut Syafli mengungkapkan, untuk memenuhi tuntutan hidup warga desa beramai ramai menjual lahan mereka. Ada yang menjual tanah kosong, dan tidak sedikit juga menjual kebun sawit dan karet produktif.

‘’Setahu saya sudah ada tujuh orang warga Bagan Laguh menjual kebun sawit. Yang ingin menjual tapi belum laku lebih banyak lagi, mungkin puluhan,’’ ungkapnya kepada Riau Pos, Jumat (24/10).

Yang mengerikan, kata dia, pada saat ini nilai jual kebun sawit di Bagan Laguh juga turun. Jika sebelumnya harga satu kavling mencapai Rp100 juta sampai Rp150 juta, banyak petani yang menawarkan harga dibawah Rp60 juta. Bagitu juga pasaran tanah kosong ikut turun. Untuk lahan yang biasanya laku Rp15 juta satu hektare, beberapa hari terakhir hanya ditawarkan Rp7 juta. Bahkan menurutya, tidak tertutup kemungkinan pasaran tanah di desa itu turun lagi. Terutama akibat tekanan yang dirasakan warga nasabah bank maupun leasing kendaraan. Selain itu, yang juga mendesak adalah biaya pendidikan di berbagai perguruan tinggi.

‘’Pada saat harga sawit kembali normal seperti dulu, harga kebun Rp100 juta ke atas. Saya khawatir masyarakat menyesal di belakang hari,’’ ujarya lagi. Untuk itu pihaknya berharap pemerintah membuat program-program kerakyatan yang dapat menyelamatkan ekonomi dalam jangka pendek. Pasalnya, krisis harga TBS dan karet dipercaya akan pulih kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama. ‘’Sebetulnya harus ada upaya yang pasti meningkatkan pendapatan masyarakat, walaupun untuk jangka pendek, itu harapan semua kami, sebab situasi sekarang sudah bahaya. Kemudian penyebab harga sawit turun perlu dicari dan dibicarakan dengan pemilik pabrik,’’ imbuhnya.

Menurut sejumlah sumber tokoh masyarakat di desa-desa, hal yang sama terjadi di semua kawasan penghasil TBS dan karet. Di Kecamatan Pangkalan Lesung, puluhan warga nasabah leasing berlomba-lomba menjajakan kendaraan kepada pihak lain. Ini dilakukan untuk menyelamatkan setoran uang muka (down payment/DP) kendaraan saja, sedangkan angsuran yang telah berjalan beberapa bulan sampai satu setengah tahun tidak lagi diharap kembali.

Pasalnya, pihak perusahaan leasing mulai intens menyebarkan surat teguran kepada nasabah. Kendati hanya berharap kembali DP, tidak mudah bagi warga menemukan peminat kendaraan mereka. Tokoh masyarakat setempat, Marhadi MR mengungkapkan, trend penjualan kembali kendaraan terjadi di setiap Satuan Pemukiman eks transmigrasi di Kecamatan Pangkalan lesung, Ukui, Kerumutan, dan Pangkalan Kuras. ‘’Penghasilan sawit dimana mana sama, tidak cukup. Makanya di semua desa, nasabah leasing nunggak. Daripada kendaraan ditarik, kembali DP saja jadilah,’’ungkapnya.

Menurutnya, penurunan uang yang beredar di masyarakat terukur. Pekan ini range penurunannya berada pada angka Rp1.800 per kilo, yakni dari Rp2.000 pada dua bulan lalu, menjadi hanya Rp200 pekan ini. Pada beberapa desa di Kabupaten Pelalawan, harga TBS lebih buruk lagi, antara Rp100-Rp150 saja per kilogram. Begitu juga karet, turun cukup jauh dari rata-rata Rp12 ribu menjadi Rp4000 per kilogram, berarti terjadi pengurangan pendapatan masyarakat sebesar Rp8000 pe kilogram karet.(uli)

Pengapalan CPO Mulai Menurun

Sabtu, 25 Oktober 2008 | 00:09 WIB

Medan, Kompas - Pengapalan minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil di Pelabuhan Belawan, Sumatera Utara, mulai menurun. Sebagian kapal menunggu muatan meski persediaan minyak sawit di tangki timbun banyak. Situasi ini mulai dimanfaatkan spekulan mencari kebun baru demi mendapatkan keuntungan tinggi.

”Hari ini pengapalan minyak sawit keluar pelabuhan sudah mulai turun. Kemarin ada empat kapal yang terjadwal belum sandar. Hari ini ada dua saja,” kata Penyelia Perencanaan Pusat Pelayanan Satu Atap PT Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan, Mulyono, Kamis (23/10) di Medan.

Mulyono menuturkan, saat ini ada empat kapal yang bersandar di Terminal Curah Cair, Dermaga Ujung Baru, Pelabuhan Belawan, Medan. Kapal yang dimaksud, antara lain TK (Tongkang) Abadi (dari Rengat) sedang membongkar muatan, MT G Mangalore, MT Yong Cheng, dan MT G Freezia. Adapun kapal pengangkut minyak sawit yang berada di lampu 1 Belawan, yaitu MT Bold World dan MT Asia Star.

Di perairan yang sama, kapal CPO yang belum terjadwal ada enam kapal. Mereka, kata Mulyono, belum jelas akan bersandar kapan di dermaga. ”Padahal, sebagian tangki timbun dalam posisi penuh isinya. Mereka saya duga menunggu pemuatan sampai harga kembali membaik,” tutur Mulyono.

Sebelumnya Sekretaris I Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Sumut Timbas Prasad Ginting mengatakan, sebagian pengusaha mulai melakukan negosiasi ulang. Negosiasi ulang ini terjadi lantaran harga CPO masih rendah. Saat ini transaksi penjualan CPO yang dibuat dua bulan silam mulai berakhir. Mereka ada yang tidak lagi melanjutkan kontrak sambil menunggu perubahan harga.

Timbas menanggapi turunnya pajak ekspor CPO dari 7,5 persen menjadi 2,5 persen per 1 November ini. Penurunan ini tidak berarti banyak bagi pengusaha sawit. Bahkan jika pajak sawit nol pun, pengusaha masih merugi menjual sawit ke pasar internasional. ”Pemerintah harus mengambil inisatif, misalnya memanfaatkan melimpahnya stok CPO di dalam negeri. Kebijakan mengembangkan biodiesel mulai jadi pertimbangan lagi. Sekarang saatnya untuk memikirkan ini,” katanya.

Kepala Seksi Pengembangan Usaha dan Perizinan Perkebunan Dinas Perkebunan Sumut Nazli mengatakan, belakangan mulai banyak orang yang mencari kebun sawit baru. Mereka menanyakan pihak yang mau menjual kebun kelapa sawit. (NDY)

Penetapan Upah Jangan Picu PHK

Buruh Minta Pemerintah Transparan dan Selektif
Sabtu, 25 Oktober 2008 | 01:02 WIB

Jakarta, Kompas - Penetapan upah minimum 2009 harus mempertimbangkan kemampuan perusahaan di tengah situasi perekonomian saat ini agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja. Untuk itu, empat menteri membuat peraturan bersama yang menjadi panduan daerah dalam menetapkan upah minimum 2009.

Peraturan bersama itu ditandatangani Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada Jumat (24/10) malam di Jakarta.

Peraturan Bersama tentang Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global itu tidak membatasi tingkat kenaikan upah minimum.

Pemerintah, kata Erman, menginginkan wakil serikat buruh, pengusaha, dan pemerintah daerah mempertimbangkan kondisi perusahaan di daerahnya sebelum menetapkan upah minimum. ”Prinsip utamanya supaya tidak ada PHK. Pemerintah tidak melarang kenaikan upah minimum, tetapi besarannya perlu dipertimbangkan bersama. Kenaikan sesuai tingkat pertumbuhan,” kata Erman.

Dijelaskan, peraturan bersama itu bagian dari upaya pemerintah mengantisipasi dampak krisis finansial global. Seiring dengan krisis tersebut, konsumsi diprediksi akan turun sehingga mengancam laju ekspor produk Indonesia yang dikhawatirkan akan menekan dunia usaha.

Apabila upah minimum ditetapkan melampaui kemampuan perusahaan, hal itu akan memicu kebangkrutan dan PHK.

Menurut Fahmi, peraturan bersama empat menteri itu pada intinya mendukung penetapan upah minimum dilakukan secara bipartit. Dengan demikian, dapat mencegah terjadinya PHK.

”Jangan sampai perusahaan tidak kuat membayar upah di tengah krisis keuangan global yang sangat menekan dunia usaha. Lebih baik dinegosiasikan upah minimumnya agar perusahaan bisa tetap beroperasi dan PHK dapat dihindari,” paparnya.

Setelah krisis dinilai berakhir, lanjut Fahmi, peraturan bersama itu terbuka ditinjau kembali.

Transparan dan selektif

Menanggapi terbitnya keputusan bersama empat menteri tersebut, kalangan serikat buruh meminta pemerintah agar selektif dan transparan dalam memberi dispensasi bagi perusahaan yang tidak mampu menaikkan upah minimum.

Presiden Federasi Serikat Pekerja Nasional Bambang Wirahyoso mengatakan, sudah ada aturan hukum yang menjadi acuan penetapan upah minimum. Perusahaan yang tak mampu memenuhi dapat mengajukan keberatan, maksimal sebulan setelah upah minimum ditetapkan, sambil melampirkan laporan produksi dan penjualan. ”Selama pengusaha transparan dan yang dilaporkan benar, pasti dapat keringanan,” tuturnya.

Adapun Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (K-SBSI) Rekson Silaban berpendapat, perusahaan yang masih ekspor dan pelaksana proyek pemerintah harus tetap menaikkan upah buruh melebihi inflasi. Dijelaskan, survei yang telah dilakukan menunjukkan kenaikan kebutuhan hidup layak 6-12 persen.

”Kami menyayangkan jika ada serikat buruh ngotot menuntut kenaikan upah tanpa mau memahami kondisi perusahaan. Bagi kami, yang terpenting perusahaan tetap eksis sehingga pekerjaan bisa dipertahankan,” ujarnya.

Bertanggung jawab

Dalam Pasal 2 peraturan bersama empat menteri disebutkan, Mennakertrans harus berupaya bersama wakil buruh dan pengusaha menyusun rekomendasi penetapan upah minimum sesuai kemampuan dunia usaha, terutama sektor padat karya.

Adapun Mendagri mengupayakan agar gubernur menetapkan upah minimum dan kebijakan ketenagakerjaan; Menperin mendorong efisiensi proses produksi, daya saing, dan optimalisasi kapasitas produksi.

Adapun Menteri Perdagangan bertanggung jawab mengantisipasi penyelundupan, memperkuat pasar domestik dan promosi konsumsi produk dalam negeri, serta mendorong ekspor hasil industri padat karya. (HAM/OSA)

Jumat, 24 Oktober 2008

PKS Tanpa Kebun Diarahkan Bermitra dengan Petani Mandiri

Jum’at, 24 Oktober 2008 16:59

Belum semua PKS di Riau memiliki kebun sendiri. Masih ada 29 PKS tanpa kebun. Kelompok ini disarankan menjalin mitra dengan petani mandiri.

Riauterkini-PEKANBARU- Keberdaan pabrik kelapa sawit (PKS) di wilayah Riau tidak seluruhnya didukung dengan keberadaan kebun kelapa sawit, padahal ketentuan baru mewajibkan setiap PKS harus memiliki minimal 20 persen kebun kelapa sawit dari total kapasitas produksi. Berdasarkan data Dinas Perekebunan Riau, dari 132 PKS yang ada, terdapat 29 PKS yang dibangun tanpa memiliki kebun sama sekali.

“Saat ini sudah ada 132 PKS di seluruh Riau. Dari jumlah tersebut ada 29 PKS yang dibangun tanpa memiliki kebun sama sekali,” ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo menjawab riauterkini di Pekanbaru, Jumat (24/10).

Karena itu Susilo menyarankan agar PKS yang belum memiliki kebun sama sekali untuk menjalin kemitraan dengan petani mandiri. Kemitraan tersebut penting diwujudkan karena bisa menguntungkan kedua belah pihak. PKS yang memiliki petani mitra, dapat untung dengan kepastian pasokan tandan buah segar (TBS) sebagai bahan baku produksi, sementara petani diuntungkan dengan adanya kepastian harga TBS.

Usulan kemitraan antara PKS tanpa kebun dengan petani mandiri akan menjadi salah satu agenda yang dibicarakan dalam pertemuan Gubernur Riau Wan Abubakar dengan para pengusaha perkebunan yang akan digelar Senin (27/10) mendatang. Pertemuan tersebut digelar dalam rangka mencarikan solusi terbaik atas krisis parah menyusul anjloknya harga TBS ke titik terendah.***(mad)

BI Dorong Penyaluran KUR, KKPE dan Kredit Revitalisasi Perkebunan

um’at, 24 Oktober 2008 17:45

Agar dapat membantu masyarakat kecil, Bank Indonesia melakukan koordinasi dengan perbankan yang fokus pada UMKM untuk menyalurkan 3 kredit program pemerintah. Yaitu KUR, KKPE dan Kredit Revitalisasi Perkebunan.

Riauterkini-PEKANBARU-Pemimpin Kantor Bank Indonesia Pekanbaru, Gatot Sugiono kepada Riauterkini Jum'at (24/10) mengatakan bahwa Bank Indonesia sangat komit untuk pengembangan ekonomi kemasyarakatan (UMKM). Untuk itu, BI sudah melakukan koordinasi dengan perbankan guna menyalurkan kredit program. Yaitu Kredit Usaha Rakyat (KUR), Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKPE) dan kredit revitalisasi perkebunan.

Untuk kredit program seperti KUR misalnya. Kredit ini menggunakan sistem penjaminan dari pemerintah oleh lembaga penjaminan. Yaitu Askrindo dan Jamkrindo.

"Data Bank Indonesia menyebutkan bahwa untuk dana KUR sudah disalurkan kepada 8.185 debitur dengan jumlah besaran dana KUR yang telah disalurkan mencapai Rp 322,8 milyar. Penyaluran dana KUR dilaksanakan oleh 6 bank. Yaitu BRI, Mandiri, BTN, BINI, Bukoppin dan BSM," terang Gatot.

Di sisi lain, penyaluran Kredit ketahanan pangan dan energi (KKPE/subsidi bunga) yang dikucurkan untuk banyak komoditas seperti padi palawija dan lain-lain jingga kini masih 0% penyalurannya.

Menurutnya, pada skala nasional, tahin 2008 ini total dana untuk kredit KKPE adalah sebesar Rp 80 triliun. Khusus Riau, dialokasikan sebesar Rp 121,7 miliyar. Dana sebesar itu digunakan untuk pengembangan berbagai komoditas.

"Untuk pengembangan tanaman pangan Rp 20,1 miliar.Ubi kayu/ jalar dan kacang dialokasikan Rp 10,11 milyar. Pengembangan komoditas cabe, bawang merah kentang dialokasikan Rp 56,11 milyar. Untuk peternakan 34,3 milyar," terangnya.

Disinggung mengenai lembaga perbankan yang menyalurkannya, Gatot menyatakan ada beberapa bank nasional dan daerah yang menyalurkan. Yaitu 10 BPD (minus bank Riau), BRI, BNI, BCA, Agro Niaga, Niaga, dan Bukoppin.

Kredit revitalisasi perkebunan (subsidi bunga kredit perkebunan hanya 10%. Sisa besaran bunga disubsidi pemerintah). Kredit revitalisasi perkebunan hanya diperuntukkan bagi 3 komoditas. Yaitu sawit, karet dan kakao.

"Kredit revitalisasi perkebunan hanya untuk petani kecil dengan jumlah kebun sebanyak 4 hektar saja. Bank yang ditunjuk untuk menyalurkan kredit revitalisasi perkebunan adalah Bank Riau, BRI, Bank Sumut, BNI, Bank Nagari dan Bukkopin," terang Gatot.

Menurut Gatot, BI akan komit menggerakkan skim kredit. Karena dirasakan masih kurang. Bahkan KKPE masih nol% dalam pengucurannya. " Kita mengharapkan respon positive dari pemerintah kabupaten/kota," katanya.***(H-we)

Kegiatan Bisnis Kelapa Sawit Terancam Lumpuh Total

Jum’at, 24 Oktober 2008 14:29
Penampungan CPO Dumai dan Belawan Nyaris Penuh,

Tangki penampung CPO di Dumai dan Belawan sudah hampir penuh. Jika tak segera berkurang untuk diekspor, maka usaha kelapa sawit bisa lumpuh total.

Riauterkini-PEKANBARU- Dua tempat penampung crude palm oil (CPO) terbesar di Dumai dan Belawan, Sumatera Utara saat ini sudah hampir kelebihan kapasitas tampung alias penuh. Selama ini sebelum diekspor ke negara tujuan, seluruh CPO dari Riau dan Sumatera Utara ditampung di kedua tempat tersebut. Jika kondisi ini terus berlanjut, sehingga kedua tempat penampungan CPO tersebut penuh, maka seluruh mata rantai kegiatan bisnis kelapa sawit akan lumpuh total.

"Kalau sudah tidak bisa ditampung lagi apa tak lumpuh total. PKS (pabrik kelapa sawit.red) tak bisa beroperasi karena tak bisa menjual, akhirnya petani tak bisa panen karena tak ada yang membeli," ujar Kepala Dinas Perkebunan Riau Susilo kepada riauterkini di kantor Gubernur Riau, Jumat (24/10).

Menurut Susilo, berdasarkan informasi dari Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Derom Bangun beberapa hari lalu, saat ini kedua lokasi tandon penyimpan CPO tersebut sudah mendekati ambang kapasitas maksimal penyimpanan. Pasokan CPO dari PKS-PKS yang ada di Riau dan Sumut lancar, sementara ekspor sedang macet.

Menghadapi situasi sulit tersebut, Susilo mengatakan satu-satunya solusi adalah pemerintah pusat turun tangan. Gapki sebagai organisasi juga diharapkan terus menekan pemerintah untuk cepat tanggap pada ancaman serius yang bisa membunuh dunia usai perkebunan kelapa sawit.

Beberapa langkah bisa diambil pemerintah untuk menghindari lumpuhnya kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit. Misalnya pemerintah mengurangi pajak ekspor, meskipun ini tidak terlalu signifikan pengaruhanya, atau pemerintah membeli CPO yang ada kemudian menjualkan ke pembeli di luar negeri dengan sistem kredit. Meningat saat ini bukannya kebutuhan CPO di pasar dunia berkurang, melainkan dikarenakan para pembeli internasional sedang kesulitan likuiditas. "Kalau sudah seperti itu langkah yang harus diambi harus ada perjanjian antarpemerintah," demikian penjelasannya.***(mad)

Harga TBS Makin Terjun Bebas

Friday, 24 October 2008

Melorot Hingga Rp 80/Kg, Harga Pemerintah Tak Diikuti

MUARATEBO - Harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit di Tebo makin terjun bebas. Dari harga Rp 400, Rp 200 kini di tingkatan petani hanya dihargai Rp 80/kg yang membuat petani makin tercekik. Informasi yang dirangkum Jambi Ekspres di lapangan, TBS yang dihargai Rp 80/Kg terjadi di Kecamatan Muara Tabir.

Harga serendah itu, terjadi pada perkebunan sawit yang terletak sangat jauh dari jalan dan merupakan harga bersih yang diterima petani pemilik kelapa sawit setelah dikurangi biaya-biaya ongkos angkut, pemanenan dan lainnya. Jika kebun sawitnya berada di pinggir jalan masih dihargai Rp 200/Kg pada tingkat toke dan harga jual TBS langsung ke pabrik sebesar Rp 400/kg.

‘’Petani makin sengsaro, petani hanya bisa terima bersih Rp 80/kg dari penjualan TBS. Apalagi memang kebun kami ko jauh dari jalan dan mobil truk angkutan tak bisa masuk kebun karena jalannya rusak,’’ ujar Masri, salah satu petani kelapa sawit di Muara Tabir, kemarin. Harga pasar TBS yang serendah itu, jauh dari ketetapan harga yang sudah ditentukan. Padahal Dinas Perkebunan Kabupaten Tebo sudah mengeluarkan ketetapan harga TBS untuk periode tanggal 21 Oktober sampai 5 November yakni Rp 892,21 dan Rp 631.

Krisis ekonomi global ini juga berdampak pada harga karet. Kendati masih jauh dari harga normal yang dahulu rata-rata di atas Rp 10.000 ke atas, sebelumnya harga karet pernah jatuh sampai Rp 3.000/kg, namun hari ini (kemarin) sudah mulai naik Rp 4.800 di pasar lelang karet yang ada di Tebo.
‘’Petani masih sedikit untung jika karet dijual di pasar lelang, namun jika dijual dengan toke hanya dihargai Rp 2.500 – Rp 3.000. Perkembangan harga karet ini berganti setiap hari. Petani karet kini lebih memilih menjual hasil kebunnya ke pasar lelang, karena untungnya lebih banyak apalagi getah karetnya bersih tak dicampur tatal dan kering,’’ tukas Suwarjo, salah satu petani karet di Kecamatan Rimbo Ilir, kemarin. (uka)

Pemerintah Tak Berdaya, Stabilkan Harga TBS dan Karet

Friday, 24 October 2008

JAMBI - Pemerintah Provinsi Jambi tak berdaya hadapi krisis ekonomi global yang berdampak pada turunnya harga komoditi andalan Jambi, yakni sawit dan karet. Bukannya tidak perhatian atas nasib malang yang menimpa ribuan petani Jambi ini, namun pemerintah memang tidak bisa membantu lebih selain memberikan pengawasan agar turunnya harga ini tidak dimanfaatkan oleh para spekulan. Hal ini disampaikan kadisbun provinsi Jambi, Ali Lubis saat ditemui Jambi Ekspres, Kamis (23/10) kemarin.

“Kita tidak bisa berbuat apa-apa dengan anjloknya harga TBS dan karet ini. Yang bisa kita maksimalkan adalah pengawasan agar harga yang semakin rendah ini tidak dimanfaatkan oleh spekulan yang jelas semakin merugikan petani,” ungkapnya.

Untuk sawit, memang saat ini mau tidak mau petani harus menjualnya. Selain karena komoditi satu ini tidak tahan lama, karena dengan menjual TBS nya, Ali berharap masih ada uang yang bisa dihasilkan untuk mengamankan ekonomi keluarga. Namun untuk karet, menurut Ali itu tergantung kebutuhan masing-masing petani.

“Kita himbau agar masyarakat untuk bertahan di tengah krisis seperti ini. Jual saja seperlunya karena harga karet saat ini turunnya tidak setajam sawit,” urainya.

Terkait banyaknya kerugian yang dialami oleh petani akibat anjloknya dua komoditi ini hingga menyebabkan stress. Menurut Ali itu bisa dijadikan pelajaran yang berharga untuk masa yang akan datang. Terkait bentuk bantuan pemerintah yang mungkin bisa digulirkan kepada para petani, dikatakan Ali tergantung dari bupati masing-masing.

“Yang menjadi persoalan saat ini adalah banyak petani stress karena hutang mereka di bank tidak bisa dibayarkan dengan kondisi saat ini. Kalau jumlahnya sedikit, itu tentu tak jadi soal. Tapi kalau ratusan juta rupiah, terang saja mendatangkan ketakutan. Untuk itu bupati harus cepat bertindak,” terangnya.

Tindakan yang bisa dilakukan tentu saja dengan memfasilitasi petani sawit dan karet ini dengan pihak bank. Bagaimana caranya agar kredit hutang mereka yang jumlahnya ratusan juta ditangguhkan pembayarannya untuk sementara waktu. Mobil, rumah ataupun toko yang mereka jaminkan tidak disita oleh bank.

Khusus karet dikatakan Ali masih banyak petani yang memperoleh harga tinggi setiap kilonya. Karet yang diambil dari petani masih berkisar antara Rp 8.599 hingga 6.051. Ini juga terjadi di beberapa pasar lelang karet yang ada di Jambi.

Dilain pihak, kabiro ekbang Hasvia mengatakan bahwa upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi krisis ini lebih pada pengalihan pangsa pasar. Namun memang itu tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Tapi upaya ke arah sana terus diupayakan pemerintah.

“Kita hanya bisa melakukan perubahan sttrategi pasar. Jadi yang selama ini komoditi kita kebanyakan di ekspor ke Amerika dan Eropa. Maka saat ini kita upayakan ke Asia, saat ini sedang kita lakukan promosinya,” jelas kandidat Plt Walikota Sungai Penuh ini.

Konsumsi dalam negri juga menjadi arah kebijakan pemerntah Jambi. Bagaimana agar komoditi sawit dan karet ini lebih dimaksimalkan penggunaanya di Jambi terus dikembangkan. Terkait bantuan berupa subsidi yang akan diberikan pada petani yang saat ini sedang mengalami kerugian, menurut Hasvia pemerintah tidak bisa melakukan hal tersebut.

“Sementara yang bisa kita lakukan disverifikasi negara tujuan saja,” tegasnya. (wix)

Pemerintah Dinilai Tak Peduli Petani

Friday, 24 October 2008
JAMBI - Gejolak harga sawit yang turun drastis membuat para petani sawit menjerit. Bahkan tidak sedikit petani yang ingin menjual kebun sawitnya.

Melihat fenomena ini Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jambi, menuding pemerintah tidak peduli pada nasib petani.

‘’Kejadian ini kan pernah terjadi 10 tahun silam, bahkan sudah diramalkan pakar ekonomi Rizal Ramli, waktu itu harga karet turun drastis. Tapi kenapa pemerintah tidak memetik pelajaran tersebut,’’ ujar Sutan Adil Indra, ketua HKTI Jambi kemarin.

Dihubungi via ponsel kemarin, dia menyebutkan seharusnya pemerintah jangan hanya memfokuskan petani hanya kepada sawit saja. Akibatnya jika harga turun seperti ini, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa.

Jika memang mereka peduli, lanjutnya, kenapa tidak di sosialisasikan kepada petani untuk menanam tanaman tompang sari, seperti pisang dan jagung, jadi tidak terfokus pada sawit saja. ‘’Selama ini kan tidak ada sosialisasi tersebut,’’ tegasnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Jambi, Ali Lubis, mengatakan pemerintah sebenarnya tidak berpihak hanya kepada sawit. Sektor perkebunan di Jambi tetap diseimbangkan. ‘’Saat ini perkebunan di Jambi ini kan tetap seimbang antara sawit dan karet, hanya saja harga sawit yang turun drastis,’’ katanya.

Dia juga mengatakan pemerintah tengah berupaya untuk keluar dari dampak krisis global ini, ‘’Makanya kita harapkan petani menghindari pembelian barang yang tidak terlalu penting, sekarang petani harus tetap tenang,’’ imbuhnya.

Pemerintah akan terus mengawasi para PKS, lanjutnya, agar membeli sawit dengan harga kesepakatan. Dia juga menghimbau agar para petani menjual TBS langsung ke PKS dengan cara berkelompok, ‘’Agar harga tidak terlalu murah, jangan jual lewat tengkulak,’’ pungkasnya.

Sedangkan, petani Sawit, H Arsyad, mengatakan saat ini mereka enggan menjual hasil panennya hingga harga kembali normal, ‘’Kita akan bertahan, sampai keadaan kembali normal. Kalau kita jual sekarang kita rugi,’’ tegasnya. (imm)

Kamis, 23 Oktober 2008

Sijunjung Kembangkan Sawit Genetik

Kab. Sijunjung | Rabu, 22/10/2008 13:45 WIB
Darlinop - Padang Ekspres

Nagari Aia Amo, Kecamatan Kamangbaru, Kabupaten Sijunjung mendapat kepercayaan dari Dirjen Perkebunan melaksanakan program sumber daya genetik kelapa sawit (plasma nutfah) di atas lahan seluas 1000 hektar yang menurut rencana akan dilaksanakan tahun depan.

“Daerah kita satu-satunya di Indonesia yang mendapat program SDG (sumber daya genetik) ini dari Dirjen Perkebunan,” tegas Kepala Dinas Perkebunan dan Tanaman Pangan Kabupaten Sijunjung Adiputra Effendi kepada Padang-Today.

Dikatakannya, daerah ini nantinya, akan menjadi kebun koleksi nasional karena pada areal seluas 1000 hektar itu akan di tanam seluruh jenis bibit kelapa sawit yang ada di dunia ini. Bibit kelapa sawit itu nantinya akan di seleksi dan di kawin silangkan untuk mendapatkan bibit yang terbaik. Kabupaten Sijunjung dalam hal ini hanya menyediakan lahan, sementara seluruh pembangunannya akan ditanggung oleh pemerintah pusat melalui Dirjen Perkebunan. Selain daerah, masyarakat yang ada di sekitar lokasi juga akan mendapatkan kompensasi kalau program ini sudah dilaksanakan.

"Sekarang ini, Dinas Perkebunan dan Tanaman Pangan Sijunjung sudah melakukan sosialisai kepada masyarakat pemilik ulayat akan arti pentingnya program pemerintah pusat ini dilaksanakan di daerah ini. Kompensasinya masyarakat akan dibuatkan lahan perkebunan baru. Kalau tidak ada kendala, tahun depan kita sudah bisa melakukan MoU (Memorandum of Understanding) dengan Dirjen Perkebunan. Dengan pembukaan lahan tahap awal seluas 100 hektar. Karena program ini memang dilakukan secara bertahap hingga mencapai 1000 hektar," tutupnya. (*)

Pemerintah Akan Tambah Pabrik Minyak di Pasaman

ATASI ANJLOKNYA SAWIT

Rabu, 22/10/2008 20:41 WIB


padangmedia.com - PADANG – Anjloknya harga sawit di pasaran dunia, mau tidak mau ikut berpengaruh bagi Sumatera Barat. Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi menyurati walikota dan bupati agar ikut melakukan antisipasi dan memberi petunjuk pada petani sawit di daerah.

“Saya sudah surati bupati dan walikota. Karena tindakan emosional petani bisa saja terjadi. Bisa saja terjadi, begitu harga turun, petani tidak mengurus kebunnya. Kadang ada menebang kebun dan mengganti dengan komoditi lain. Kita minta bupati memantau agar tidak ada langkah-langkah seperti itu. Padahal ini sifatnya sementara,” ungkap Gamawan Fauzi, Gubernur Sumbar, Rabu (22/10).

Menurut Gamawan, harga sebenarnya di pabrik itu masih sekitar 800/kg. Hanya saja da dua masalah yaitu infrasturktur di pedesaan tinggi karena itu dibei calo dengan harga murah yaitu 400 – 450. Masalah lain, selama ini ketika harga naik, kelompok-kelompok petani seperti koperasi sawit tidak dipatuhi. Kebanyakan petani menjual sendiri-sendiri sawitnya kepada calo. “ Kita minta bupati mengaktifkan kembali kelompok-kelompok dan koperasi tani. Sebenarnya yang sudah punya komitmen dengan pabrik, seperti swamitra, harganya 800. Tapi yang menjual sendiri-sendiri kepada calo, harganya jadi 400 ,” paparnya.

Sekaitan dengan anjloknya harga itu, apakah ada kemungkinan pemerintah membeli sawit petani, Gamawan pesimis. Karena luas lahan sawit di Sumbar sekitar 380 ribu hektar. Jika dalam satu hektar saja ada hasil 2 ton, berapa banyak dana yang harus disediakan pemerintah untuk membeli sawit petani. Sementara kondisi ini tidak terbatas, tidak diketahui sampai kapan berakirnya.

“Tapi yang lebih memungkinkan adalah, pemerintah akan membangun pabrik minyak curah satu unit lagi di Pasaman dengan konsorsium. Ketika Tandan Buah Segar (TPS) TPS harganya sangat rendah, akan dimasukkan dalam pabrik minyak curah itu,” ulasnya. (nit).

Pungutan Ekspor CPO 2,5 Persen

Aktivitas Pengapalan di Pelabuhan Belawan Normal
Kamis, 23 Oktober 2008 | 01:12 WIB

Jakarta, Kompas - Pemerintah mulai 1 November 2008 menurunkan tarif pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah atau CPO dari 7,5 persen menjadi 2,5 persen. Kebijakan ini diharapkan dapat menaikkan harga beli tandan buah segar milik petani kelapa sawit yang sejak bulan Agustus terus merosot.

Kebijakan menurunkan pungutan ekspor CPO itu ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan yang akan ditandatangani sebelum 25 Oktober. Demikian disampaikan Deputi Bidang Koordinasi Pertanian dan Kelautan Menko Perekonomian Bayu Krisnamurthi, Rabu (22/10) di Jakarta.

Seiring turunnya tarif pungutan ekspor (PE) CPO, industri diharapkan segera menaikkan harga tandan buah segar (TBS) sawit petani, sebesar 10-15 persen.

Tarif PE berlaku progresif mengikuti harga rata-rata CPO bulan sebelumnya yang berlaku di bursa Rotterdam. Dengan turunnya PE, diharapkan harga pokok CPO Indonesia bisa lebih murah dari Malaysia sehingga produsen CPO tidak harus menekan harga pembelian TBS dari petani.

Namun, petani meminta pemerintah agar menaikkan batas bawah harga acuan tarif PE nol persen agar gejolak harga TBS dapat mereda.

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Asmar Arsjad, kenaikan acuan harga untuk tarif PE nol persen dari 550 dollar AS menjadi 750 dollar AS per ton bisa meredakan gejolak harga TBS.

Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Perkebunan Achmad Mangga Barani menyatakan, pemerintah sedang membahas usulan menaikkan batas bawah tarif PE nol persen.

Saat ini harga jual TBS milik petani mandiri Rp 350-Rp 500 per kg. Harga TBS miliki petani plasma pemasok perusahaan perkebunan inti Rp 600-1.000 per kg. Padahal, pada bulan Juli, harga jual TBS petani mandiri Rp 1.300 per kg dan petani plasma Rp 1.600 per kg.

Rendahnya harga TBS akan meningkatkan potensi kredit macet petani kelapa sawit. Kusyanto, petani kelapa sawit di Kabupaten Kampar, Riau, misalnya, memaparkan, sekitar 70 persen petani di daerahnya membangun kebun kelapa sawit dengan berutang. ”Utang itu kini nyaris tak terbayar karena harga TBS hanya Rp 250 per kilogram,” katanya.

Situasi itu makin sulit karena harga pupuk tidak turun. Oleh karena itu, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit pola Perkebunan Inti Rakyat (Aspekpir) Riau Setiyono meminta pemerintah agar memberikan subsidi pupuk buat petani kelapa sawit.

Normal

Meski harga CPO di pasar dunia turun, pengapalan CPO sesuai kontrak yang sudah dibuat di Pelabuhan Belawan, Medan, masih normal. Penyelia Perencanaan Pusat Pelayanan Satu Atap PT Pelabuhan Indonesia I Cabang Belawan Mulyono mengatakan, hingga kini kapal yang memuat CPO belum berkurang, yaitu 3-4 kapal per hari.

Menurut anggota Asosiasi Tangki Timbun dan Pemompaan Belawan Sutikno, pemompaan CPO ke kapal 10.000-13.000 ton CPO per hari, belum berkurang. Bahkan, enam dari 13 tangki timbun yang dikelola perusahaannya masih ada yang kosong. (MAS/HAM/WAD/NDY/BIL/SAH)

Harga Sawit-Karet Tetap Anjlok


ANJLOK: Harga TBS kelapa sawit mengalami penurunan.

Thursday, 23 October 2008
http://www.jambiekspres.co.id

Meski Telah Ditetapkan Pemerintah
JAMBI -Upaya Pemerintah Provinsi Jambi untuk menekan harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit serta karet belum berhasil. Hingga kemarin dibeberapa daerah di Provinsi Jambi harga TBS kelapa sawit dan karet masih anjlok. Padahal, sumber mata pencaharian masyarakat Provinsi Jambi harganya sudah ditetapkan oleh Pemprov Jambi. Di Batanghari misalnya, harga kelapa sawit merosot sampai Rp 460/Kg sedangkan harga karet hanya Rp 5.000/Kg.



Pardilun, Kepala Desa (Kades) Teluk Melintang, Kecamatan Mersam, Kabupaten Batanghari kemarin mengatakan, saat ini para petani kelapa sawit dan karet di daerahnya merasa tercekik karena merugi besar dengan anjloknya harga ini.

"Saat ini dijual di pabrik (PT DMP) hanya Rp 460/Kg, sebelumya Rp 700/Kg bahkan sempat Rp 1.200/Kg. Kalau dijual ke penampung hanya Rp 200 hingga Rp 300/Kg. Jadi sangat merosot, sehingga para petani merugi besar,” keluh Pardilun kemarin.

Anjloknya harga juga menimpa karet. Menurut Pardilun yang juga merupakan petani karet ini beberapa hari menjelang lebaran Idul Fitri 1429 H beberapa waktu lalu, harga karet sempat menduduki posisi Rp 9.300/Kg, namun sekarang juga ikut anjlok menjadi Rp 5.000 hingga Rp 6.000/Kg, “Karet pun juga demikian, saat ini merosot hingga Rp 5.000/Kg, padahal sebelum lebaran mencapai Rp 9.300/Kg. Jadi semua petani mengeluh dengan kondisi harga saat ini, padahal kelapa sawit dan karet merupakan sumber mata pencarian disini. Kami berharap agar kondisi ini tidak lama, kepada pihak terkait agar bisa mengatasinya, semoga harga cepat kembali stabil,” harapnya.

Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Batanghari melalui Dinas Perkebunan (Disbun) dan pihak terkait lainnya, Rabu (20/10), bersama Pemprov Jambi sudah menetapkan harga TBS untuk seluruh wilayah Provinsi Jambi periode 21 Oktober-5 November 2008.

“Ya, harga TBS periode 21 Oktober-5 November untuk seluruh wilayah Provinsi Jambi sudah ditetapkan,” ungkap Ir Bambang Purnomo, Kepala Disbun melalui Sudiono, Sekretaris Dinas saat ditemui di ruang kerjanya kemarin.

Hasil rapat yang dilaksanakan di Disbun Provinsi Jambi itu menetapkan harga TBS kelapa sawit untuk periode 21 Oktober sampai dengan 5 November 2008 bervariasi, yaitu, untuk kelapa sawit umur 3 tahun seharga Rp 631,56/Kg, umur 4 tahun Rp 707,59/Kg, umur 5 tahun Rp 756,90/Kg, umur 6 tahun Rp 783,33/Kg, umur 7 tahun Rp 808,41/Kg, umur 8 tahun Rp 835,81/Kg, umur 9 tahun Rp 864,81/Kg dan umur 10 tahun Rp 892,21/Kg.

Penentuan harga TBS kelapa sawit ini dengan memperhatikan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 395/Kpts/OT,140/11/2005, tentang Pedoman Penetapan Harga Pembelian TBS kelapa sawit produksi petani.

Dimana kesepakatan CPO, Inti dan Indek “K” yang menjadi dasar perhitungan dalam penetapan harga TBS tersebut. Dimana dalam rapat di Provinsi tersebut ditetapkan harga CPO periode 21 Oktober-5 November 2008 sebesar Rp 4.373,29/Kg, harga inti sawit Rp 2.296,83/Kg dan indeks K dipakai indek “K” hasil rata-rata kesepakatan Kabupaten yaitu Rp 85,26 persen.

Sedangkan realitas di lapangan harga TBS kelapa sawit dibeli perusahaan jauh dibawah harga ketetapan tersebut. Hal ini juga diakui Sudiono. Menurutnya itu bisa terjadi karena banyak faktor dilapangan, diantaranya terkadang TBS yang dijual warga itu kualitasnya juga kurang.

“Memang harga sawit sekarang dibawah harga ketetapan tersebut, itu ada faktor-faktor penyebabnya, seperti umur TBS tiga tahun dicampur dengan umur dengan umur sepuluh tahun, jadi kualitasnya kurang, terkadang TBS itu disirami pasir atau air oleh warga,” terangnya.

Di Tebo anjloknya harga TBS kelapa sawit dan karet lebih parah. Harga jual TBS kepada para toke TBS dari petani hanya Rp 200/kg, sedangkan harga jual TBS langsung ke pabrik masih lumayan yakni Rp 400/kg.

Dengan kenyataan harga TBS yang serendah itu tampaknya jauh dari kesepakatan harga yang sudah ditentukan, karena pihak Dinas Perkebunan Kabupaten Tebo sudah mengeluarkan ketetapan harga TBS untuk periode tanggal 21 Oktober sampai 5 November yakni Rp 892,21 dan Rp 631.

“Kita sudah tetapkan harga segitu, namun kenyataan dilapangan lain, kita akan melakukan koordinasi dan pertemuan lagi dengan dinas intansi, terkait anjloknya harga TBS tersebut,”tukas Rafiq staf Disbun Tebo kemarin

Sementara itu, Julian Kasi Perdagangan Disperindagkop Tebo mengatakan, pihaknya rutin melakukan pemantauan dilapangan, bahkan hari ini (kemarin, red) dirinya bersama staf lainnya sedang berada di Sungai Bengkal melakukan pengecekan harga TBS dan karet di tingkatan petani.

“Kalau untuk harga karet dipasar lelang kemarin, harga tertinggi karet bersih Rp 9.350/kg, sedangkan harga rata-rata karet Rp 8.100/kg. Untuk harga TBS hanya Rp 400/kg, diharapkan para petani karet dan sawit untuk tidak terlalu resah dengan tidak stabilnya harga 2 komoditi andalan para masyarakat Tebo ini,”ujar Julian via ponselnya kemarin yang mengaku sedang melakukan pengecekan harga di wilayah Sungai Bengkal, Tebo Ilir.

Munawir Sadzali salah satu petani sawit di Tebo mengatakan, anjloknya harga TBS tersebut membuat para petani resah, bahkan tidak sedikit petani yang memilih tidak memanen TBS-nya karena sudah dihitung-hitung untuk ongkos memetik, mengangkut dari kebun ke pabrik/tengkulak, petani sudah tekor.

“Kalau kita langsung jual ke pabrik harganya Rp 400, kalau dijual lewat tengkulak hanya dihargai Rp 200. Itupun jika lokasi kebun sawitnya dekat jalan dan bisa dilewati mobil truk angkutan, jika tidak pembeli TBS tidak akan ada yang mau beli, karena tekor untuk angkos angkut dan beli BBM tidak cukup.”tukas Munawir Sadzali kemarin

Parahnya lagi menurut Munawir ada beberapa petani TBS dan karet yang sudah mengambil berbagai perabotan elektronik, mobil truk dalam bentuk kredit, saat ini mereka menjerit karena untuk membayar ongkos angkut pemanenan TBS dan karet saja tidak cukup, apalagi untuk membayar angsuran kredit tersebut.

“Jadi saat ini bagi petani yang biasanya mengupahkan kepada orang lain memanen getah karet atau TBS, kini mereka kerja sendiri sekuat tenaga, karena mengirit ongkos yang dikeluarkan,”tukasnya kemarin.

Di Kabupaten Merangin harga TBS sawit dan karet juga anjlok. Untuk buah yang sangat kecil hanya di beli oleh pedagang penampung buah sawit Rp 250/Kg. Untuk buah sedang dibeli Rp 300- Rp 400/Kg. Sedangkan buah yang besar ada yang mencapai Rp 500/Kg. Karena pihak perusahaan di Merangin hanya membeli seharga Rp 750/Kg, untuk buah kualitas bagus.

‘’Sekarang ini nasib petani sawit lagi sangat terpuruk, rata-rata untuk buah sawit yang sedang di jual seharga Rp 400/Kg dan yang kecil atau buah pasir Rp 200/Kg,’’ ujar Jumadi, salah seorang petani sawit di Pamenang menjawab harian ini, kemarin.

Yang sangat menyakitkan lagi, malah pihak perusahaan tidak mau membeli buah sawit dari petani. Karena hanya menampung buah sawit dari kebun inti. Lantaran CPO yang di produksi oleh perusahaan juga sulit dijual. Karena harga jual CPO sangat rendah sekarang ini. ‘’Ini mungkin dampak krisis global, kita orang kecil juga susah buatnya,’’ ujar ayah tiga putra itu.

Kondisi ekonomi yang susah dan sulit juga dirasakan oleh petani karet di Merangin. Karena harga karet juga terus menurun. Apalagi harga karet ada yang mencapai Rp 2.000/Kg. Sedangkan sebelumnya harga karet lebih dari Rp 10 ribu/Kg. ‘’Sekarang ini harga karet ada yang dijual Rp 2000/Kg. karena para toke juga tidak bisa menjualkannya,’’ ujar Abdullah, salah seorang petani karet di Bangko kemarin.

Dia juga mengakui akibat dari anjloknya harga karet membuat petani karet kesulitan dalam ekonomi. Apalagi untuk menyekolahkan anak-anak sangat besar biayanya. Belum lagi sembako yang tak kunjung turun. ‘’Anak-anak harus sekolah dan sembako terus dibeli. Sementara pendapatan berkurang akibat dari turunya harga getah (karet,red) di tingkat petani,’’ paparnya.

Yang menyakitkan lagi bagi para petani karet yang sedang mengambil motor kredit. Sementara kredit motor satu bulan ada yang berkisar Rp 400 ribu-Rp 600 ribu/bulan. Sementara pendapatan tak mencapai Rp Rp 500 ribu/bulan. ‘’Bisa-bisa banyak motor kredit yang ditarik ke dialer oleh petugas kredit, akibat dari krisis ini,’’ papar Ivan, salah seorang petugas kredit motor menjawab koran ini, kemarin.

Pantauan koran ini, dampak dari anjloknya harga sawit dan karet akhir-akhir ini membuat ekonomi masyarakat Merangin menurun. Apalagi sebagain besar mata pencaharian masyarakat di Bumi Tali Undang Tambang Teliti Merangin ini adalah petani sawit dan karet.

Buktinya pasar kalangan di setiap kecamatan pasca lebaran ini selalu sepi. Begitu juga di pasar Bangko. Dampaknya pendapatan para pedagang juga otomatis berkurang.

Begitu juga masyarakat yang menyimpan dan menstrasfer uangnya di perbankan di Merangin juga akhir-akhir ini berkurang. Karena uang yang ingin ditabung dan ditransfer oleh nasabah juga sedikit.

‘’Sepertinya perputaran uang di Merangin ini sedikit akhir-akhir ini. Buktinya nasabah terus berkurang,’’ ujar beberapa petugas teller Bank di Bangko Kabupaten Merangin kemarin.

Di Kabupaten Sarolangun anjloknya harga TBS kelapa sawit dan karet sangat dirasakan para petani. Asnawi petani, pemilik 8 hektare kebun kelapa sawit di Desa Pulau Pandan, Limun menjelaskan, bahwa untuk saat ini dirinya tidak menjual kelapa sawit dikarenakan mengalami penurunan harga yang cukup drastis yaitu Rp 300 perkilogramnya.

‘’Sampai saat ini (kemarin) harga kelapa sawit masih Rp 300 perkilogramnya dari sebelumnya pada September hanya Rp 650 /Kg, dan Agustus Rp 850/Kg. Namun pada bulan Juli harga sangat memuaskan yaitu Rp1.560/Kg. Yang paling tinggi harga kelapa sawit pernah Rp 1.700/Kg pada bulan Januari hingga Maret,’’terang Asnawi.

Sedangkan Subair toke karet di Desa Tanjung Rambai Kecamatan mengaku harga karet mengalami penurunan cukup drastis, dari Rp 13.000/Kg sebelum hari Raya Idul Fitri, dan setelah lebaran turun menjadi Rp 5.000/Kg.

‘’Sebelum lebaran, petani datang ke rumah saya jual karet dengan harga Rp 11.000/Kg, dan saya jual dengan harga Rp 13.000/Kg. Setelah lebaran petani menjual hanya Rp 3.500 hingga Rp 4.000/Kg dan saya jual hingga saat ini Rp 5.000/Kg,’’ungkap Subair.

Namun saat ini, katanya lagi, sejak harga karet turun, petani tidak mau menyadap dan bahkan mereka (petani) mencari pekerjaan lain menjelang harga karet naik.’’Saya sangat prihatin sekali dengan penurunan harga karet, sehingga banyak petani karet enggan menyadap dan beralih mata pencaharian,’’ungkapnya.

Kadis Perindagkop Sarolangun Muswarsah saat dikonfirmasi via telepon selularnya mengatakan, bahwa Pemkab Sarolangun telah berupaya dalam penanganan krisis keuangan global dunia baru-baru ini yang berdampak terhadap penurunan harga sawit dan karet.

‘’Kami telah mengumpulkan pelaku usaha guna mendengar keluhan terkait krisis global tersebut. Namun pemkab siap untuk memfasilitasi mempermudah pengkreditan pinjaman di Bank terhadap pelaku usaha terutama kelapa sawit dan karet. Mudah-mudahan kondisi ini tidak berlangsung lama,’’ungkap Muswarsah.

Di Kabupaten Muarojambi harga Tandan Buah Sawit (TBS) di Murojambi dalam satu bulan terakhir terus merosot tajam ke titik terendah. Kemarin, satu kilogram TBS hanya bernilai Rp 150/Kg. Sementara, harga pupuk relatif stabil dan tetap saja masih sulit diperoleh seperti kondisi yang ada selama ini.

Merosotnya harga TBS itu sangat dikeluhkan oleh petani pemilik kebun kelapa sawit, terutama mereka yang tidak memiliki usaha atau kerja sampingan seperti di unit transmigrasi Sungaibahar dan Sungaigelam. Soalnya, sebagian besar petani tersebut hanya menggantungkan sepenuh hidup mereka pada perkebunan kelapa sawit.

Beberapa petani menuturkan, kalau dalam sebelumnya mereka bisa memperolah hasil panen rata-rata sekitar Rp 3 juta/kapling/bulan, namun kini mereka hanya memperoleh tidak lebih dari Rp 500.000. Penghasilan sebesar itu habis hanya untuk upah panen dan tentu saja sangat tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi untuk menyekolahkan anak di luar daerah.

Itu belum termasuk biaya perawatan dan potongan koperasi serta angsuran pembayaran kredit barang. Ironisnya, harga pupuk tetap mahal. Lantaran tidak seimbangnya haga TBS dengan harga pupuk tersebut, dalam satu bulan terakhir rata-rata petani terpaksa tidak memupuk kebun kelapa sawitnya. Selain itu, pupuk tetap masih sulit diperoleh sebagaimana kondisi selama ini.

‘’Yang membuat petani sangat terpukul yakni merosotnya harga TBS tidak diiringi dengan merosotnya harga sembako dan pupuk. Kalau harga TBS sudah jatuh Rp 150/Kg, petani mau makan apa lagi. Harga Rp 500 saja sudah menyusahkan, apalagi di bawah itu. Untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari, banyak petani terpaksa meminjam uang pada koperasi dan toke-toke," kata Tarigan, salah serang petani di Sungaibahar.

Petani berharap, kondisi seperti saat ini cepat pulih, sehingga usaha perkebunan kelapa sawit di Muarojambi kembali bergerak lancar. Tetapi, kalau kondisinya tidak segera pulih, maka dikhawatirkan banyak petani sawit yang akan berurusan dengan pihak perbankan dan lembaga perkreditan. Soalnya, pinjaman pada bank dan kendaraan yang dibeli secara kredit dipastikan menunggak angsuran. (fah/bim/era/uka/jio)

Sejumlah Pabrik Pilih Stop Berproduksi

Thursday, 23 October 2008
http://www.jambiekspres.co.id

LENGKAP sudah penderitaan para petani sawit terutama di Kabupaten Bungo. Betapa tidak! Selain dipusingkan dengan jatuhnya harga jual TBS dan karet, sejak Senin (20/10) hingga saat ini pihak perusahaan PT. Sari Aditya Loka (SAL) dan PT. Mega Sawindo yang selama ini menjadi andalan bagi warga Kabupaten Bungo melakukan penyetopan produksi. Akibatnya hingga saat ini banyak TBS serta getah warga yang tak laku dan para petani harus mengalami kerugian yang lebih besar lagi.

Informasi yang berhasil dihimpun oleh Koran ini dilapangan, kebijakan perusahaan melakukan penutupan pabrik yang dilakukan oleh dua perusahaan tersebut, direncanakan tak berlangsung lama, diperkirakan hanya dalam minggu ini juga pihak perusahaan akan melakukan pertemuan dengan pihak KUD guna membahas harga jual TBS serta karet yang anjlok tersebut.

Wargito ( 40) warga Dusun Muara Kuamang, Kecamatan Pelepat Ilir yang juga merupakan petani sawit serta karet saat ditanya Bungo Pos (Jambi Ekspres Grup) mengatakan akibat kebijakan prusahaan melakukan penutupan produksi tersebut berdampak besar terhadap lumpuhnya ekonomi petani.

“Tak seharusnya pihak perusahaan melakukan penutupan produksi yang berdampak lumpuhnya perekonomian para petani, oleh sebab itu harapan kita petani dalam waktu dekat ini pabrik harus melakukan produksi kembali” tukas Warito

Sementara ditempat terpisah Camat Pelepat Ilir Rozali SE juga mengutarakan hal senada. “ Pihak perusahaan harus sesegera mungkin untuk membuka pembelian TBS serta getah para petani, karena dikwatirkan gejolak yang ditimbulkan atas insiden ini akan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakt Kecamatan Pelepat Ilir khususnya,” ujar Rozali terhadap pihak perusahaan

Sedangkan ditempat terpisah Humas PT.Mega Sawindo, Mardian yang dikonfirmasi via selularnya mengatakan, vakumnya kegiatan produksi pabrik, karena harga dunia saat ini tidak stabil. “Penutupan ini dilakukan jelang dilaksanakannya pembahasan harga terhadap pihak KUD, dan setelah dilakukan pembahasan harga produksi akan kembali dilaksanakan,” tukas Mardian

Ditempat terpisah, Syahwami,SH yang juga petani sawit yang memiliki kebun sawit Plasma di PT.Mega Sawindo Perkasa saat dikonfirmasikan bahwa sampai hari ini pabrik Sawit PT.Mega Sawindo Perkasa masih buka namun PT.Sawindo tidak menerima pembelian Sawit dari luar hanya menerima pembelian Sawit Plasma. ”Sampai hari ini pabrik Mega Sawindo masih beraktivitas, namun tidak meneraima sawit dari luar hanya menerima sawit plasma saja,”Ujar Syahwami.

Bagaimana dengan perusahaan pabrik sawit PT.Bina Makmur Mandiri (BMM) yang berlokasi di Kecamatan Bathin II Babeko apakah juga menutup aktivitas pabrik sawit akibat anjloknya harga jual sawit saat ini? Humas PT. BMM, Fahri.J saat dihubungi kemarin menyatakan masih tetap beraktivitas.

"PT. BMM masih tetap beroperasi sampai hari ini kita beli harga sawit dari KUD yang disalurkan petani kepada KUD kita beli Rp 610/Kg, untuk saat ini kita masih stabil sebab kalau pabrik tutup kasihan petani juga karyawan kita bisa menganggur,”ujarnya. (jenn)

PKS Beli di Bawah Harga Standar

Thursday, 23 October 2008
http://www.jambiekspres.co.id

ADANYA oknum Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang membeli Tandan Buah Segar (TBS) di bawah harga standar diakui oleh Kadis Perkebunan Provinsi Jambi, Ir Ali Lubis. Dia sendiri sangat menyayangkan hal itu. Makanya dia meminta agar PKS di seluruh provinsi Jambi jangan menekan harga.

“Ini tetap dalam pengawasan kita, untuk itulah seluruh kasubdin saya kerahkan ke kabupaten untuk mencermati kondisi ini. KUD juga harus berperan untuk menstabilkan harga dalam keadaan ini agar masyarakat tenang,” urainya.

Agar masyarakat tidak terjebak dalam permainan spekulan yang sangat merugikan katanya, KUD diharapkan merapatkan barisan. Terkait banyaknya keluhan masyarakat yang TBS nya dibeli seharga Rp 200 hingga Rp 400/kg oleh PKS, Ali mengaku pihak pemerintah tidak bisa langsung interpensi.

“Dengan harga yang ditetapkan kita sekarang, jika PKS mematuhi, maka harga yang sampai ke tangan petani bisa jadi Rp 400. Karena dengan harga Rp 800 itu termasuk di dalamnya ongkos panen, ongkos transportasi, pemotongan hutang dan biaya lainnya,” terang Ali.

Namun jika ada inti yang membeli dari plasmanya kurang dari harga Rp 800- an, maka patut dipertanyakan sebutnya. Pasalnya indikasinya memang bisa jadi PKS menekan harga yang tidak sewajarnya. Namun jika ini terjadi pada petani swadaya, selain faktor diatas ada beberapa hal lagi yang patut dipethitungkan.

“Bisa jadi kualitas TBS nya yang memang sangat buruk. Atapun ia menjual tidak langung ke pabrik, tapi pada tengkulak yang jelas ingin mengambil keuntungan,” urainya.

Terkait pengalihan pangsa pasar CPO seperti yang direncanakan, Ali mengaku tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat. Untuk itu Ali minta kepada perantara untuk tidak mengambil keuntungan yang besar dari usaha jual beli TBS mereka. Karena saat ini petani kelapa sawit sedang mengalami masa-masa sulit.

"Karena Gubernur prihatin dengan kondisi petani sawit kita, maka beliau minta KUD untuk benar-benar diberdayakan," tukas Ali Lubis.

Sementara itu, harga sawit hingga kemarin tetap masih anjlok. Dari rapat TBS saja, harga yang sebelunya ditetapkan Rp1.017, kemarin malah turun menjadi Rp 892/Kg. “Harga TBS terhitung hari Selasa (21/10) kemarin adalah Rp 892/kg dari Rp 1.017 pada hari sebelumnya,” ungkap Ali.

Menurut Ali ini merupakan kesepakatan bersama tim perumus harga TBS tanggal (20/10) yang diselenggarakan di Kantor Disbun. Sedangkan pihak yang hadir diantaranya, PTPN IV, seluruh PKS yang ada di provinsi Jambi, Pusat KUD Jambi dan disbun kabupaten. Untuk sawit yang umur tanamannya 10 tahun, maka TBS/Kg adalah Rp 892,21.

Harga itu ditetapkan dengan memperhatikan surat keputusan menteri kehutanan dan perkebunan nomor 395/kpts/OT.140/11/2005. Dasar perhitungannya sendiri menurut Ali adalah kesepakatan CPOm dan Indek K. Dalam rapat tersebut juga meminta perusahaan agar mengirim data harga penjualan CPO dan inti sawit lengkap dengan invoice dan perhitungan indeks K yang disepakati kabupaten. (wix)

Rabu, 22 Oktober 2008

Petani Sawit Diimbau Tidak Bertindak Emosional

PEKANBARU-Harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit semakin memburuk. Kini tak hanya harga jual sawit milik petani mandiri saja yang merosot ke kisaran Rp300 per-kilogram, tetapi juga di kelompok petani yang bermitra dengan pabrik kelapa sawit (PKS). Satu kilogram TBS kini menjadi Rp823 atau turun sebesar Rp224/kg dari harga sebelumnya yang Rp1.047/kg. Penurunan harga TBS ini berdasarkan rapat tim penetapan harga pembelian TBS Kelapa Sawit yang berlangsung di Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Selasa (21/10) kemarin. Ketua Tim Pelaksana rapat penetapan harga Ir Feri Hc MSi, yang juga Kasubdin Pengelolaan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Provinsi Riau, ketika ditemui, mengatakan, penurunan harga TBS ini karena harga CPO di pasaran juga mengalami penurunan, yakni hanya Rp3.947/kg. Lebih lanjut diungkapkannya, selain untuk sawit berusia 10 tahun ke atas tadi, dari hasil rapat juga ditetapkan harga TBS kelapa sawit umur tiga tahun sebesar Rp589,20/kg, umur 4 tahun 658,2/kg, umur lima tahun 704,42. Kemudian umur enam tahun Rp724,92/kg, umur 7 tahun 752,65/kg, umur 8 tahun Rp 776,1/kg, umur 9 tahun Rp800,89/kg.

"Penurunan harga CPO yang mengakibatkan penurunan harga TBS ini merupakan dampak dari krisis global yang terjadi saat ini. Permintaan CPO di pasar dunia saat ini berlebih, sementara produksi tetap, bahkan cendrung meningkat, sehingga harga TBS turun," ujarnya. Lebih jauh dikatakannya, turunnya harga TBS saat ini bukan saja terjadi di Riau atau di Indonesia, tetapi juga dirasakan oleh negara lain yang memproduksi kelapa sawit. "Di Malaysia misalnya, saat ini juga turun, bahkan mencapai titik terendah di Asia," ujarnya.

Jangan Emosional
Sementara Mawardi, salah seorang perwakilan petani dari KUD Sialang Makmur yang bermitra dengan PT Sumber Sawit Sejahtera, mengaku tidak dapat berbuat banyak terhadap penurunan harga TBS tersebut. "Kenyataannya harga CPO saat ini turun, tentunya juga berdampak terhadap turunnya harga TBS petani. Jadi mau bagaimana lagi, mau kesal-kesal sama siapa," ujarnya seusai rapat penetapan harga tersebut. Terhadap harga tersebut menurutnya, petani dan PKS yang bermitra selama ini tetap konsisten dengan harga yang ditetapkan tersebut. "Kami selaku petani yang bermitra dengan PKS selalu konsisten dengan harga yang ditetapkan itu, tidak ada yang menjual atau membeli dengan harga di bawah itu, apalagi sampai Rp300/kgnya. Entah kalau itu petani yang tidak bermitra kami tidak tahu," ujar Mawardi yang juga Sekum Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit PIR (Aspekpir) Riau ini.

Ia sendiri berharap kepada para petani untuk tidak menyikapi anjloknya harga sawit secara emosional dengan tidak memanennya. Apalagi sampai tidak melakukan pemupukan terhadap tanaman tersebut dengan alasan rugi. "Meski harga turun, produksi tetap kita tingkatkan dengan tetap melakukan pemupukan dan pemeliharaan sebagaimana mestinya. Jika pemupukan ditunda, apalagi sampai tidak melakukannya, tentunya kualitas TBS akan buruk dan harga akan semakin anjlok lagi," ujarnya.

Disiasati
Disebutkannya, turunnya harga TBS memang berdampak terhadap petani kelapa sawit dan juga biaya operasional. Namun menurutnya dapat disikapi dengan menurunkan biaya-biaya lainnya, tetapi bukan untuk pemupukan atau pemeliharaan. Selaku pengurus KUD ia mengaku akan terus melakukan pengawasan terhadap kebutuhan petani terhadap pupuk tersebut dan melakukan pembinaan agar kualitas produksi dapat terus ditingkatkan. Selaku pengurus KUD dan juga petani yang bermitra dengan PT Sumber Sawit Sejahtera di Sorek menurutnya, ada beberapa cara untuk meningkatkan produksi dengan biaya yang tidak bertambah. Di antaranya, saat ini ada kebijakan dari PT SSS bahwa jang-jangan kosong (sisa TBS) dikembalikan kepada petani untuk dijadikan pupuk melalui Aspek Pir yang ada.

"Ini tentunya sangat membantu, jika tidak maka 64.000 KK yang ada di 18 Kebun PT SSS akan mengalami kesulitan," ujarnya. Selain itu Mawardi mengimbau kepada petani kelapa sawit yang ada agar berusaha menekan kebutuhan hidup yang dinilai belum waktunya. "Selama ini petani terlena dengan tingginya harga TBS yang mencapai Rp2 ribu lebih beberapa waktu lalu, sehingga banyak petani yang meningkatkan kebutuhan hidupnya seperti membeli mobil, motor dan lainnya. Saat ini tentunya petani dapat mengubah perilaku tersebut, dan menyadari bahwa harga TBS tersebut sewaktu-waktu berubah, dan juga mengubah polanya dengan tidak membeli kebutuhan yang dirasakan belum waktunya," ujarnya. (hen)







Petani Sawit dan Karet Rugi Rp5,8 T Lebih

Rabu, 22 Oktober 2008
ImageLaporan RPG dan MUSLIM NURDIN, Pekanbaru redaksi@riaupos.co.idAlamat e-mail ini dilindungi dari spambot, anda harus memampukan JavaScript untuk melihatnya
TEMUAN mengejutkan diungkap Ekonom Riau Edyanus Herman Halim MM. Pihaknya melakukan kalkulasi dan pemetaan kodomiti sawit dan karet di tengah krisis global yang melanda dunia saat ini. Tercatat petani sawit dan karet di Riau sampai pertengahan Oktober ini merugi sekitar Rp5,876 triliun.

Hal tersebut diungkap Edaynus dalam diskusi Forum Komunikasi Pemuka Masyarakat Riau (FKPMR), Selasa (21/10) di sekretariat FKPMR Riau. Nampak hadir tokoh masyarakat, seperti HT Lukman Jaafar, mantan Komisaris PTPN V Prof Dr H Muchtar Ahmad, Ketua Asosiasi Petani Sawit Riau Setiono, dr H Ekmal Rusdy, Joni Setiawan Mundung, dengan moderator Al Azhar.

Dijelaskannya, harga sawit yang belakangan terjun bebas merupakan bentuk krisis terparah yang dialami petani akhir-akhir ini bahkan Edyanus memperkirakan krisis akan berlangsung kurun waktu dua tahun ke depan.

‘’Pemulihan akibat krisis ini kalau saya tengok di majalah luar negeri seperti tajuk di media di Swiss, Itali, Jerman, Prancis, akan berlangsung dua tahun,’’ sebut dosen FE Unri ini.

Dalam pemetaan yang dilakukan, kata dia, dampak krisis global yang menlanda AS adalah harga sawit sangat merosot sampai empat kali lipat, seperti pada Agustus lalu harga TBS masih Rp1.550 sedangkan karet Rp14.000. Pertengahan Oktober telah menjadi Rp350 dan karet menjadi Rp4.200 per kilogram.

‘’Luas kebun sawit mandiri yang Riau miliki 392.814 hektare, kebun karet 528.734 hektare dan luas sawit pola KKPA 180 ribu hektare dan karet kita nol. Total kebun sawit milik masyarakat 572.814 hektare,’’ papar Edy.

Uang yang saat ini tidak masuk lagi ke masyarakat sebesar Rp3,3 triliun dan komoditi karet mencapai Rp1,1 trilun, terjadi penciutan pendapatan masyarakat 77,42 persen dan karet 70 persen dari pendapatan biasa dengan produksi rata-rata per bulan (ton) 327.634 ton untuk sawit dan 38.587 ton karet dengan kerugian Rp5,876 triliun.

Sementara Ketua Asosiasi Petani Sawit Riau Setiono mengaku, ini krisis terparah yang dialami petani sawit sehingga banyak petani sawit yang menjual lahannya untuk menutupi hutang dan membayar kredit.

Muchtar Ahmad juga angkat bicara. Menurut dia, krisis akan berlangsung 20 bulan paling lama atau sampai 24 bulan dan paling singkat delapan bulan. Krisis ini kata dia, pada tahun 2006 lalu sebenarnya pernah diingatkan.

Perhatikan Petani
Di sisi lain, pemerintah dan pihak terkait diminta cepat tanggap dengan kondisi seperti ini.

‘’Kondisi seperti sekarang tentunya sangat menyakitkan para petani kita. Padahal di Malaysia, seperti dikatakan teman-teman saya di sana, harga sawit sejauh ini masih cukup bagus. Kok di Indonesia harga buah sawitnya bisa merosot tajam seperti ini. Ada apa sebenarnya? Apakah ini memang benar akibat dampak dari krisil global. Kalau memang benar, kenapa di Malaysia sendiri harga buah sawit mereka tidak anjlok,’’ tanya Andri Muslim, seorang calon anggota DPD RI kepada Riau Pos.

Ia justru melihat, kondisi ini disebabkan karena adanya permainan pihak-pihak yang ingin mengambil untung di tengah krisis. ‘’Saya melihat, ada permainan. Buktinya untuk harga kelapa sawit plasma yang standarnya dari perusahaan harganya masih relatif bagus,’’ ujarnya.(uli)

Harga Sawit Anjlok, Merebak Isu Banyak Petani Bunuh Diri

Rabu, 22 Oktober 2008 08:52

Petani kelapa sawit dan karet belakangan ini resah, bukan sekedar disebabkan anjkloknya harga, namun juga karena merebaknya isu banyak petani bunuh diri, tak tahan stres!

Riauterkini-PEKANBARU- Sudah sepekan terakhir beredar isu yang menjadi buah gunjing warga Desa Sukadamai, Kecamatan Tambusai Utara, Kabupaten Rokan Hulu (Rohul). Disebarkan kabar, bahwa akibat harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit anjlok, ada tiga warga Desa Tanjung Medan, masih di kecamatan yang sama, bunuh diri. Mereka stres tak sanggup menahan beban hutang mendadak tak bisa dibayarkan.

"Kabarnya di DU (Tanjung Medan.red) sudah ada tiga orang yang bunuh diri akibat harga sawit murah. Katanya stres karena terlanjur baru kredit mobil, tiba-tiba harga sawit murah," tutur Nikmah, seorang warga Suka Damai yang dihubungi riauterkini kemarin.

Hanya saja ketika ditanya siapa saja nama warga yang menghakhiri hidupnya dengan tragis karena harga sawit murah, Nikmah tak bisa menyebutkan. "Saya tak tahu pasti, karena kabar itu tersebar dari kemarin," tukasnya.

Ternyata isu serupa juga tersebar di sejumlah desa perkebunan di Kecamatan Kampar Kiri Tengah. Bahkan isu tersebut sudah muncul sejak sepekan silam. Seorang saleh peralatan sekolah sempat mengabarkan berita adanya tiga di salah satu desa di Kecamatan Kampar Kiri Tengah yang bunuh diri akibat stres mikirkan harga sawit anjlok. "Saya tadi baru pulang nagih di Sungai Pagar, kabarnya ada tiga wargan desa mana gitu, yang bunuh diri akibat harga sawit murah," tutur Agus kepada riauterkini.

Namun sebagaimana Nikmah, Agus juga mengaku tak tahu nama dan kapan ketiga warga tersebut bunuh diri. Ia kemudian memberikan nama dan nomor hand phone salah seorang warga desa di mana ada tiga warganya bunuhnya. Namun warga bernama Tumijo itu membantah isu tersebut. "Itu tidak benar, Pak. Tidak pernah ada tetangga kami yang bunuh diri, apa lagi sampai tiga orang," sanggah Tumijo saat dihubungi riauterkini.

Bantahan lebih tegas disampaikan Kapolres Kampar AKBP M Zainal Mutaqien saat dikonfermasi riauterkini. "Saya yakin kabar itu tidak benar. Hanya isu. Tapi nanti saya coba tanya ke Kapolseknya, tapi saya yakin itu tidak benar," tegasnya.

Berkemungkinan isu itu sengaja dihembus-hembuskan pihak tertentu dengan kepentingan tertentu. Misalnya spekulan tanah agar banyak petani yang mau menjual kebun kelapa sawitnya dengan harga murah karena resah. Atau isu tersebut menyebar tanpa tujuan ekonomi, sekedar menghangatkan suasana. Walahualam.***(mad)

Demo FMMPK Rohil Bubar Sebelum Sampaikan Aspirasi

Rabu, 22 Oktober 2008 12:02

Militansi aktifis FMMPK Rohil untuk berdemo patut dipertanyakan. Saat berdemo di kantor Gubernur Riau mereka bubar sebelum menyampaikan aspirasi.

Riauterkini-PEKANBARU- Sekitar 30 aktifis Forum Komunikasi dan Masyarakat Penegak Hukum (FMMKPK) Rokan Hilir (Rohil) menggelar aksi unjuk rasa mengherankan di kantor Gubernur Riau, Rabu (22/10). Disebut mengherankan karena aksi unjuk rasa bubar sebelum aspirasi disampaikan. Padahal penampilan mereka sangat meyakinkan, mengusung spanduk dan beberapa poster.

Demo diawali dengan menggelar orasi di bundaran air mancur Jalan Jendral Sudirman, setelah itu mereka berjalan menuju kantor Gubernur Riau. Begitu massa datang, pintu pagar komplek kantor gubernur langsung ditutup rapat. Massa diarahkan menggelar aksi di pintu gerbang samping di Jalan Cut Nyak Dien.

Hanya saja demo tak berlangsung lama. Sekitar lima menit kemudian massa mendadak bubar dengan sendirinya. Padahal mereka belum diterima siapapun. Baru pemanasan dengan orasi dan membentangkan spanduk. Petugas dari Satpol Pamong Praja Pemprov Riau baru pergi memberi tahu keberadaan aksi untuk mengkondisikan siapa pejabat yang akan menerima. Tanpa alasan jelas mereka meninggalkan lokasi demo. Bergerak ke arah belakang kantor gubernur.

Dalam pernyataan sikap tertulis yang sempat dibagikan pada wartawan, tujuan aksi tersebut adalah untuk menuntut penutupan pabrik kelapa sawit (PKS) milik PT. Hasil Karya Bumi Sejahtera (HKBS) di kepenghuluan Kasang Bangsawan, Kecamatan Pujud, Kabupaten Rokan Hilir. Keberadaan PKS tersebut dinilai illegal karena belum punya izin dan meresahkan masyarakat.

Singaktnya aksi membuat puluhan Satpol PP dan polisi batal melakukan pengamanan. Sejumlah pedagang buah juga tertipu. Mereka harus balik arah, meskipun baru datang.***(mad)